17. MIMPI -END-

213 33 37
                                    


Seorang pemuda bergerak gelisah dalam tidurnya. Keringat bercucuran, mulutnya tak henti bergumam mengeluarkan setiap kata yang kurang  difahami.

"DION!!!!" teriak pemuda itu, yang mengundang semua penghuni rumah. Pintu kamar langsung terbuka, menampilkan empat pemuda lain yang tinggal disana.

"Ki, Lo mimpi lagi?" tanya yang paling tua diantara pemuda yang ada disana. Melihat kondisi Riki yang kurang baik, keringat bercucuran, nafas yang memburu seperti orang yang abis dikejar-kejar anjing. Kurang lebihnya mereka tau apa yang terjadi pada Riki.

"Minum dulu, a." Ryo menyodorkan segelas air pada Riki. Yusril yang posisi paling dekat dengan Riki pun membantu Riki untuk minum.

"Gue kangen, Dion. Hiks ... Maafin aa Dion, aa belum bisa lupain kamu. Hiks ... " Riki menangis dibalik tangan yang menyembunyikan wajahnya.

Semua mendadak mengingat Dion. Sosok yang seharusnya ada diantara mereka sekarang. Sosok yang telah meninggalkan mereka 3 tahun yang lalu.

"Ki, lu ga harus lupain Dion. Cukup lu ikhlasin dia pergi." Sabian berusaha menenangkan Riki, walaupun dirinya juga merasa sesak jika kembali mengingat Dion.

"AA ikhlas Dion, aa ikhlas kamu pergi. Kenapa kamu ganggu aa hiks ... Aa ga suka kamu hiks muncul di mimpi buruk aa, hiks... Dion."

"A Iki udah yah, mungkin Dion mau aa jenguk dia." ujar Syakir. Riki melepaskan tangan yang menutup wajahnya, dia menatap satu persatu teman-temannya.

"Kita kesana bareng-bareng ya? Bantu gue." tentu semuanya bersedia membantu Riki. Mereka tinggal bersama pun dengan tujuan membantu Riki agar tak kesepian.

"Tanpa lu minta juga kita pasti bantu lu, ki."

"Makasih semuanya."

"Mending sekarang Lo tidur lagi, kita tidur disini ya semua." semua menyanggupi permintaan Sabian. Walaupun tak cukup, mungkin beberapa akan menggelar kasur lantai dibawah. Waktu masih terhitung sangat pagi untuk mereka bangun, jadi tak ada salahnya bagi mereka untuk tidur kembali.

"Gue izin, ke kamar dulu ya. Nanti gue balik lagi." Ryo langsung beranjak tanpa mendengar balasan dari yang lain. Sabian merasa ada yang aneh dengan gelagat Ryo, jadi tanpa sepengetahuan Ryo dia mengikutinya dari belakang.

Ryo memang kembali kekamarnya, bukan untuk mengambil keperluannya melainkan untuk menangis.

"Gak usah sok sok an ngintip deh bang. Badan Lo Segede Titan gitu, masih bisa keliatan." ujar Ryo disela-sela tangisnya. Sabian terkekeh, setidaknya Ryo masih tetaplah Ryo yang memiliki mulut yang asal bicara.

"Mau Abang peluk?" tanya Sabian sambil mendekat kearah Ryo, yang langsung dibalas anggukan dengan cepat.

"Bang, jujur gue juga sulit buat relain Dion. Apa lagi liat keadaan a Iki tadi, bikin gue inget kejadian dipemakaman dulu." Sabian paham. Dia, serta yang lain adalah saksi bagaimana terpuruknya Riki saat Dion pergi.

Meninggalnya Dion menjadi titik terlemah Riki. Saat jasad Dion ditemukan Riki tak mampu melihatnya, dia ingin mengelak pun tak mampu. Bentuk porsi tubuh, pakaian yang dipakai sudah memperlihatkan dengan jelas bahwa itu Dion. Tubuh Riki melemas saat itu, hingga ia tak sadarkan diri hampir tiga jam lamanya.

Proses jasad Dion yang akan dikebumikan pun berjalan lambat, karena Riki menghalangi prosesnya. Dia terus berkata "Bangun Dion, bangun!!". Bunda dan ayah tak bisa berbuat apa-apa, mereka paham Riki belum siap, mereka juga sama. Tapi Riki lebih parah, dia sempat mengamuk mengusir semua orang yang hadir pada proses pemakaman.

"Dion, belum mati! Dia lagi tidur. Bunda tolong, adek lagi tidur dia sakit bunda. Usir orang-orang ini, bunda."

"Yus, yus. Dion lagi demam, liat wajahnya pucet, tolong usir mereka yus".

01. Aa With Adek [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang