3

196 34 1
                                    

Felix terbangun dengan rasa haus di tenggorokan. Felix memilih beranjak dari tempat tidur. Langkah kecilnya ia bawa keluar dari lantai atas, Felix berniat mengambil air minum ke dapur. Saat memeriksa air di atas meja nakas, ternyata air miliknya habis. Jadi mau tidak mau, Felix harus turun ke dapur.

Langkah kaki Felix terhenti, ketika ia melihat lampu kamar milik, kakaknya masih menyala. Melihat pada jam dinding di ruang tamu, sudah hampir dini hari. Felix memilih memeriksa, ingin memastikan, apakah kakaknya ada di dalam. Pintu kamar di dorong pelan, hampir tanpa suara. Felix pikir Bangchan sudah tidur, nyatanya Bangchan justru tengah menatap foto sebuah foto.

Felix berjalan mendekat, tidak membuat keributan. Ia ingin tahu, foto siapa yang tengah Bangchan perhatikan.

"Jisung," lirih Felix tanpa sadar. Membuat Bangchan terkejut, refleks menoleh ke arah Felix.

"Lixie-ah, kenapa belum tidur?" tanya Bnagchan. Meletakkan foto Jisung kembali di atas meja belajarnya. Foto Jisung yang sejajar dengan Foto Felix di sana.

"Apa Kakak sedang merindukan, Jisung?" tanya Felix.

Bangchan tersenyum. Dihampirinya sang adik.

"Tentu saja, Kakak rindu dengan Jisung. Sudah hampir satu minggu Jisung belum pulang."

Wajah Felix menyendu.

"Felix juga rindu Jisung."

Bangchan mengusak lembut puncak kepala sang adik. Rambut panjangnya yang hitam, tampak halus dalam sentuhan jemari.

"Kakak, boleh Felix tidur dengan Kakak, malam ini?" tanya Felix. Jujur saja, ia mulai kesepian.

Bangchan tersenyum lembut.

"Boleh," jawab Bangchan menyetujui.

Felix tersenyum cerah. Senyum yang mampu menghangatkan hati siapapun yang melihatnya.

Felix berjalan dengan kaki kecilnya menuju atas ranjang, meskipun sekarang ia sudah duduk di bangku Senior High School. Tubuh Felix yang terbilang kecil masih tampak seperti seusia naka Junior High School pada umumnya.

Sebenarnya sudah tidak pantas untuk Bangchan dan Felix tidur bersama. Karena usia mereka yang sudah mulai dewasa. Tapi ini Felix, Bangchan tidak mampu menolak permintaan adik tersayangnya tersebut.

Felix berbaring dengan Bangchan yang memeluk adiknya tersebut, Bangchan dengan setia mengelus rambut Felix.

Felix melupakan niatnya untuk minum, berbaring di atas ranjang Bangchan. Membuat matanya mengantuk kembali.

"Kak."

"Heem?"

"Apa boleh Felix bertanya?"

"boleh."

Felix memainkan jemari kecilnya.

"Seandainya, Jisung sembuh. Apakah, Ayah dan Ibu akan ada waktu untuk Felix?"

Bangchan merasakan hatinya teriris, ia tahu Felix merindukan kedua orangtua mereka. Karena Felix sejak dari kecil, tidak pernah merasakan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Keduanya terlalu sibuk dengan Jisung yang tinggal hampir dua tahun di rumah sakit.

Felix tumbuh besar dalam pengawasannya, jadi tidak lagi heran kalau Bangchan begitu memanjakan Felix.

"Tentu saja." Bangchan hanya menyetujui. Karena iapun berharap hal yang sama.

"Kakak, pasti dulu sangat disayang Ayah dan Ibukan, Kak?"

Bangchan membenarkan. Ia memang sangat dimanjakan oleh kedua orangtuanya, sikap tersebut sangat jauh berbeda dengan apa yang Felix dapatkan.

"Tapi, Ayah dan Ibu belum sejaya sekarang ini. Dulu, Kakak ingin sebuah robot mainan saja, Kakak harus menunggu Ayah dan Ibu menabung."

Felix akui, hidupnya berkecukupan. Bahkan bisa dikatakn lebih. Felix selau bisa membeli apa yang ia inginkan, uang jajan yang Ayahnya berikan sudah dapat membeli satu mobil dalam kedipan mata. Tetapi, tetap saja. Felix ingin kedua orangtuanya memiliki waktu untuknya juga.

"Kak, seperti apa elusan tangan Ibu?" tanya Felix dengan tatapan mendamba.

"Seperti ini." Bangchan mengelus lembut puncak kepala Felix.

"Biasanya Ibu, selalu mengelus rambut, Kakak?" tanya Felix lagi. Kali ini tampak antusias.

"Iya."

Felix tersenyum.

"Kamu bisa membayangkan, kalau ini Ibu yang lakukan." Jahat memang, Bangchan memberikan sebuah harapan yang seharusnya tidak ia lakukan. Tapi, sebagai Kakak, Bangchan juga ingin membuat Felix bahagia.

"Baik." Felix mengangguk. Ia memejamkan mata, meresapi elusan tangan Bangchan di kepalanya. Membayangkan bahwa sang ibulah yang melakukan hal tersebut.

Senyum Felix begitu lebar, ia bahagia dengan bayangan yang ia miliki. Senyum yang masih tersungging apik, meskipun Felix sudah terlelap masuk ke dalam dunia mimpi.

"Mimpi indah, Sayang..."
Bangchan berbisik lembut, meniru dengan baik, bagaimana dulu ibunya melakukan hal tersebut disetiap tidurnya.

Helaan napas lembut terdengar. Bangchan tengah meracau dengan pikiran dalam benaknya. Bangchan merasa kasihan dengan keadaan dua adik kembarnya tersebut.

Jisung yang terus-menerus sakit, membuat adiknya itu tidak bisa bermain bersama. Tidak jarang, Bangchan melihat Jisung yang duduk diam, melamun menatap Felix yang tengah berlari ke sana kemari.

Jisung menatap Felix iri, karena dalam hidupnya. Jisung tidak pernah tahu bagaimana rasanya berlari. Felix sering menunjukkan semua itu pada Jisung, membuat Jisung semakin ingin tahu. Sekali Felix nekad membiarkan Jisung naik ke punggungnya yang kecil. Felix menggendong Jisung dan ia berlari dengan kedua kaki. Membiarkan Jisung merasakan bagaimana angin menerpa dirinya dengan cepat ketika berlari. Jisung sangat bahagia kala itu, meskipun setelahnya ia harus menanggung konsekuensi tinggal dua Minggu di rumah sakit.

Felix mendapat hukuman, dengan betis yang dipukul sang ayah. Karena telah membuat Jisung hampir kehilangan napas.

Jisung yang iri pada Felix karena sehat dan Felix yang iri karena Jisung sakit.

Felix yang sehat, tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan. Felix tersingkir secara perlahan, dan di sanalah ia sebagai Kakak, menggantikan posisi kedua orangtuanya menjaga Felix dengan baik.

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang