Bab 27

22.4K 2K 30
                                    

Liora tidak bisa menghentikan air matanya yang terus mengucur keluar. Ia menangis dengan suara pelan, sedangkan Ayahnya tengah tersenyum menatapnya. Sebenarnya Liora melihat kondisi Ayahnya baik-baik saja. Hanya ada sebuah infus yang menancap di tangan Ayahnya.

"Heh, udah dong jangan nangis terus," tegur Ayah menatap anaknya semata wayangnya tidak berhenti menangis sambil menatapnya. Padahal kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Kalau Liora melihatnya kemarin saat terkapar lemas, mungkin tangisan itu akan sepuluh kali lipat lebih keras.

Bukannya berhenti, air mata Liora semakin deras mendengar suara Ayahnya. Ia berdiri agak jauh dari tempat tidur Ayahnya karena telalu takut untuk mendekat.

Ayah masih tetap tersenyum melihat anaknya. Ada raut khawatir, takut, sedih, semua tergambar jelas di wajah Liora. Kemudian ia menepuk-nepuk tempat tidurnya, mengisyaratkan anaknya untuk mendekat. "Jauh banget sih berdirinya. Duduk sini."

Liora tidak bergerak dari tempatnya. Sampai ada sebuah dorongan halus membuatnya mendekat ke tempat tidur Ayahnya. Siapa lagi kalo bukan Andaru yang mendorong punggungnya dari belakang.

"Kamu ngobrol dulu sama Ayahmu. Biar aku tunggu di depan," bisik Andaru yang berdiri di belakang Liora. Ia tidak mau mengganggu percakapan anatara anak dan ayah. Kemudian ia menatap Ayah Liora sebentar, sebelum melangkah keluar dari kamar rawat inap.

Setelah kepergian Andaru, tidak satupun dari Liora atau Ayahnya yang membuka suara. Tatapan mata Liora tertuju pada tangan Ayahnya yang dipasang infus. Baru kali ini ia melihat Ayahnya harus terbaring di rumah sakit. Selama ini Liora mengenal sosok Ayah yang selalu sehat. Kalaupun sakit, hanya periksa ke dokter tanpa harus rawat inap.

"Ayah cuma kecapekan aja. Bukan sakit parah kok," ucap Ayah memecah keheningan. Ucapannya seakan-akan bisa membaca pikiran anaknya.

"Ayah nggak bohong, kan?" Liora menghapus sisa air mata di pipinya.

"Ayah beneran nggak papa. Kamu nggak perlu khawatir."

"Ayah bikin aku takut. Selama ini Ayah nggak pernah sakit sama sekali, sekalinya sakit langsung masuk rumah sakit."

"Namanya juga sakit, nggak mungkin direncanain," ucap Ayah begitu anaknya duduk di pinggir tempat tidur. "Nggak ada yang mau sakit, Lio. Kalo bisa sehat, Ayah lebih pilih sehat terus."

"Hmmm...."

"Padahal Ayah udah nyuruh Oma biar nggak ngabari kamu soal kondisi Ayah. Paling besok atau lusa Ayah dibolehin pulang."

"Sebenarnya, Ayah sakit apa?" tanya Liora dengan suara pelan. 

Ayah terdiam, memilih untuk tidak menjawab.

"Ayah sakit parah?" tanya Liora dengan wajah serius. "Jangan-jangan, waktu di luar negeri sebenarnya Ayah nggak kerja, tapi Ayah lagi berobat. Iya, kan?"

Ayah mengulum senyum. "Ayah benaran kerja," sahutnya. Jeda agak lama sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Setelah semua kerjaan selesai, Ayah emang sempat ke rumah sakit."

"Ngapain?"

"Medical checkup rutin," jawab Ayah santai.

"Terus, gimana hasilnya?"

"Semua bagus."

Liora menyipitkan matanya, menatap Ayahnya dengan tatapan curiga. "Yakin?"

Ayah mengangguk.

Tiba-tiba Liora masuk ke dalam pelukan Ayahnya. "Ayah jangan sakit. Aku nggak mau kehilangan Ayah. Kalo nggak ada Ayah, aku sama siapa?"

Ayah balas memeluk Liora lembut. Ia terenyuh mendengar kalimat yang diucapkan anaknya. Lama ia memeluk Liora, sampai akhirnya Liora melepaskan pelukan lebih dulu.

Swipe Right [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang