BAB 18

1.4K 94 1
                                    


"Sudah sampai di Yogya, Hima?"

"Aku sudah sampai di Yogya, Sayang."

"Lagi di mobil, menuju ke rumah Mama, Papa."

"Yansia gimana, Hima? Nangis?"

"Yansia anteng. Tumben putri kita nggak nangis naik pesawat. Malah tidur selama perjalanan."

"Soalnya bareng Om gantengnya. Jadi, anak Kak Yama anteng-anteng aja." Pramuda menimpali sang kakak bicara dengan iparnya di telepon.

Tergelitik untuk ikut menimbrung. Ia suka saja menganggu pasutri itu saat bertelepon. Upaya mencegah tercipta pembicaraan yang mesra.

"Syukurlah Yansia tidak rewel."

"Gue titip Hima dan Yansia, Mas Bro."

Tanggapan dilontarkan sang ipar kemudian.

"Bakal aman saat gue ada, Kak Yama." Pramuda menjawab dengan penuh percaya diri.

"Tanpa Papa ikut, tidak masalah. Yang penting ada Om ganteng bareng Yansia," imbuhnya.

"Gue titip mereka pokoknya ke lo, Mas Bro."

"Santai, Kak Yama. Gue pasti bakal jaga putri manis kalian dan Kak Hima dengan posesif."

Jelas suami saudarinya itu langsung terbahak.

Sedangkan, kakak perempuannya menjitak pelan dirinya tepat di bagian kepala. Kebiasaan yang suka dilakukan saudarinya saat merasa gemas.

Pramuda pun selalu merasa senang saja terlibat dalam obrolan ringan dengan iparnya. Mereka cukup cocok sebagai teman bercanda.

Sayang saja bisa jarang bertemu karena iparnya tidak punya cukup waktu luang, kecuali saat akhir pekan. Begitulah seorang pengusaha muda yang gila merintis gurita-gurita bisnis.

Tentu bagus karena ia juga bisa belajar banyak dari iparnya bagaimana cara menjadi pebisnis.

"Lamaran ditunggu, Mas Bro."

"Acaranya di Yogya atau Bali?"

Skakmat!

Pramuda kikuk seketika.

"Belum tahu, Kak. Nanti gue kabari. Siapkan saja dana untuk gue pinjam buat nikahan."

"Kasih amplop yang tebal juga boleh."

Kembali, Pramuda mendapat jitakan pelan pada kepala dari saudari perempuannya. Sang kakak tak mengizinkannya banyak bicara melantur.

"Sudah dulu, ya, Sayang."

"Kamu lanjut kerjanya semangat, Papa Yansia."

"Iya, Mama Yansia. Selamat berlibur."
"Aku tutup teleponnya dulu. Bentar lagi sudah mau sampai di rumahnya Papa, Mama. Byee.'

"Byee, Honey."

Tepat setelah sang suami menjawab, Sahima pun benar-benar memgakhiri sambungan telepon.

Lalu, atensi tertuju pada Narsilla yang duduk di sebelahnya, merasa cukup sungkan pada wanita itu pula sebab harus mendengarkan pembicaraan antara dirinya dan juga sang suami.

"Mama dan Papaku nggak galak, Silla."

Baru saja Sahima akan bertanya ke Narsila soal tanggapan sang staf tentang Yogyakarta, adiknya sudah lebih dulu meluncurkan ucapan.

"Papa dan Mama nggak sabar katanya pengin bertemu kamu. Penasaran dengan perempuan pertama

.......

Mendengar Narsilla tertawa lepas lumayan jadi hiburan bagi Pramuda. Ia pun hendak luncurkan lagi candaan, namun mereka rupanya telah tiba di tempat tujuan, yakni kediaman orangtuanya.

Mobil dikendarai oleh supir keluarga, dibawa masuk sampai ke dalam garasi rumah.

Dan ternyata sang ibu serta ayahnya menunggu kompak di dekat pintu. Mereka pun sama-sama tersenyum antusias, tentu semangat menyambut kedatangannya, sang kakak, dan Narsilla.

Dengan genggaman tangan yang erat, ia segera membimbing calon istri cantiknya keluar dari mobil. Narsilla tak keberatan mengikutinya.

"Mamaaa! Papaaa!" Pramuda berseru kencang seraya berjalan menggandeng wanitanya.

"Aku punya calon mantu buat Papa dan Mama."

Pramuda sengaja berceloteh canda. Dan kedua orangtuanya pun terkekeh cukup kencang.

Lalu, sang ibu menghampiri Narsilla. Memeluk dan menyapa dengan sapaan yang akrab.

Ayahnya pun juga melakukan hal sama.

Mereka menerima Narsilla dengan riang dan juga antusias. Jadi ia merasa senang sekaligus lega karena tak ada penolakan ditunjukkan.

"Nak Silla, benar mau menikah dengan anak Bibi? Siap nanti dengan kelakuan manja, Pram?"

"Saya siap, Bibi. Saya suka laki-laki yang bisa manja ke pasangannya. Akan kelihatan manis."

Mendadak Pramuda jadi salah tingkah karena percakapan konyol ibunya dan Narsilla.

Cinta Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang