BAB 22

1.3K 75 2
                                    


"Mau beli sesuatu dulu?"

Pertanyaan diluncurkan sang kekasih.

Narsilla lekas menggeleng seraya menutup pintu taksi yang akan mereka tumpangi.

"Boleh jalan sekarang, Pak."

Pramuda bicara dengan sopir taksi kali ini.

"Iya, Mas."

Narsilla yang masih berusaha menyamankan diri duduk di jok mobil, merasa sedikit kaget tatkala bahunya dirangkul mesra oleh Pramuda.

Dan tak lama di sana, tangan pria itu pun sudah berpindah ke pinggangnya, melingkar kuat.

Sang kekasih juga tersenyum dengan manis. Ia tak akan ragu mengakui ketampanan Pramuda.

Apalagi ditambah juga dengan cara pria itu yang gentle memperlakukan dirinya, sosok Pramuda pun semakin dapat mencuri hatinya.

Walau kedekatan mereka masih singkat, namun rasa nyaman yang tercipta membuatnya tambah ingin mengenal Pramuda lebih dalam lagi.

"Kenapa, Silla?"

Pertanyaan diajukan oleh pria itu, menyebabkan rasa panas di kedua pipi semakin parah. Semoga saja, wajahnya tidak tampak memerah.

Lalu, sebagai tanggapan, dilakukannya gelengan pelan. "Nggak kenapa. Cuma senang saja pulang ke Bali, setelah sekian lama," ujarnya beralasan.

"Sudah mau setahun nggak pulang kampung."

Bukan bermaksud berdusta, hanya saja tak dapat jujur saat ini untuk menunjukkan kekagumannya atas ketampanan Pramuda. Jadi, ia mengalihkan dalam jawanan yang dirasa masih masuk akal.

Dan sang kekasih pun tampak percaya dengan balasan diloloskan, pria itu mengangguk-angguk mengiyakan sembari tertawa cukup renyah.

Oh, sudah pasti, Pramuda Dwima Djaya semakin tampak memesona yang membuatnya kagum.

"Oh, aku kira kamu kenapa-kenapa."

Kembali ditunjukkan gelengan tanpa meloloskan barang satu pun patah kata karena otaknya masih cukup buntu untuk diajak berpikir jernih.

"Rumah kamu jauh dari bandara, Silla?"

"Lumayan." Narsilla menjawab dengan gugup kali.ini sebab tangan kanannya yang digenggam Pramuda secara tiba-tiba dalam gerakan cepat.

Bahkan, sempat tak disadari. Namun juga tidak akan menolak apa yang dilakukan oleh pria itu.

Narsilla berusaha lekas menyusun jawaban guna menyahuti pertanyaan dari Pramuda. Tak boleh melontarkan sahutan yang salah, tentu saja.

"Ada sekitar sepuluh menit dari sini."

"Lumayan dekat juga."

"Itu kalau nggak macet, Pram. Sekarang katanya Bali suka macet dimana-mana dan cukup parah."

Tepat setelah menyelesaikan tanggapan, Narsilla pun dihadapkan dengan penumpukan kendaraan di depannya, membuat mobil terganggu melaju.

Sepertinya akan macet.

Tentu saja, Pramuda menyadari, lalu terkekeh.

"Kayaknya kita bisa sampai setengah jam lagi," komentar Narsilla seraya melihat-lihat situasi.

"Bukan masalah, Silla."

"Kita dapat lebih lama mengobrol di mobil dan menikmati kemacetan jalanan Bali."

Narsilla harusnya ikut tertawa kembali seperti Pramuda, tapi ia justru tegang sebab dihadapkan dengan rangkulan mesra dilakukan pria itu.

Wanita mana yang tak gugup terlibat kedekatan fisik dengan sosok calon suaminya? Memanglah terbilang wajar-wajar saja, tapi ia tetap tegang.

Bagaimana jika lebih dari pada ini sentuhannya? Apakah ia akan pingsan, andaikan suatu hari nanti Pramuda akan menciumnya?

"Silla ...,"

Setelah hening beberapa saat dengan mata saling menatap intens satu sama lain, panggilan lembut Pramuda masuk jelas ke kedua telinganya.

"Kenapa, Pram?"

"Apa ayah kamu galak?"

Pertanyaan Pramuda tidak terduga, kaget sudah pasti akan apa yang ditanyakan sang kekasih.

"Ayahku? Nggak galak, sih."

"Cuma agak sulit diajak bercanda." Narsilla pun menambahkan, memberi tahu apa adanya.

"Selalu serius pembawaan Ayahku, Pram."

Narsilla kira ucapannya akan memberikan efek pada raut wajah Pramuda, misalkan saja tampak lebih menegang, namun ternyata tidak.

Dosen tampan itu malahan semakin tersenyum. Dan ekspresinya terlihat jadi mencurigakan.

Narsilla hendak bertanya bagaimana pendapat pria itu atas ucapannya, namun karena mereka akan segera sampai di tempat tujuan, maka fokus pun dikumpulkan guna menghadapi orangtuanya sebentar lagi. Entah mengapa ia jadi tegang.

Dan benar saja, tidak sampai lima menit, mobil sewaannya terparkir di depan gerbang kediaman orangtuanya yang masih tertutup.

"Ini rumah kamu, Silla?"

"Iya, Pram."

"Oke, ayo kita keluar, Beb."

Ketika Pramuda hendak membuka pintu, ia pun lekas meraih lengan kanan pria itu. Dan secara otomatis pandangan mereka bersirobok lagi.

"Ada apa?"

"Kamu nggak takut dengan ayahku, Pram?"

"Takut? Kenapa harus takut? Aku akan meminta restu dari ayah dan ibu kamu, Silla."

Cinta Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang