- 12

399 80 48
                                    

Solar memasangkan mahkota berbentuk lingkaran besi pada lingkar kepala (Nama). Lampu indikatornya menyala merah, dan berkelip-kelip sambil membunyikan suara alarm bangun tidur. Pupil (Nama) memandang benda elektronik di atas keningnya. Benda itu, terus terang, lebih berat dari helm, dan rasanya tidak nyaman.

"Apa katamu tadi? Neuro apa?" Tanya (Nama).

"Neurotransmitter." Solar mundur menjauh. Solar membiarkan (Nama) berada di ring tinju itu sendirian. "Itu sebetulnya neurotransmitter, tapi versi dielektronikkan. Berbanggalah, (Nama). Karena aku belum memasarkannya kemana pun, ke Shelter Paris sekalipun. Padahal rancangannya sudah aku buat bahkan ketika aku masih menjadi tenaga peneliti di divisinya Mother Kirana."

(Nama) menyentuh produk beta itu. Permukaannya mengkilap, seperti material besi pada umumnya. Warnanya gelap, bentuknya simpel, dan dua kabel tembaga menyeruak tepat di atas telinga kirinya. Benda itu tak punya perangkat input untuk diadjust, karena pengaturan fungsinya disimpan di remot kontrol yang dipegang Solar. Port chargernya ada di belakang kepala (Nama), menyembul keluar, kalau dilihat dari bentuknya, (Nama) bisa berspekulasi bahwa jenisnya masih USB. Solar sendiri bukan ilmuwan di instansi terkemuka, ia hanya iseng mengerjakan proyek kelistrikannya sembari menikmati tenangnya hidup di Shelter Hebei. (Nama) yakin, benda ini, seberapapun menakjubkannya, terbuat dari bahan seadanya.

"Siap?" Solar bertanya.

(Nama) mengangguk.

Solar menekan tombol power pada remot kontrolnya, mengaktifkan sepenuhnya neurotransmitter hasil coba-coba itu. Sedangkan di sana, (Nama) tidak merasakan apapun. Tapi di detik dimana bunyi alarmnya menipis, kepala (Nama) tersengat seberkas cahaya—(Nama) mengasumsikannya sebagai listrik.

(Nama) ragu-ragu menekukkan tangan kirinya, iseng. Ia ingin mengerjakan gerakan sederhana sebelum berkarate di ring.

Suara mesin diesel menyeruak dari sela-sela besi pada benda besar di sampingnya. Benda itu, kata Solar, berukuran lebih besar daripada Limosin. Bentuknya seperti robot raksasa, komponennya dicetak dari mesin print tiga dimensi. Robotnya belum dinamai, tapi—lagi-lagi, kata Solar—nomor serinya ialah 010750. Nol satu berarti unit percobaan pertama, nol tujuh merujuk pada bengkel dimana ia selesaikan, yaitu di laboratorium mesin biomekanik kamar nomor tujuh, dan lima puluh bermakna tahun rilisnya.

Robot itu tak sekompleks Optimus Prime. Dari penampilannya, robot 010750 terlihat lebih konvensional. Kabel-kebel penghantar listrik terlihat di sela engsel sendi besinya. Kala (Nama) menekukkan tangan kiri, robot itu bangkit dari posisi bertekuk lutut, dan ikutan mengangkat tangan kirinya. Postur tubuhnya tegap. Tingginya dua kali lipat tinggi Solar, dan tubuhnya berlapis-lapis zirah. Setiap ia bergerak mencontoh gerakan-gerakan kecil (Nama), suara deruan mesin tercipta dari reaksi fluida di dalamnya.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" (Nama) berkuda-kuda seperti setting gerakan Te-Waza daam teknik karate, lalu, dengan sinkron, robotnya mengopi-paste mobilisasi (Nama), secara sempurna, tanpa celah untuk berkomentar jelek.

Solar tertawa garing, ia bersandar di dinding anti peluru dari laboratorium itu, "Fisika kuantum. Itulah mengapa."

(Nama) mencoba gedakan iseng lain. (Nama) memerhatikan betapa bagusnya kinerja robot itu. Robotnya bukan membaca perintah dan menirukannya, mengingat gerakannya terjadi tanpa jeda, dan motionnya sempurna tiada dua, (Nama) curiga cara kerjanya justru tidak semudah mengandalkan sensor.

"Secara remot?" (Nama) menebak.

"Bukan, bukan, neurotransmitter di kepalamu bukan remot," Solar menyeringai, "Tapi, converter. Dia terhubung ke dua belas saraf krainalmu. Implusnya dikirimkan melalui gelombang listrik. Kamu menggerakkan tanganmu karena otakmu menyuruhmu begitu. Otakmu, memerintahkan tanganmu bergerak. Tapi sekarang, otakmu jadi bertambah jobdesknya; otakmu menyuruh tanganmu bergerak, dan menyuruh tangan robot 010450 itu bergerak juga."

Gempa x Reader | NegagenesisWhere stories live. Discover now