Part 30: Saki Datang!

23 3 0
                                    

"AKIRA! KALIAN BERDUA NGAPAIN?!"

Suara itu terdengar menggelegar di dalam ruangan. Membuat Akira dan Valen tersentak kaget. Satu... dua detik mereka hanya mengerjapkan mata mereka sebelum akhirnya mereka tersadar apa yang telah mereka lakukan. Wajah keduanya memerah. Kalau di kartun-kartun, mungkin wajah mereka sudah ada asap yang mengepul di atas kepala mereka.

Orang itu, Saki tak tahan. Ia menarik tangan Akira menjauh dari Valen. Ia menunjuk wajah Valen dengan ekspresi wajah yang ketakutan. "Akira, kenapa kamu bersama dia?! Kan sudah kuperingatkan buat jangan pernah berurusan dengan orang ini."

"Saki, dia nggak seperti yang kamu bilang. Dia baik kok. Suka bantuin aku. Ya, minusnya dia suka ngejahilin kucing aja. Masa dia ngasih makan rumput ke kucing? Terus pas aku neliti Valen, dia nggak berbuat yang aneh-aneh kok..."

"Kok kamu belain anak nakal kek dia sih? Inget, Ra. Dia tuh pernah bunuh orang."

"Nggak, pasti bukan dia pelakunya. Kalaupun iya, pasti dia punya alasan sendiri."

"Akira, sadar deh. Orang ini tuh orang jahat."

"Nggak, Ki... Valen bukan orang jahat."

Sementara itu, Valen menonton perdebatan mereka dengan wajah cengo. Bisa-bisanya gadis-gadis itu membicarakannya persis di depan orang yang mereka bicarakan. Mereka ini sinting atau memang niat mati?

Oh ya, lelaki itu jadi teringat. Terkait mati, bukankah Valen pernah berjanji untuk membunuh Akira? Kenapa ya ia belum bisa melakukannya? Padahal ia sungguh ingin membunuh gadis yang sangat mencampuri urusannya. Bahkan selalu saja, gadis itu mengacak-acak perasaannya.

Apa ia bunuh dua orang di depannya saja?

Ah tidak. Valen menepuk pelan pipinya. Pikiran buruk mulai berkecamuk lagi di otak. Entah mulai sejak kapan semua pikiran buruk ini muncul, tapi yang jelas semua ini begitu mengganggu. Tak ada yang bisa diminta tolong ketika dirinya mengalami hal ini.

Tatapan Valen teralih ke piring yang berisikan tumpukan pancake buatan Akira. Dirinya mengambil satu lantas melahapnya. Rasa susu coklat. Yah setidaknya rasanya cukup enak untuk lidah orang kaya.

"Bisakah kalian berhenti berdebat? Kepalaku pusing sekali mendengar suara tikut-tikus clurut yang mencicit," celetuk Valen yang mengundang atensi Akira dan Saki.

Akira yang tak terima dirinya disebut sebagai tikus clurut langsung menyahut, "Apaan sih? Lagian mulut kita yang ngomong, kenapa kamu yang protes?"

Lelaki itu berkacak pinggang. "Justru karena kalian mbicarain aku yang lagi di depan kalian makanya aku ngerasa keganggu. Kan bisa ngobrolin akunya pas aku nggak di depan kalian."

"Dasar sewot," gumam Akira.

"Justru kamu yang sewot ke aku, bego," balas Valen tak terima.

Ampun deh, Saki benar-benar bingung dengan situasi ini. Bagaimana bisa orang yang paling bermasalah di sekolahnya dulu berteman baik dengan sahabatnya. Lihatlah pertengkaran mereka berdua. Bukankah mereka jadi kelihatan serasi kalau begini?

Namun diam-diam Saki mengukir senyum lega. Ia benar-benar senang ketika ada yang menjaga Akira di sekolah barunya. Sepertinya sahabat Saki baik-baik saja di sekolah tanpa dirinya. Setidaknya ia harus mensyukuri hal ini dulu.

Saat tahu kalau Akira mendaftar di sekolah yang berbeda dengannya, tentu saja membuat Saki cemas. Pasalnya Akira sering sekali dirundung sebab penyakit buta warnanya. Sahabatnya itu selalu diolok-olok, dihina, bahkan pernah dilukai secara fisik. Hal itu jelas membuat Saki sedih.

Akira membutuhkan seseorang yang bisa membuatnya merasa bebas dan nyaman. Setidaknya untuk diri Akira sendiri. Sahabatnya itu membutuhkan seorang partner yang menyukai Akira apa adanya, menerima semua sisi dari Akira, dan menikmati tiap lika-liku kehidupan mereka. Syukurlah terdapat tanda-tanda itu di Valen. Bahkan, Akira kelihatan bisa tertawa lepas bersama lelaki itu.

"Aku benar-benar nggak ngerti sama situasi ini, tapi kalian kelihatan kayak sepasang kekasih tahu..." celetuk Saki.

Ajaibnya mereka berdua membalas dengan waktu yang bersamaan, "Hah? Dari mananya dia ini terlihat seperti pasanganku?"

Saki kembali bergumam, "Tuh kan serasi. Jangan-jangan kalian jodoh."

"NGGAK!" Lagi-lagi mereka membalasnya dengan bersamaan. Membuat Saki berteriak histeris dalam hati.

"Kamu kenapa ikut-ikutan kalimatku?" tanya Akira. Valen melotot sebal, "Apa-apaan pertanyaanmu? Justru harusnya aku yang tanya itu sama kamu."

Sahabat Akira itu mengendikkan bahu. Setidaknya kalau Akira kelihatan bahagia, apa boleh buat?

"Yah kalau hubungan kalian itu ke arah yang baik, bakal kudukung kok. Tapi kalau sudah belok, aku pastikan kalau aku yang bakal pertama kali misahin kalian. Apa kalian paham?"

"Iya, iya..." sahut keduanya.

Saki mengambil langkah menuju pintu. Ia tidak ingin mengganggu interaksi mereka berdua. Suara Akira menghentikan langkah dirinya.

"Oh ya, kamu ke sini ada urusan kan? Ada urusan apa kamu ke rumahku, Ki?" tanya Akira.

Saki tersenyum, "Lain kali saja ya. Mau lanjut baca buku series buminya Tere Liye. Bye!"

"E-eh Bye..." sahut Akira kikuk.

Saki akhirnya pergi, tetapi sebelum itu ia juga sempat membisikkan sesuatu ke telinga Valen. "Aku titip Akira ke kamu. Kalau dia terluka karena kamu nggak bisa jaga dia atau bahkan kamu yang nyakitin dia, aku nggak akan segan-segan membalas kamu."

"Hm, terserah."

Setelah Saki benar-benar pergi dari hadapan mereka berdua, Akira bertanya pada Valen. "Apa yang dia bisikkan sama kamu?"

Valen mengendikkan bahu. "Hm, entahlah. Tadi aku cuma denger suara tikus clurut yang berisik di telingaku."

"Ish, Valen!" Diam-diam lelaki itu menatap pintu depan yang masih terbuka. Membayangkan sosok Saki yang berjalan menjauhi rumah Akira. Kira-kira apa yang Saki lakukan ya jika tahu tentang perundungan yang terjadi pada Akira di Angkasa Cendekia dan hukuman diskors yang dialaminya? Yah apapun itu, yang penting pancake buatan Akira cukup lezat.

Hei, Apa Warna Kesukaanmu? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang