6. MENGINAP

300 42 17
                                    

"Ril, pijitin kaki Abang dong." Sabian menselonjorkan kakinya kehadapan Yusril.

PLAKK!!!

Sabian menarik kakinya. Dia memanyunkan bibirnya sambil mengusap area kaki yang di tampar Yusril. Pedas sekali tamparan tangan Yusril pikirnya. Sedangkan sang pelaku hanya acuh, Yusril sibuk dengan chiki yang ada di pangkuannya. Hasil malak dari Riki.

"Kualat Lo. Sama sepuh begitu." Riki menimpali.

"Gue juga sakit, ya. Kalian pikir lari-larian di halaman ga pake sendal enak hah?!" bela Yusril. Memang saat kejar-kejaran tadi Yusril tak sempat memakai sendal karena lari diposisi terakhir.

"Gue lagi lemes, malah diajak lari dadakan. Bujubuset, untung ga nyusruk."

"Lagian bang kalo ketawa tu jangan Maruk, receh banget sampe bengek." Riki merebahkan tubuhnya dilantai. Matanya terpejam, batre sosialnya habis.

"Lagian, udah tau sepuh malah usil. Inget umur encok nanti ngerepotin yang muda." Dion yang sedari tadi anteng merakit Lego sedikit terusik.

Dion memungut serpihan Lego yang belum selesai dia rakit. Matanya memastikan agar tidak ada yang tertinggal, hingga dirinya bangkit untuk menuju kamarnya. Yang paling tua menatap kepergian Dion dengan pandangan sulit diartikan.

"Dion masih kesel?" Sabian yang pertama kali bersuara. Tak ada sahutan, Yusril yang masih menatap pintu kamar Dion dan Riki yang sudah terlelap.

"Biasanya gak kayak gini." Yusril sipaling sering menjahili Dion merasa aneh dengan sifat Dion yang sekarang.

Dion kembali menghampiri mereka, dengan membawa sebuah tas obat-obatan. Lalu mendudukkan diri disamping Sabian. Tangannya membuka tas tersebut, mencari lotion yang bisa dipakai saat dia memijat kaki Sabian.

"Kakinya selonjorin lagi, bang." semua mata merekam setiap gerakan Dion. Selesai dengan kaki Sabian. Dion beralih pada Yusril, yang juga sedang menatapnya.

"Kakinya ada yang luka ga, mas? Takutnya nginjek kayu atau apa gitu." Yusril menggeleng.

Dion menatap Riki yang tertidur. Posisinya tengkurap, sehingga wajah Riki dapat merasakan dinginnya lantai. Dion menepuk pundak Riki.

"A bangun jangan disana, masuk angin nanti." Riki mengerang. Dia bangkit dari posisi tengkurapnya dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Mau tidur dimana? Disini atau dikamar aa?"

"Disini ajalah, si Yusril kalo tidur suka najong (nendang)." Sabian mengangguk setuju dengan ucapan Riki. Gitu-gitu Yusril kalo tidur bisa ngereog. Yusril pun sadar diri, jadi dia setuju-setuju saja.

"Kepinggirin dulu sofa sama mejanya. Ambil kasur lantainya dikamar A Riki. Gue mau cuci tangan dulu, panas abis bantu bang Bian."

"Marah aja masih bisa peduli ye tu bocah." Yusril mulai memunguti cemilan yang berjatuhan. Sabian mendorong sofa agar nanti cukup untuk kasur lantai. Sedangkan Riki masih anteng duduk sambil melihat kegiatan teman-temannya.

Dion kembali dengan dua selimut ditangannya. Kasur dan bantal sudah tertata diruang tengah, tapi dia sama sekali tidak melihat keberadaan tiga orang sepuh itu. Tak peduli Dion menaruh selimut itu, saat hendak pergi suara Riki menginstruksinya.

"Tidur disini juga, dek. Samping aa." Dion mengangguk, lalu langsung merebahkan diri.

"Mau pake alas handuk ga bantalnya?" Tanya Dion.

"Mau pake tangan adek aja, ehehe." Riki cengengesan. Dia menarik tangan Dion agar bisa dia jadikan bantal.

"Kalo gini, gue yakin yang adek disini Lo Ki."

"Diem deh yus. Yang ga punya adek, ga di ajak."

"Tapi gue ga pernah gitu ke sakir, ki." timpal Sabian.

"Udah, udah. Ini mau langsung tidur? Ga mau nonton atau apa gitu?" Dion menengahi perdebatan tiga orang dewasa diantaranya.

Sejenak mereka berpikir. Apa yang akan mereka lakukan, jika langsung tidur tidak seru. Riki bangkit dari posisi tidurnya, berjalan tergesa-gesa kearah kamarnya. Tak lama kemudian Dia datang dengan  iPad dan bedak bayi.

"Main ludo aja. Yang kena usir kita coret pake bedak. Yang kalah di akhir nanti harus nurutin permintaan kita?"

"Keinget jaman masih muda, main ludo." Sabian mengenang masa-masa dulu. Masa sebelum dia dijedor habis-habisan dengan tugas dan laprak dari dosen.

"Alhamdulillah. Bang Bian sadar diri, kalo udah ga muda." Yusril mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Seperti yang biasa orang lakukan ketika selesai berdoa.

Mereka duduk melingkar dengan iPad dan bedak berada di tengah. Permainan dimulai dari Sabian dengan ludo warna biru, Riki warna merah, Dion warna Hijau, terakhir Yusril warna kuning.

Sabian tersenyum tenang saat ini dia hanya perlu lima mata dadu untuk menjadi juara pertama . Di susul Dion tersisa satu yang terus dikejar Riki dan Yusril. Sedangkan Riki dan Yusril masing-masing tersisa tiga.

"Dek, tong lumpat atuh. Teu solid pisan ka aa teh."

"Dion, tungguin mas. Jangan lari terus."

"Baru keluar inii, jangan di incar muluu IHH"

"YUSRIL!!!! KAN GES SEPAKAT PAEHAN NU HEJO MALAH MAEHAN NU AING SIA MAH?!!!" Riki prustasi ketika miliknya kembali terkurung.

"Bodo amat gue ga paham lu ngomong apa." Yusril full senyum, tak peduli dengan ocehan Riki. Toh dia juga ga ngerti.

01. Aa With Adek [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang