- 22

330 80 54
                                    

Kulkas itu terdiri dari lima rak. Rak pertama dipenuhi oleh sayuran berklorofil. Pekat kadar zat besinya. Kalau kata Gempa, kaya akan serat, bisa melancarakan pencernaan. Rak kedua kasual, semua orang memilikinya di rumah; buah-buahan, produk holtikultura. Variannya beragam. Dari buah lokal sampai impor dari Tiongkok seperti apel gabus, jeruk, mandarin, kentang segar atlantik, anggur pamelo dan jeruk cina. Rak nomor tiga dikhususkan untuk ragam pangan biji-bijian. Ada dua kemasan biji pepitas, barley mutiara, kacang hijau, serta kismis khas oleh-oleh pulang naik haji. Pelengkap sereal. Sementara di rak keempat, si empu kulkas menimbun makanan berprotein tinggi; setoples daging sapi tanpa lemak dalam marinasi bumbu kunyit, keju cottage, dan ikan halibut awetan. Di rak terakhir, (Nama) memergoki adanya bumbu borage berlabelkan informasi gizi berbahasa Yunani, bersertifikat halal, seikat dill, chervil—kerabat dekat piterseli, tumbukan marjoram, tarragon dalam plastik vakum, serbuk kuma-kuma, fennel tanpa daun, dan timi.

(Nama) menutup kedua pintu kulkasnya, lalu ia berdiri tegak. Sekarang, (Nama) memeriksa bagian freezernya. Gempa menyetok daging sapi, daging unggas yang tidak bisa (Nama) ketahui apa persisnya, entah ayam atau kalkun, sayap ayam siap goreng, dan dimsum beku.

Selesai menginvestigasi kulkasnya, (Nama) beralih menyelidiki satu persatu wadah kaca yang dijejerkan Gempa di rak dapurnya. Ada lada hitam, basil kering, garam dan gula, bumbu biryani, oregano, dan merica bubuk. Wadah bumbunya terisi penuh dan dilabeli. Tulisannya jelek. Tulisan itu hampir menjadikan (Nama) memuntahkan makan siangnya.

Kemudian, aroma yang menyengat menyerang indera penciuman (Nama). Sejalan dengan suara api pada kompor, dan suara didihan air, aroma kuat itu menyeruak ke seantero ruangan.

(Nama) melirik Gempa. Dan pada wajan keramik di atas kompornya. Dia tengah mendidihkan kuah hot potnya. Setelah masakannya selesai dibuat, Gempa memadamkan api di kompornya, lalu ia memakai sarung tangan di kedua tangannya. Gempa meletakkan hot pot berdiameter hampir lima jengkal tangan manusia itu ke atas meja marmer.

Wajah itu beruap panas. Kuahnya merah menyala. Mala oil mengambang di atas kuahnya. Gempa memasukkan irisan daging domba, goji beri, jamur enoki, dan irisan tomat segar ke dalamnya.

(Nama) penasaran. Ia membuntuti Gempa dan duduk di meja makannya. Sup itu sebetulnya terlihat menggugah selera, tapi perhatian (Nama) terfokus pada bagian tomat segar dan daging dombanya. Dagingnya diiris tipis. Seperti cara memotong ikan salmon. Dagingnya berserat, warnanya masih merah muda, karena kematangannya disetting mencapai medium saja.

(Nama) mengernyit.

Gempa menyediakan mangkuk kecil dan sumpit di sisi meja (Nama). Gempa juga menyeret semangkuk besar nasi ke tepian hot potnya.

Gempa lekas duduk di sebrang (Nama).

"Ini hot pot dengan kuah kaldu mala. Banyak ditemukan di jalanan Beijing kalau mereka sedang merayakan tahun baru. Yah, aku bekerja di Beijing hampir tiga tahun. Aku jadi terbiasa memasak makanan oriental." Gempa menjelaskan. "Sinchuan peppercorn dan cabai Cina mengasosiasikan rasa yang khas. Kalau tidak percaya, silahkan dicoba."

Berhubung alat makannya sudah siap, (Nama) memutuskan untuk menindak keingintahuannya. Tangan kiri (Nama) meraih mangkuk kecilnya, kemudian tangan kanannya bertugas mencapit hidangan di dalam hot pot.

(Nama) menarik satu lembar daging domba. Daging domba, katanya? Kenapa daging domba dikemas serapi ini? Dagingnya tipis, seperti daging sebagai topping sushi. Sejenak, (Nama) mengangkat dagingnya di atas mangkuk, mempelajari bagaimana Gempa mengirisnya.

Itu seni yang indah. Dagingnya dibuat berpotongan tipis, hampir mirip tissue berserat, dengan konsistensi kenyal. (Nama) melirik Gempa. Apa orang itu sangat terlatih mengiris daging? Atau semacamnya? Bakat yang mengerikan.

Gempa x Reader | NegagenesisWhere stories live. Discover now