12. IZIN

200 30 24
                                    

"Yang bener sekolahnya. Jangan bandel, kalo Ryo ngajak bolos jangan mau. Aduin aja langsung ke guru." petuah Riki pada Dion.

"Ga ada yang ketinggalan? Udah di cek semua, hape kamu kebawa ga? Ini dasinya bengkok, gimana sih kamu pasangnya." Riki membenarkan letak posisi dasi Dion. Beberapa siswa melalui mereka sambil menahan tawa sekaligus gemas. Pasalnya sedari tadi Riki terus saja berceloteh seperti emak-emak yang mengantarkan anaknya sekolah.

"Oy Ki!" Riki menoleh pada sumber suara. Rupanya ada Sabian yang juga mengantarkan Syakir sekolah.

"Tumben dianter Abang, cil." Syakir yang sepertinya masih setengah mengantuk tak merespon ucapan Riki. Dia turun dari motor, kemudian menghampiri Dion. Syakir berjalan kearah belakang Dion, menumpukan wajahnya pada punggung Dion.

"Masih ngantuk dia, khawatir kalo dibiarin sendiri. Jadi gue antar." jawab Sabian. Setelah tugas para Abang selesai mereka pamit untuk pulang. Para adik pun segera masuk ke kelas.

"Siang banget lu pada datengnya. Ketinggalan info kalian." kesal Ryo. Karena bosan menunggu Dion dan Syakir.

"Info apa, yo?"

____AA WITH ADEK____

Dion pulang menggunakan ojek online. Padahal Riki telah berkata sebelumnya, jika pulang sekolah  dia akan menjemputnya. Namun dikarenakan sekolah selesai lebih awal, alhasil Dion pulang menggunakan ojek.

Sampai dipekarangan rumah, Dion berlari cepat masuk kedalam dengan tangan memegang selembar kertas yang bertuliskan "Surat perizinan Camp". Ryo memberi tahu informasi yang Dion lewatkan karena lama masuk kelas tadi pagi.

"Ayahh!!!" Dion mendekat pada ayah, lalu menyodorkan kertas lengkap dengan bolpoin untuk tandatangan. Ayah yang merasa heran pun segera membaca kertas tersebut.

"Adek mau ikut kemping?" Dion mengangguk.

"Ayah kasih ijin. Coba ijin dulu sama bunda. Kalo soal aa, biar ayah yang ngomong nanti." Ayah tahu isi pikiran anaknya. Tidak sulit mendapat izin orangtua, karena mereka tau Dion bisa menjaga diri, tapi lain hal dengan Riki yang selalu banyak pertimbangan, hingga akhirnya Dion kehilangan mood.

"Ayah mau ngomong apa?" Dion terhenyak.

"Ehh, dek. Hampura, rewasnya. Tepika ngagebeg kitu. Hehehe. Cium hela dieu." Riki merangkul pundak Dion sambil memajukan bibirnya, berusaha untuk mencium Dion. (Ehh,dek. Maaf kaget ya. Sampe terperanjat gitu. Hehehe. Cium dulu dulu sini.)

Atensi Riki teralihkan pada selembar kertas yang ada di tangan Ayah, dengan cepat Riki merebut kertas itu. Matanya melirik Dion yang terlihat gugup. Rangkulan pada pundak Dion dilepasnya. Matanya dengan teliti menyusuri dan memahami setiap kata yang ada pada kertas.

Dion dibuat gugup dengan tingkah Riki. Hanya meminta izin, terasa seperti dirazia guru BK. Mata Riki sesekali melirik kearah Dion yang mana membuat Dion merasa semakin takut dengan kata yang akan diucapkan Riki.

"Ga usah ikut." sesuai dugaannya. Dion melirik kearah Ayah, memohon agar ayah dapat membantu.

"A, kasih izin adeknya. Pasti temennya pada ikut, tadi adek udah seneng banget tau nunjukin itu ke ayah."

"Aa, adek janji ga bakal maksa minta dibeliin Lego sebulan. Ijinin adek, ya? Cuman 2 hari kok." Riki hanya menatap Dion sekilas. Memberikan kembali  surat izin itu pada ayah. Riki pergi menuju kamarnya tanpa memperdulikan perkataan Dion.

"Ayah, adek salah ya? Aa kok suka gitu sama adek." Ayah menarik anak bungsunya untuk duduk. Tangannya terulur mengangkat dagu sang anak.

"Adek ga salah. Nanti biar bunda aja yang ngomong sama aa, ya." ujar ayah yang masih berusaha menghibur Dion.

Malam harinya saat makan malam, suasana hening tampak tak seperti biasanya. Bunda menatap tingkah aneh kedua putranya. Si paling berisik kini makan dengan tenang, sementara yang paling muda menunduk sambil sesekali mencuri pandang pada yang paling tua.

Selesai makan malam, Bunda meminta kedua putranya untuk menunggu di ruang tengah. Sebelumnya ayah menceritakan kejadian tadi siang,jadi kurang lebihnya bunda paham penyebab anak-anaknya seperti ini.

"Siapa yang mau duluan buka suara, Adek?" tunjuk  bunda pada Dion yang setia menundukkan kepalanya.

"Sekolah ngadain perkemahan, katanya buat nanti kami yang kelas akhir bisa santai dulu sebelum ujian akhir nanti." Dion menjeda ucapannya. Matanya melirik kearah Riki yang asik memainkan ponsel.

"Adek, ... Ad-dek mau ikut bunda. Semuanya ikut, bahkan Sakir sama Rio juga ikut." cicit Dion dengan kepala menunduk dan tangan yang memainkan ujung kaosnya.

"Udah bunda, biar sekarang giliran Aa." Riki meletakan ponselnya.

"Bunda adek bohong, yang ngadain acaranya bukan sekolah tapi para OSIS. Terus acara mendadak, dua hari dari sekarang. Terlebih lagi, aa takut adek kenapa-kenapa. Kalo tiba-tiba ada kabar bisnya nyusruk ke jurang gimana, kek berita dulu? Teruss emang adek bisa tidur tanpa aa. Orang adek kalo tidur harus liat aja dulu, harus peluk aa, harus di cium, harus dibacain cerita sama aa. Terus yang paling parahnya lagi bunda, KALOO IKI KANGENN SAMA ADEKK GIMANAA??? pokonya Iki ga izinin adek ikut kemping." Bunda melongo. Mulut Riki tanpa jeda mengeluarkan setiap kata dengan cepat. Dion terbiasa dengan hal itu, toh itu makanan sehari-harinya. Lain lagi dengan bunda dan ayah, mereka mengira Riki orang yang santai, calm.

BRAKK!!!

Suara bantingan pintu kamar Dion. Setelah cerocosan Riki yang tiada henti, tanpa berkata sepatah katapun Dion pergi menuju kamar.

"DEK?!! PINTUNYA RUSAK KAMU BENERIN PAKE LEGO!!" amuk Riki.

01. Aa With Adek [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang