“Kanker hati stadium empat.”
Felix menerima surat vonis itu dengan tangan bergetar. Kedua tangan memucat pasi mendingin.
“Kanker, Dok?”
Dokter itu mengangguk.
“Kondisinya, kamu harus mendapat donor hati, Felix.”
Felix tercengung cukup lama, inikah jawaban dari rasa sakit akhir-akhir ini yang ia rasakan. Hilangnya nafsu makan dan juga rasa mual yang terkadang datang tiba-tiba. Selama ini Felix pikir, itu hanya gejala asam lambungnya saja yang sedang naik. Tidak ada penyakit serius, sampai harus mendapat donor hati segala.
“Kalau saya melakukan donor hati, apa menjamin saya akan sehat kembali, Dok?”
“Enam puluh persen, pasien penyakit hati biasanya masih dapat bertahan untuk beberapa waktu.”
Felix mengerjap.
“Bagaimana cara saya mendapat donor hati, apakah biayanya mahal?”
Dokter itu menatap felix dengan sendu.
“Nak, seharusnya saya membicarakan masalah serius ini dengan walimu. Biarkan kedua orangtuamu datang, kami masih bisa menyelesaikan semuanya untukmu. Kamu hanya fokus untuk istirahat saja sekarang ini.”
Felix menunduk. Orangtua yah, bahkan dirinya merasa kini ia tidak memiliki siapapun, termasuk orang tua.
“Saya sendiri, tidak memiliki wali.”
Dokter itu terdiam.
“Lantas bagaimana kita bisa menangani penyakitmu ini secara cepat.”
“Lakukan operasi jika memang diharuskan. Itupun jika Dokter memiliki hati yang cocok untuk saya.”
“Masih perlu pemeriksaan lebih lanjut, jika memang ada saya akan segera memberitahukannya padamu, Nak.”
“Kalau begitu, Dokter bisa menghubungi saya lebih lanjut.”
“Sudah terlalu kronis, sebaiknya kamu mulai melakukan perawatan di rumah sakit. Supaya kondisimu bisa kami pantau setiap hari.”
Felix menggelengkan kepala.
“Saya akan memikirkannya kembali.”
Felix memilih permisi, keluar dari rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya memang belum membaik sejak terakhir kali pingsan. Masih tampak memucat, bahkan berat badannya menurun secara signifikat.
Felix tidak langsung pulang, ia masih berada di area rumah sakit. Mengenakan seragam sekolah, berkeliaran tidak menentu. Hingga Felix sampai di sebuah taman luas rumah sakit.
Duduk di bangku taman, Felix merenungi nasibnya. Matanya jauh memandang ke depan. Terlalu terkejut dengan duka lain yang ia dapatkan.
Apakah, memang sudah waktunya ia kembali. Makannya Tuhan memberikan penyakit mematikan padanya, penyakit yang tidak terdeteksi lebih awal.
Bagaimana cara Felix mengatakan berita itu pada kedua orang tuanya. Apakah dengan dirinya yang sakit sekarang ini, mereka akan peduli padanya.
Apakah ia bisa mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Jisung. Karena sekarang ia bukan lagi anak yang sehat.
Felix terkekeh getir, memeluk kedua lutut. Felix seakan tidak lagi waras. Membiarkan udara dingin menerpa, sementara perasaan kalut mulai terpikirkan.
“Jisung-ie, sekarang aku sama sepertimu. Aku juga merasakan sakit yang sama denganmu.” Felix berbicara sendiri pada langit kemerahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ultimul cadou
FanfictionRamalan itu mengatakan, kalau di antara Felix dan Jisung. Hanya akan ada satu orang saja yang bertahan hidup. Lantas siapa yang benar-benar bisa bertahan dengan baik, di antara si kembar ini.