BAB 20

1.6K 95 2
                                    


Narsilla sudah bangun sejak pukul lima pagi. Tidurnya cukup nyenyak, namun lebih gampang terjaga jika menginap di tempat yang asing.

Narsilla pun cukup nyenyak tidur sebenarnya. Bagaimana tak lelap jika menempati kasur yang empuk. Hanya saja bukan di rumahnya sendiri.

Kediaman orangtua Pramuda sesungguhnya asri dan adem. Luas juga. Tipe tempat tinggal yang klasik, seperti khas Yogyakarta pada umumnya.

Menetap lumayan lama memungkinkan, andai ia jadikan rumah permanen untuk ditempati.

Sayangnya nanti  malam akan balik ke Jakarta.

“Nak Narsilla?”

Kekagetan menerjang mendapati sosok ibu dari Pramuda yang ternyata tengah ada di halaman belakang, saat jendela kamar dibukanya.

Namun dengan segera ia berusaha rileks.

“Selamat pagi, Tante.” Disapa ramah dan sopan.

“Pagi, Narsilla.”

“Tante lagi ngapain?” tanyanya kemudian.

Memanglah dilihatnya Ibu Rinda Cahya sedang melakukan suatu kegiatan, namun tak tahu apa yang sebenarnya tengah dikerjakan.

“Mau kasih pupuk tanaman bunga, Narsilla.”

“Tante suka berkebun? Menanam bunga?”

“Iya, itu hobi Bibi, Nak Narsilla.”

“Aku boleh menemani Tante?” pintanya lantas.

“Sangat boleh, Nak.”

“Tolong bantu Bibi menyiram tanaman.”

“Siap dilaksanakan, Tante.” Narsilla menjawab dengan rasa antusiasme semakin besar. 

Kemudian, keluar lewat pintu belakang yang terpasang di dalam kamar, terhubung langsung ke halaman belakang, dimana Ibu Rinda Cahya berada. Ia berjalan dengan langkah cepat.

Saat sudah sampai di hadapan ibu sang kekasih, dirinya disodorkan wadah yang biasa dipakai untuk menyiram tanaman, tentu masih kosong.

Karena sudah tahu dimana letak kran, Narsilla pun segera ke sana guna diisikan air.

Gerakannya gesit dalam berjalan, sehingga tak terkontrol saat tiba-tiba saja Pramuda muncul di depannya secara mendadak bagaikan hantu.

Narsilla pun nyaris terjatuh, andai Pramuda tak cekatan dalam menarik tangannya. Ia ditarik pria itu hingga mereka berpelukan satu sama lain.

Lalu, Narsilla mendengar suara gelakan. Dan itu bukan berasal dari Pramuda, melainkan tawa yang dikeluarkan oleh Ibu Rinda Cahya.

Narsilla malu bukan main, namun ia tetap dalam rengkuhan Pramuda karena dirinya tak dilepas.

“Hati-hati jalan, Silla.”

“Untung ada aku, andai aku jauh dan nggak sigap, kamu bisa jatuh ke tanah. Pasti kotor.”

“Iya, untung ada kamu yang bantu.”

“Makasih, Pram,” ujar Narsilla dengan tulus.

“Hm, sama-sama, Sayang.”

Karena Pramuda Dwima Djaya bicara sembari tertawa, maka Narsilla melakukan hal yang sama sembari mendongakkan kepala lebih ke atas.

Mereka saling bersitatap. Netra dosen tampan yang akan segera menjadi suaminya itu, seperti mengandung magnet dengan daya tarik kuat.

Membuatnya tak bisa berpaling barang satu pun detik. Terus ingin memandang sosok Pramuda yang masih memamerkan senyuman lebar.

“Kamu suka aku peluk kayak gini?”

“Nyaman nggak, Silla?”

Demi Tuhan, pertanyaan sang kekasih membuat wajahnya semakin terasa panas. Pramuda tipikal yang suka bercanda. Jadi, ia harusnya tak cukup mudah terbawa perasaan karena ucapan pria itu.

“Atau mau aku lepaskan sekarang, Silla?”

Wanita mana pun yang diberikan pertanyaan sarat dengan nada godaan, pasti akan langsung merasa malu, begitu juga reaksi Narsilla.

Wajahnya terasa panas. Kemungkinan besar juga akan tampak memerah pada kedua pipi. Tentu pula dapat disaksikan oleh Pramuda.

Maka dari itu sang kekasih kian menyeringai.

“Jangan dilepaskan, nanti aku jatuh lagi,” jawab Narsilla dengan lancar, walau amat gugup.

Dan Pramuda tertawa kembali.

Narsilla pun tak berencana mengakhiri pelukan mereka, andai saja tidak mendengar dehaman dari calon mertuanya. Ia pun gugup mendadak.

Karena dilepas secara tiba-tiba dengan dorongan cukup kuat oleh Narsila, tentu saja Pramuda belum siap. Ia pun kehilangan keseimbangan dan terjerembab pada halaman yang tergenangi lumpur. Benar-benar terjadi begitu cepat.

Narsilla dan sang ibu tak menolongnya bangun, melainkan kompak menertawakannya.

Cinta Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang