13

132 26 3
                                    

Felix mundar mandir di teras rumah. Masih menunggu kabar mengenai keadaan Jisung. Tidak berani ke rumah sakit, ia Tika sanggup melihat Jisung harus kembali bergelut dengan alat-alat rumah sakit.

Giginya gemeretuk menahan dingin, tidak lagi ia pedulikan. Yang terpenting hanya Jisung sekarang, ia mengakui kalau ia salah. Perkataannya pasti sudah menyakiti Jisung.

Felix kembali menghubungi nomor Bang Chan. Tapi, kembali panggilan itu tertolak. Bahkan sekarang nomor Bang Chan, tidak dapat ia hubungi. Tidak mungkinkan Bang Chan, memblokir nomornya. Sampai tidak bisa lagi dihubungi.

Kakak pertamanya tidak akan melakukannya, Bang Chan terlalu menyayanginya.

Namun, Felix salah kali ini. Perkataan Felix sudah membuat Bang Chan kecewa. Sampai membuat kakaknya itu enggan bertemu kembali.

Jam empat pagi, akhirnya Felix dapat melihat mobil milik Bang Chan masuk pekarangan rumah.

Bang Chan keluar dengan berantakan, wajahnya terlihat kuyu. Langkahnya terhenti ketika menyadari ada Felix di teras rumah. Adiknya itu memiliki penampilan lebih berantakan darinya. Pakaiannya masih sama, bahkan ada darah di sudut bibir. Sepertinya, luka tamparan dari sang ayah tadi.

“Kak,” panggil Felix pelan. Sorot matanya sudah jelas menanyakan kabar Jisung.

“Jisung harus di opname, membutuhkan sesegera mungkin donor jantung, kali ini dia hanya bisa bertahan dengan kemungkinan empat puluh persen.”

Felix mengepalkan kedua tangan, air mata lurus dari kedua matanya. Felix sungguh menyesal, apa perkataannya membuat Jisung memiliki harapan yang begitu tipis.

“Dokter bilang, dia hanya memiliki waktu satu bulan Felix. Kalau tidak, sesuai keinginanmu dia akan pergi meninggalkan kita.”

Bang Chan pergi meninggalkan Felix, sementara Felix terpekur diam. Tubuhnya terlalu kaku mendengar berita duka tersebut.

Felix berdoa, agar Jisung bisa bertahan. Jisungnya harus bertahan, melawan penyakit yang menggerogotinya sejak kecil. Dari segala upaya sudah dilakukan, hanya untuk mendapat donor jantung yang cocok. Tapi, belum ada juga ditemukan.

“Jisung-ie, bertahanlah kumohon. Aku akan membunuh diriku sendiri kalau kamu pergi dariku.”

Felix harus mencari cara, siapa Jisung bisa bertahan. Tapi dengan apa, Jisung hanya butuh jantung bukan yang lain. Haruskah ia gali jantungnya sendiri dan menyerahkan pada Jisung. Supaya Jisung bisa hidup dan biarkan dirinya saja yang mati.

***

“Dokter memintamu istirahat, Felix. Kamu tidak mendengarkanku yah?”

Jeongin menatap tajam pada Felix, yang ditemuinya di taman. Tengah merenung dengan wajah pucat dan tubuh lemahnya.

Felix hanya tersenyum tipis, kali ini hanya Jeongin yang sedikit memberikan kepedulian padanya

“Santai, aku masih sehat kok.”

“Sehat dilihat dari mananya, wajahmu sudah seperti matar hidup begini, kamu bilang sehat.”

Felix bersandar lemah, Jeongin menatap Felix dengan kasihan. Disana dalam pandangan Jeongin, pandangan Felix tanpa semangat.

“Ada masalah?” tanya Jeongin.

“Kapan hidupku tidak bermasalah, I.N.”

Jeongin tidak tahu masalah yang Felix miliki, tapi menilik dari sorot sendu penuh beban itu, Jeongin bisa menebak masalahnya cukup berat kali ini.

“Tidak mengejar Hyunjin?”

Felix menggelengkan kepala pelan. Hyunjin, bahkan tidak mampu mengusiknya saat ini. Biarkan pria tersayangnya terbebas sebentar, sebelum nanti ia datang mengganggunya lagi.

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang