Shadow Guardian

102 12 0
                                    

Penulis : Ai Yayah995Judul : Shadow Guardian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penulis : Ai Yayah995
Judul : Shadow Guardian

Cast : Hyunlix gs

Tema : Kerajaan.


1

Penjara Bawah Tanah

Felix meneguk ludah dengan kasar, udara lembab yang memenuhi ruang penjara bawah tanah membuat dadanya sesak. Wajahnya yang dulu cantik kini dipenuhi debu dan kotoran. Kedua tangannya terikat erat di belakang punggungnya, meninggalkan luka merah di pergelangan tangannya. Rambut panjangnya yang kusut jatuh menutupi sebagian wajahnya, sementara tubuhnya terbungkuk lemah.

Rasa sakit yang datang bertubi-tubi mengguncang tubuhnya. Setelah sembilan bulan mengandung, Felix tahu bahwa waktunya hampir tiba. Bayi yang ia bawa selama ini, buah hatinya, hampir lahir ke dunia. Bayi yang seharusnya menjadi tanda cinta antara dirinya dan Hyunjin.

Dulu.

Dulu, saat Hyunjin masih memperlakukannya dengan cinta dan kasih sayang. Saat ia masih menjadi segalanya bagi Hyunjin. Tapi itu sebelum semuanya berubah.

Suara derit pintu sel yang terbuka memecah keheningan. Langkah kaki terdengar mendekat, dan Felix mengangkat wajahnya dengan susah payah. Di ambang pintu, berdiri Hyunjin. Tatapan dingin yang tak lagi menyiratkan kasih sayang terpancar dari matanya. Lelaki yang pernah dicintai Felix sepenuh hati kini tampak seperti orang asing.

"Hai, Felix," sapaan Hyunjin terdengar ringan, tapi tak ada kehangatan di dalamnya. Felix menggertakkan giginya, menahan amarah dan sakit yang bercampur jadi satu. Hyunjin hanya menatapnya tanpa rasa bersalah, seolah-olah semua yang terjadi adalah hal yang wajar.

Felix hanya diam, tak mampu merespons. Dendam yang menggelegak di dalam dadanya semakin membuat napasnya terasa berat. Kontraksi semakin hebat, namun Felix menahannya sekuat tenaga.

Hyunjin melangkah lebih dekat, merangkul Yeji, selirnya, dengan penuh kelembutan. "Yeji sedang mengandung anakku. Dia akan melahirkan penerusku."

Felix menelan rasa sakit itu dalam diam. Setiap kata yang keluar dari mulut Hyunjin seperti menambah beban di hatinya. Di saat tubuhnya sendiri berjuang melawan rasa sakit yang tak tertahankan, Hyunjin berdiri di hadapannya dengan kejam, membawa kabar yang membuat hati Felix semakin terpuruk.

"Kamu tidak akan pernah melahirkan anak itu," Hyunjin berkata lagi, suaranya dingin dan tegas. Felix merasakan napasnya semakin sesak, tubuhnya menegang, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Bayi yang ingin dilahirkannya terasa terhenti, seolah hidup itu sendiri enggan untuk datang.

Felix memandang Hyunjin dengan amarah yang membakar di matanya. "Bagaimana bisa kamu tega melakukan ini?" gumamnya pelan, tapi penuh tekanan. "Anak ini adalah bagian dari dirimu juga."

Namun, Hyunjin tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum melemparkan obor yang menyala ke tumpukan jerami di dekat Felix. Api mulai menjalar, menjilat ke atas dengan cepat, dan hawa panas mulai terasa di sekelilingnya. Dalam hati yang penuh dendam, Felix hanya bisa berdoa agar suatu saat ia bisa membalas semua rasa sakit ini.

Jika ia diberi kesempatan lagi, ia akan pastikan Hyunjin merasakan hal yang sama-rasa sakit yang tak terlupakan.

***

"Mati?"

"Iya, Tuan."

Suara itu terdengar pelan, nyaris berbisik, namun menghantam keras di telinga seperti halilintar. Gelap menyelimuti ruangan itu, dan hanya desah napas pelan yang memecah kesunyian. Ruangan terasa dingin dan sunyi, seolah tak ada kehidupan lagi yang tersisa. Dalam kegelapan itu, matanya terbuka lebar, menatap kosong ke arah depan, namun pandangannya seperti terperangkap dalam kabut hitam yang pekat.

"Lantas untuk apa aku hidup?" suaranya bergetar, mencerminkan kekosongan dan kepedihan yang tak terucapkan. Rasa bersalah menggerogoti dirinya, menyusup ke setiap inci kesadarannya. Wajahnya yang biasanya dingin kini tampak rapuh, retak oleh rasa kehilangan yang tak mampu ia bendung.

"Felix sudah tiada... aku tidak mungkin bisa hidup." Bibirnya gemetar saat mengucapkan kata-kata itu, seolah-olah dengan mengatakannya, kenyataan semakin menghimpit dan menusuk hatinya lebih dalam. Nama Felix yang dulu ia sebut dengan penuh cinta, kini menjadi beban yang tak tertahankan. Kehilangan itu begitu besar, begitu menyakitkan, hingga ia merasa dunianya telah runtuh.

"Tuan, Anda harus membalas dendam." Suara lembut yang datang dari pelayannya terdengar jauh, namun menusuk tajam. Seolah memberikan jalan keluar, satu-satunya alasan yang tersisa untuk melanjutkan hidup.

Dendam.

Kata itu terngiang di kepalanya, berputar-putar seperti badai. Kedua tangannya terkepal erat, memutih oleh tekanan amarah yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. Ia telah kehilangan semuanya. Tidak hanya Felix, tetapi juga dirinya sendiri. Ia telah membiarkan semuanya berakhir dengan tragis. Dia, yang seharusnya menjadi pelindung Felix, justru membiarkannya hancur di tangan orang lain.

Pikiran itu menyiksanya, menggigit sisa-sisa nuraninya yang mulai tergerus. Dalam bayangan hitam yang menyelubungi kesadarannya, muncul kilatan wajah Felix, wajah yang dulu penuh harapan dan cinta, sekarang tergantikan oleh kegelapan dan rasa sakit. Felix, yang selalu bersamanya, yang telah mempercayakan hidupnya kepadanya, kini telah tiada. Hanya karena ia terlambat. Terlambat untuk menyelamatkan. Terlambat untuk menebus kesalahan.

Kemarahan berkobar di dalam dadanya, panas membakar hingga ke tulang. Segala rasa bersalah yang menghantuinya berubah menjadi bara api yang mendidih di balik kulitnya. Dendam mulai menguasai pikirannya. Mereka, yang telah mengambil Felix darinya, tidak akan lolos begitu saja. Tidak akan ada belas kasihan. Tidak akan ada ampun.

Dia berdiri dari kursinya, tubuhnya terasa berat namun kemarahan membuatnya bergerak. "Aku seharusnya membawanya pergi," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun di ruangan itu. "Aku seharusnya melindunginya. Tapi aku terlambat." Suaranya rendah, namun menggigil penuh penyesalan. Kedua matanya menyala, bukan dengan kesedihan, tetapi dengan amarah yang semakin tak terbendung.

"Tuan," suara pelayan itu sekali lagi terdengar, "Anda masih memiliki kekuatan. Anda masih memiliki kesempatan. Nona Felix mungkin sudah pergi, tetapi Anda bisa membuat mereka membayar setiap tetes darahnya."

Dia menarik napas panjang, mengusir rasa perih yang masih mengerubungi hatinya. Dendam adalah satu-satunya jalan. Tidak ada yang lebih penting sekarang selain menuntut balas. Mereka yang telah menghancurkan hidupnya, yang telah mengambil segalanya darinya, akan merasakan sakit yang sama. Ia akan menghancurkan mereka, seperti mereka menghancurkan Felix.

"Aku akan membalas dendam," ucapnya, penuh kepastian. Tangannya masih terkepal, kuku-kukunya menggali dalam ke telapak tangannya. "Mereka akan menyesal telah menyentuhnya. Mereka akan membayar." Wajahnya mengeras, tak ada lagi keraguan.

Dalam bayangan hitam itu, kemarahan dan dendam tumbuh menjadi satu. Sesuatu yang begitu kuat, begitu berbahaya, siap untuk meledak kapan saja. Dirinya tahu, hidupnya sekarang hanya memiliki satu tujuan: membalaskan Felix.

Dan ia tidak akan berhenti sampai tujuan itu tercapai. Ia harus menjadi yang kuat, harus menjadi terkuat untuk mencapai tujuannya. Sekarang ia harus menyembuhkan diri lebih dulu dan muncul untuk menghancurkan pemimpin kerajaan Drazell. Menghancurkannya hingga tidak lagi bisa untuk berdiri, membalaskan dendam sang terkasih.

Tetapi, setelah dendam itu tercapai dan terbalas. Kemana ia akan pergi, sedangkan orang yang membuatnya bertahan selama ini telah tiada.

****

Hanya ada di Fizzo

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang