Prolog

75 22 14
                                    

"Valen, kamu nggak bosen apa tiap hari buat masalah? Ayah capek ngadepin mereka. Kemarin mecahin jendela Pak RT, hari ini malah ikut perang sarung sama sekolah sebelah. Mana perang sarungnya kena kasus karena ada siswa yang meninggal. Gimana coba kalau kamu ketangkap? Bisa masuk lapas remaja kamu."

Valen memutar bola matanya. Semua masalah itu adalah ketidak-sengajaannya. Ia tidak pernah bermaksud untuk melakukan semua itu. Jadi, bukan sepenuhnya salah dia toh?

"Tapi ayah... Kita nggak sengaja buat lakuin itu. Berarti bukan sepenuhnya salah kita, kan? Malah salah dia harusnya. Kalau memang nggak punya tubuh yang kuat, nggak usah ikut perang sarung. Korban punya riwayat penyakit asma tapi malah ikut-ikutan, berarti ini semua salah si korban bukan salah kita..." elak Valen.

Ayahnya mendengus sebal. Selalu saja seperti ini. Valen itu bandel. Setiap kali diberitahu, pasti anak lelaki itu punya seribu cara untuk menjawabnya. Benar-benar. Susah sekali untuk memberitahukannya sesuatu.

"Valen, kamu itu udah besar. Sudah bukan anak kecil lagi. Bisa nggak sih kalau dibilangin, nggak usah ngelawan? Coba lihat Kak Rena deh... Dia selalu nurut kalau dibilangin sesuatu. Nilainya bagus. Nggak pernah tuh sekalipun bikin masalah."

"Kak Rena, Kak Rena, Kak Rena. Yang bagus itu Kak Rena, yang jelek itu Valen. Udah hafal aku tuh..." sindir Valen.

"Valen!"

"Ck!" Valen beranjak dari duduknya. Hendak pergi ke kamarnya. Sebelum lelaki itu pergi, ayahnya meletakkan sebuah kertas di meja. Kertas pendaftaran SMA Angkasa Cendekia, salah satu sekolah terbaik yang ada di kota.

"Valen, tahun depan kamu harus masuk SMA Angkasa. Lupakan soal jurusan seni itu! Fokus kejar pendidikan yang berkualitas!"

Valen yang niatnya ingin pergi ke kamar langsung mengurungkan niatnya. Ia membalikkan tubuh menghadap sang ayah tak terima. "Ayah! Kenapa? Seni adalah hidupku! Aku pengen mendalami hobiku dari kecil. Kenapa ayah malah mutusin gitu aja tanpa persetujuan dari aku? Aku janji buat melakukan apa saja, Yah. Tapi tolong jangan pindah aku ke sekolah lain."

"Keputusan ayah mutlak, Len. Ayah udah capek ngadepin kelakuan kamu yang makin hari makin ngelunjak. Banyak orang yang komplain kelakuan kamu sama ayah. Ayah bahkan seringkali diminta ganti rugi sama kerusakan yang kamu bikin. Kamu kira ayah nggak capek?"

"Tapi Yah..."

"Nggak ada tapi-tapi! Kalau kamu berhasil lulus dari sana SMA itu, nggak ada perguruan tinggi yang bakal nolak kamu. SMA itu punya nama, Len. Kamu bakal masuk ke SMA Angkasa apapun caranya. Ayah udah terlalu banyak bersabar dengan kelakuan kamu. Ayah nggak peduli kamu bakal suka apa nggak. Itu adalah keputusan ayah. Keputusan ayah kali ini nggak akan bisa dibantah, titik."

Lelaki itu mengepalkan tangannya. Urat-urat nadinya tampak di kepalan tangan dan leher lelaki itu. Wajahnya pun memerah menahan gejolak amarah dalam dirinya.

Kenapa sih ayahnya tidak bisa mengerti dirinya? Semua kejadian itu bukanlah kesengajaan. Bukan sepenuhnya salah Valen. Kenapa pula Valen dihukum seperti ini?

Ia akan dimasukan ke sekolah terbaik di kota ini? Mengerikan. Bocah pembuat masalah sepertinya? Ah, kedengarannya akan terjadi hal yang buruk. Entahlah, perasaannya jadi tak enak mendengar sekolah itu. Dan lagi, tak ada jurusan seni di sekolah itu. Hanya ada... jurusan IPA atau IPS. Apaan itu? Jurusannya tidak mendetail sekali?

Mungkin jika ia pandai seperti Kak Rena, mungkin ia akan dengan mudah menjalani hari-harinya di sekolah itu. Namun tidak. Dengan kecerdasannya yang pas sekali di rata-rata, ia pasti hanya akan gagal, tinggal kelas, atau yang lebih buruknya dikeluarkan dari sekolah itu. Bukankah itu yang dijanjikan oleh SMA Angkasa Cendekia?

Semua siswa yang berhasil lulus dari sekolah itu, maka takkan ada perguruan tinggi yang akan berani menolak siswa-siswa itu.

Itu berarti, konteksnya adalah bagaimana caranya agar tetap bertahan di SMA itu. Gaya seperti itu sama sekali tidak menunjukkan seorang Valentino Dzaki Rajendra. Seorang pembuat onar di SMPnya.

Sementara itu, Kak Rena dapat ke sekolah favoritnya. Kak Rena diperbolehkan mendaftar ke sekolah impiannya. Bagi yang suka berhitung-hitung seperti gadis itu, dia tentu lebih baik masuk ke jurusan manajemen. Namun gadis itu masuk ke jurusan informatika dan teknik komputer.

Sangat berbeda dengan lelaki itu yang dipaksa masuk ke sekolah yang tidak diinginkannya.

"Kak Rena aja terus! Apa-apa Kak Rena! Jangan-jangan Valen bukan bukan anak ayah, makanya nggak disayang kayak Kak Rena!

"Valen, bukan gitu!"

"Udahlah, Valen pergi aja. Bawaannya mau marah-marah terus kalau di rumah." Dengan langkah lebar, lelaki itu benar-benar pergi keluar. Ia benar-benar marah. Terbukti dengan urat-uratnya yang begitu menonjol.

Ayahnya menatap putra semata wayangnya dengan perasaan sedih. Padahal sang ayah hanya ingin yang terbaik untuk anak bungsunya.

Sementara itu, sang kakak menatap kepergian adiknya dengan raut datar. "Anjing ini... memang nggak pernah berubah."

Hei, Apa Warna Kesukaanmu? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang