- 06

375 79 41
                                    

(Nama) memerhatikan Gempa membongkar cooler bagnya, dan ia menarik satu ampul kaca dari sana. Gempa mematahkan ampulnya, dan menyedot vaksin Astra Zeneca anti Nega-Genesis itu ke tabung injeksi tipis. Spuit yang CCan-nya kecil. Spuit imunisasi.

"Apa?" (Nama) mengernyit. "Kupikir ini hanya operasi bedah minor di leher. Kenapa kamu juga memakai vaksin itu?"

Gempa meliriknya sejenak setelah ia mengamankan tabung injeksinya ke wadah silver yang steril.

"Dia—gingseng brengsek berdenyut nadi yang menempel di antara mandibula dan klavikula itu—telah mengedarkan racun ke seluruh tubuhmu." Gempa menghela napas, dan mengingat, "Kamu memerlukan intoksikasi. Lagi pula, organismenya telah berada di sana cukup lama. Sebelum kekacauan di Istana Malancanang, katamu? Benar. Lebih dari seminggu ... aku tak bisa ambil risiko. Lebih baik mencegah yang tidak-tidak."

(Nama) tidak menyukai gagasan Gempa. (Nama) tahu jelas, vaksinnya belum diproduksi massal, dan hanya ada lima batch tersedia. Dan lagi pun, karena kecelakaan mini market sehari silam, vaksinnya berkurang banyak sekali. (Nama) yakin, vaksin Astra Zeneca anti Nega-Genesis memerlukan budidaya dan riset berkelanjutan. Meskipun Gempa punya 'resep'nya dalam database di flashdisk, perasaannya tetap tidak enak. (Nama) jarang merepotkan orang, namun sekarang, keadaan memaksanya menggunakan barang pemerintah.

Meskipun Gempa, si dokter pengembang vaksin virus onkogenik di rumah sakit Beijing, memutuskan untuk menyelamatkannya dengan satu setengah dosis vaksin, rasa bersalah tidak bisa meninggalkan pikirannya.

"Kita akan sampai ke Shelter Hebei kurang dari sehari lagi. Demikian hasil dari perhitunganku." (Nama) mengumumkan. "Tidakkah lebih baik menunda dosis vaksinnya? Vaksin itu kunci keberlanjutan peradaban manusia. Aku tidak mau menghambat perkembangannya."

Gempa menatap (Nama) setelah ia memasukkan setengah dari dosis ke dua vaksinnya. Masker medis di setengah wajahnya menyembunyikan raut ling lingnya. Si polisi terlihat tidak ingin mengganggu kemajuan produksi vaksin. Nada bicaranya rendah, dia terkesan berbisik. Tapi bahasanya lugas, penekanan di setiap kalimatnya tidak setengah-setengah. Gempa tidak mengerti, seberapa wanita itu menghargai nyawanya sendiri.

Gempa telah melihatnya, bagaimana ia mempertaruhkan nyawa dengan mengirim dinamit ke bokong pesawat perompak Somalia. Dia juga menerjang gerombolan perompak yang jumlahnya ada puluhan itu tanpa rompi anti peluru. Berbekalkan machine gun dan segenap keberanian. Meskipun dari luar, (Nama) terlihat baik-baik saja, nyatanya Gempa membaca adanya kekurangan hasrat akan hidup di retina kedua matanya. (Nama) jarang terbawa suasana, dia cenderung tidak ekspresif, dan protokoler bukan main.

"Tidak." Gempa menolak dengan singkat. Gempa merasa, dialah yang akan menentukan keputusannya, bukan (Nama). Lagi pula, kalau ingin mempertimbangkan untung-untungan, menyelamatkan satu nyawa (Nama) tentu saja bernilai. Selama (Nama) tetap mengabdi pada divisi anti Nega-Genesis, hidupnya akan bernilai. Dia jelas berkontribusi besar dalam pertahanan populasi manusia.

Namun, (Nama) menurunkan kedua kakinya ke lantai ruang bedah. Ia terlihat enggan menyetujui, dan tidak mau berkompromi. Seperti biasa, di tengah interaksi mereka, (Nama) selalu memicu ketidaksukaan Gempa padanya. Dia pembangkang. Gempa tidak suka pasien yang membangkang.

"Jangan bergerak." Gempa memperingatkan. "Tetap di sana!"

Kali ini, Gempa kesal sekali. Ia agak membentak, ia memuntahkan segala amarahnya yang telah ditimbunnya sejak lama. Makanya, mimik wajahnya mengeras, dan dia benar-benar memperingatkan si opsir agar menurut.

"Kamu?" (Nama) menarik senyum. Senyum itu, jujur saja, terasa sangat menyebalkan, karena sifatnya menghina. Gempa cemberut hebat, menahan kesumat marah di dada. "Mengancamku, Dokter?"

Gempa x Reader | NegagenesisWhere stories live. Discover now