"Kamu kenapa sih, tidak mengerti juga!"
Felix tertegun.
"Felix hanya ingin menemui Jisung, Bu."
"Tidak!" Ibunya menolak dengan keras.
Padahalkan, Felix hanya ingin menemui saudari kembarnya. Sudah tiga hari, Jisung dirawat di rumah sakit. Ia yang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan Jisung, merindukan Jisung.
"Kamu hanya akan mengganggu, keberadaanmu mengganggu Jisung untuk cepat pulih."
Felix cemberut.
"Felix, janji kok. Tidak akan mengganggu. Felix hanya akan duduk dengan tenang, Ibu bisa pegang omongan Felix ."
Nyonya Lee menatap malas ke arah Felix, rengekan Felix membuat dirinya jengah.
"Kamu diam saja di rumah, lebih baik kamu belajar dengan benar. Jangan hanya karena libur sekolah, kamu ingin berleha-leha. Jangan lupa kesehatanmu itu, sebagiannya milik Jisung."
Deg!
"Kenapa Ibu berkata seperti itu?"
"Kamu harus banyak bersyukur, Jisung rela menukar dirinya untukmu. Dia memilih ia yang sakit dari pada kamu."
Felix mengepalkan tangan.
"Tetapi, bukan Felix yang ingin Jisung sakit. Kalau sakit bisa membuat Ibu lebih sayang dengan Felix, Felix rela bertukar nasib dengan Jisung."
Felix mengatakan yang sebenarnya. Ia sangat haus kasih sayang, ia ingin merasakan bagaimana dimanjakan oleh kedua orangtuanya.
Ia ingin, Jisung yang sehat dan biarkan ia saja yang sakit. Tapi, nasib berkata lain. Tuhan, membiarkan Jisung yang sakit, sementara ia tumbuh sehat dengan baik.
"Besok Jisung juga pulang, kamu tidak perlu repot-repot datang ke rumah sakit."
Felix tertunduk, memilih pakaiannya dengan kedua mata berkaca-kaca. Siap menangis, tetapi ia tahan sekuat mungkin.
"Belajar sana, jangan membuang-buang uang saja bisanya. Gunakan dirimu dengan baik, kamu yang sehat harus pandai menempatkan diri dengan baik."
Felix sekali lagi ingin bertanya, apakah ia benar dilahirkan oleh wanita di hadapannya saat ini. Bagaimana bisa, kesan seorang ibu yang selalu teman-temannya bicarakan tidak sama dengan yang ia alami.
"Bu, apa Felix anak Ibu?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga, sangat pelan. Bahkan hampir tidak terdengar, andaikan saja pendengaran Nyonya Lee tidak setajam itu.
"Pertanyaan konyol macam apa itu?" Nyonya Lee menghardik.
"Kalau Ibu, benar ibu kandung Felix. Ibu pasti akan sayang Felix kan?"
Helaan napas terdengar, tampak berat. Mungkin karena lelah mengurus keperluan Jisung, jadi membuat Nyonya Lee lebih sensitif lagi.
"Kamu pikir dari mana fasilitas yang kamu dapat itu Felix, jika kamu bukan anak kandungku. Sudah aku gali jantungmu, aku berikan pada Jisung!"
Nyut!
Air mata itu akhirnya jatuh di pipi putih Felix. Felix tidak berani menatap mata ibunya, tatapan penuh cibiran seakan-akan apa yang baru saja Felix tanyakan, benar-benar pertanyaan tanpa bobot di dunia.
"Kamu pikir, Ibu mau mengurus, memberi makan dan menyekolahkan anak orang lain. Kamu anak Ibu, semua orang tahu itu."
Lega seharusnya yang Felix rasakan, tapi karena nada bicara sang ibu membuat Felix merasa ia jauh lebih sengsara dari anak kandung.
"Maaf, Felix tidak akan mengatakannya lagi."
Felix berjanji pada dirinya sendiri, itu akan menjadi kali terakhir ia bertanya.
"Bagus kalau kamu sadar dengan kesalahanmu."
Nyonya Lee, menatap Felix dengan wajah serius. Kedua tangan bersedekap, tatapan mata lurus ke arah Felix.
"Felix," panggil Nyonya Lee.
Felix mengangkat wajahnya, wajah ayu yang serupa dengan ibunya itu berkedip dengan mata basah.
"Kamu sayangkan dengan Jisung?"
"Felix, sayang."
Bagaimana mungkin tidak, sejak awal ia selalu bersama dengan Jisung. Mereka tumbuh bersama dari embrio sampai menjadi janin dan kini sampai menjadi dewasa. Dalam hidup Felix, Jisung begitu penting.
"Pikirkan lagi kesakitan Jisung, saat ini dia tengah berjuang melawan kematian. Kamu sebagai anak sehat, sangat berbanding terbalik dengan Jisung. Kamu bisa tumbuh dengan baik, tanpa Ayah maupun Ibu. Tetapi, Jisung tidak. Tanpa kita yang menjaganya, Jisung sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja."
Nada bicaranya memang lembut, tapi maknanya sangat jelas. Felix masih bisa hidup dengan baik, meskipun tidak ada kedua orangtuanya. Felix harus menjadi gadis yang kuat, karena Jisung sudah menjadi yang terlemah. Namun, sebenarnya dibalik itu semua. Justru Felix merasakan sebaliknya. Jisunglah yang kuat dan ialah yang lemah.
Kenapa Felix bisa berpikir demikian. Lihatlah, Jisung sangat kuat melawan takdirnya. Dengan penyakit jantung bawaan, menanti donor jantung yang tidak ada kecocokan. Sementara ia menjadi yang terlemah, karena mentalnya yang mulai melemah secara perlahan. Perkataan dari kedua orangtuanya, tidak sama sekali membuat Felix baik-baik saja.
"Kamu pasti tidak maukan, kalau Jisung meninggalkan kita?"
Felix menggeleng dengan heboh, hidup tanpa Jisung. Tidak pernah bisa Felix bayangkan. Jisung sangat berarti untuk Felix.
"Tidak."
"Maka, mengalah untuk Jisung. Karena dia sangat berarti untuk kita."
Felix hanya dapat mengangguk pelan. Entah sampai kapan, ia harus mengalah. Sementara ia begitu haus akan kasih sayang dari orangtuanya.
"Baik."
Felix hanya bisa menjadi anak penurut, karena hanya itu yang bisa Felix lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ultimul cadou
FanfictionRamalan itu mengatakan, kalau di antara Felix dan Jisung. Hanya akan ada satu orang saja yang bertahan hidup. Lantas siapa yang benar-benar bisa bertahan dengan baik, di antara si kembar ini.