11. PAGINYA

251 31 30
                                    


Pagi ini berbeda dari pagi biasanya. Dion terbangun sebelum alarm berbunyi. Hidungnya mencium bau harum yang mengundang rasa lapar. Dion menyibak selimutnya, sedikit kesulitan untuk bangun karena Riki memeluknya seperti guling.

"Pagi, aa. Adek lepas ya peluknya. Laper soalnya hehe." pertama Dion memindahkan tangan Riki, baru kemudian kaki Riki. Dion menyelipkan guling untuk Riki peluk. Dion berbalik untuk keluar kamar, menuju sumber harum yang membuat perutnya lapar.

Setibanya di dapur, Dion tersenyum melihat bunda. Wanita paruh baya itu tengah mengaduk sesuatu yang ada di dalam panci. Dion mendekat kearah sang bunda.

"Pagii bundaanya adekk~~" ucap Dion saat telah sampai disamping sang bunda. Senyuman terlukis pada wajah ayu bunda, tangannya mengusap rambut Dion yang sudah terlihat memanjang.

"Pagi juga anak bunda. Adek laper, ya?" Dion mengangguk. Bunda ini memang tahu kebiasaan anak bungsunya jika sudah bangun sebelum jam-nya. Tak lama ayah datang dengan gulungan koran.

"Lho, adek? Laper pasti." Ayah pun sepertinya tahu kebiasaan Dion.

"Pagii ayahh!!" Dion menjauhi bunda, mendekat kearah sang ayah. Mendudukkan diri dekat ayah, lalu memberi kode agar ayah juga mengusap rambutnya. Ayah tersenyum melihat tingkah anak bungsunya itu.

"Pagi juga, jagoan. Kamu ga bangunin aa? Tantrum pasti dia, bangun-bangun adeknya udah ga ada haha." ujar ayah dengan kekehan diakhirnya.

"Itukan kebiasaan kecil dulu, yah. Sekarang mereka udah besar, ga mungkin kayak gitu." ujar bunda, sambil

Kebiasaan yang sulit dihilangkan dulu saat masih kecil. Riki terbilang anak yang jarang merengek dulu, bahkan saat mau tidur maupun bangun tidur dia harus melihat Dion dulu. Jika Dion tak ada, teriakan ada menggema disatu rumah.

"ADEKK HILANGG???!!!!"

Baru juga akan mengenang masa lalu, malah kejadiannya terulang. Bunda menggelengkan kepalanya, sedangkan ayah tertawa karena suara grasak-grusuk Riki yang sepertinya menuju ke tempat mereka.

"BUNDAA ADEK HILANG!! IKI MIMPI ADEK KABUR NAIK SAPI BANG BIAN, BUN!!" teriak Riki yang masih di ruang tengah.

"Yah. Anak sulung kamu kenapa, sih?" Bunda prustasi kayaknya. Kebiasaan Riki dari dulu masih belum hilang.

"Harusnya ayah yang nanya. Anak bungsu kamu punya sihir apa, sampe Riki bisa jadi gitu HAHAHA." Bunda melirik kearah Dion. Jika dipikir-pikir memang pusatnya itu ada di Dion. Sedangkan orang yang dilirik hanya mengedikkan bahunya tak peduli.

"BUNDAA IHH, BANTU IKI NYARI AD- dek." teriakan Riki terhenti saat melihat oknum yang dicari tengah mengunyah roti dengan tenang. Riki menatap satu persatu orang yang ada disana. Bunda hanya diam seperti patung. Disatu sisi ada ayah yang tertawa entah karena apa, Riki tak tau.

Bunda mengusap dadanya sabar. Lalu tersenyum menatap Riki. "Pagi anak, bunda. Jadi kali ini Iki mimpi apa?"

Riki menceritakan mimpinya. Bunda mendengarkan sambil menyiapkan sarapan dibantu Dion. Ayah juga sesekali bertanya akan mimpi Riki, bahkan tak sempat-sempatnya menggoda anak sulungnya itu.

"Bang Bian pernah bilang kalo dia mau ngambil Dion, Bun yah. Bukan cuman bang Bian. Yusril, Sakir, Ryo, mas Raden bahkan ortu mereka juga pernah bilang gitu. Jadi ayah harus kasih kita bodyguard kalo perlu, soalnya om Yudha suka banget nyogok pake embel-embel mau beliin Dion  toko Lego."

Ayah percaya ucapan Riki bukan asal bunyi. Semuanya terbukti dari pesta semalam. Banyak sekali para orang tua yang nempel dengan Dion, bahkan pagi tadi rumah mereka kedatangan kurir yang membawa kardus besar berisi aneka macam Lego dan printilan Pikachu. Kurirnya bilang itu kiriman dari orang yang bernama Yudha.

01. Aa With Adek [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang