27

219 30 5
                                    

Jeongin menyerahkan kunci yang selama ini dipegang olehnya.

“Kamu bisa membukanya,” katanya pada Jisung.

Jisung menggigit bibir, kegugupan terlihat jelas.

Bang Chan mengusap lembut bahu Jisung.

“Aku tidak tahu apa yang ada di dalam sana, tapi sepertinya bukan hal baik. Sedikit peringatan, kamu jangan sampai terkejut. Jantung yang baru saja kamu dapatkan, harus terjaga dengan baik.”

Jisung mengerjap, entah mengapa ketika Jeongin mengatakan hal itu. Membuat sebagian dirinya takut untuk membuka loker milik Felix tersebut.

“Sejujurnya, Lee Jisung. Selamanya, Felix tidak akan pernah kembali.”

Jeongin, meneteskan air mata.

“Kamu jangan membuatku takut,” ucap Jisung. Matanya sudah memerah, ia memiliki firasat kalau barang yang ia akan dapatkan dari Felix, merupakan sebuah jawaban dari mimpinya selama ini.

“Bukalah,” ucap Jeongin.

Bukan hanya Jisung yang gugup, tapi yang lain juga ikut gugup. Terutama Hyunjin, ia sudah menahan segalanya. Tangannya terkepal hebat, takut dengan kenyataan yang tiba-tiba muncul dalam bayangan.

Klik.

Pintu loker terbuka, ketika kuncinya Jisung buka.

Foto dirinya dan Felix yang sedang tertawa, menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.

Melihat apa yang ada di dalam, Jeongin memutar wajah. Air matanya kembali turun. Tidak sanggup melihat wajah cantik yang paling ia rindukan tersebut.

Jisung mengulurkan tangan, untuk mengambil foto tersebut. Diusapnya lembut, sebelum menyerahkannya pada Bang Chan.

Bang Chan menerimanya, ikut mengusap lembut wajah kedua adik kesayangannya disana.

“Apa ini?”

Jisung membeku, melihat selembar kertas tanda rumah sakit dan juga benda yang paling ia kenal selama ini. Ponsel milik Felix, tergeletak di dalam sana. Berserta dokumen-dokumen rumah sakit, bahkan beberapa foto juga ada disana.

“Sejak kapan Felix sakit?”

Jisung tidaklah bodoh, foto itu memperlihatkan sosok adiknya yang pucat mengenakan pakaian rumah sakit.

“Kenapa kurus sekali,” ucap Jisung lagi.

“Maaf, tapi sebenarnya Felix sudah meninggal satu Minggu yang lalu.”

Jeongin pada akhirnya mengatakannya.

Semua mata memandang ke arah Jeongin. Wajah Jeongin yang sudah basah oleh air mata.

“Jangan berbohong!”

Jisung menjerit, matanya memerah menatap ke arah Jeongin.

Jeongin menggigit sekuat tenaga bibirnya, mencoba mengalihkan kepedihan hatinya.

Jari telunjuknya menunjuk ke arah selembar kertas, bukti laporan diagnosa penyakit Felix.

“Kanker hati stadium akhir,” ucap Jeongin dengan pelan.

“Jangan bercanda, Yang Jeongin!”

Hyunjin menarik kerah baju Jeongin lagi.

Jeongin terkekeh, “Untuk apa aku bercanda, ini tidak lucu sama sekali!” lirih Jeongin membalas.

“Tidak mungkin!” Jisung yang paling terpukul. Adiknya baik-baik saja, ia selalu menjadi orang yang aktif, bergerak kesana kemari. Tidak mungkin memiliki sakit seperti ini.

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang