20

175 28 1
                                    

Minho terpekur, menatap lama pada sosok kurus yang kini memejamkan mata dengan damai. Namanya begitu pelan, napas yang bisa berhenti saat kapanpun. Terdengar pelan dan halus, jika tidak diperhatikan mungkin orang sudah akan mengatakan kalau si cantik terbaring ini sudah tiada.

Tidak memiliki dalih untuk berbohong, kondisi Felix memang semakin memburuk. Akar kanker itu menyebar dengan cepat. Sementara mencari pendonor hati yang cocok sangatlah sulit.

Sebagai dokter, ia sudah mengusahakan yang terbaik. Menghubungi beberapa rumah sakit untuk donor hati. Namun, tidak juga ditemukan.

Minho ikut sedih, melihat keadaan Felix yang hidup sebatang kara. Orangtuanya tidak tahu dimana dan kemana, sejak penyakit itu terdiaksona, Felix memang sudah sendiri.

Jisung, yah.

Sebenarnya siapa Jisung, sampai Felix ingin mendonorkan jantungnya pada sosok itu. Bukan tidak mengenal Jisung, Minho cukup mengenal. Jisung salah satu pasien lama yang banyak ditangani beberapa dokter. Ia juga sempat merawat, menggantikan sosok Changbin yang pergi saat itu.

Anak kelainan jantung bawaan, sama seperti Felix menunggu donor juga. Bedanya Jisung membutuhkan donor jantung, sedangkan Felix membutuhkan donor hati.

“Hanya ada satu yang mengalah. Antara Jisung yang mendonorkan hatinya padamu, atau kamu yang memberikan jantungmu pada Jisung.”

Minho sempat mengatakan begitu. Felix justru tertawa lembut. Tawanya begitu indah untuk didengar, membuat Minho merasakan detak jantung berlebihan. Baru kini mengenal pasien dengan senyuman seindah milik Felix.

“Tentu saja aku yang melakukannya.” Felix masih tertawa, mungkin perkataan Minho tadi yang membuat Felix merasa lucu.

“Banyak hal yang ingin Jisung lakukan,” ucap Felix lagi. “Dia tidak pernah berlari, tidak pernah pergi ke sekolah dia bahkan tidak pernah merasakan teriknya matahari di musim panas, tidak dapat merasakan dinginnya tetesan hujan di luar rumah.”

Felix mengatakannya dengan wajah yang begitu sedih. Sebagai saudari kembar, Felix paling peka dengan segala keinginan Jisung.

“Dok, sebentar lagi Jisung ulang tahun.” Mata Felix menatap jauh ke depan, pada jalanan hitam yang mereka lewati.

Hari ulang tahun yang sama juga untuknya, tapi Felix tidak mengatakannya pada Minho.

“Aku ingin memberikan kado ulang tahun seumur hidup untuknya.”

Supaya Jisung bisa merasakan apa yang selama ini ingin ia lakukan.

Sesayang itu Felix pada Jisung. Ia tidak peduli jika memang harus ia yang berakhir.
Toh, tidak ada yang menyayanginya di dunia ini. Dengan kembali, mungkin ia bisa memberikan kebahagian pada keluarga. Sejak awal, kehadirannya seperti tidak diinginkan. Kembali adalah jalan terbaik, jalan yang memang sekarang ini ingin ia tempuh.

Lelah rasanya menjadi felix, tidak kebahagiaan di dunia untuknya. Lahir dari keluarga kaya, minim kasih sayang. Menjadi anak yang terbuang, besar tanpa perhatian. Sekalinya merasakan cinta, cintanya juga harus tertolak.
Beruntung, masih ada Jeongin. Masih mau menganggapnya sebagai teman, walaupun dengan kalimat paksaan yang Felix lontarkan.

Felix hanya berharap, jika ia pergi lantas jika memang ada kehidupan lain disana. Ia ingin hidup kebalikan. Memiliki orangtua yang mencintanya, menyayanginya. Ada kakak yang baik yang siap membelanya, baik benar maupun salah. Ada kekasih yang mencintainya dengan setulus hati, Felix sangat menginginkan itu semua.

Minho mengusap pipi Felix dengan lembut. Ingin mengusahakan kesembuhan, tapi kesembuhan itu seperti tidak Felix harapkan.

Gemuruh suara hujan di luar, membuat Minho merapatkan selimut pada tubuh Felix. Sang pasien tertidur tanpa sedikitpun terganggu. Sampai, pintu ruang rawat berderit bergeser.

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang