BAB 10

2.2K 105 3
                                    


"Hahahaha."

"Hahahahaha."

Tawa sang ibu dan juga ayahnya menggelegar di ujung telepon, tepat setelah disampaikan niatan berpacaran dengan Narsilla Aggrami.

Tadi, saat memproklamirkan diri akan menjalin hubungan asmara yang seriua agar segera bisa menikah, ia sungguh-sungguh mengatakannya.

Namun reaksi kedua orangtuanya malah kontras. Seperti tak menganggap serius ucapannya.

Itu berarti, sang kakak harus turun tangan.

Dengan kode kedipan mata beberapa kali, lekas diminta saudari perempuannya untuk bicara.

Diberikan ponsel pada Sahima Paramesti Djaya.

"Malam, Pa, Ma."

Sang kakak sudah mulai beraksi. Meluncurkan sapaan santun pada orangtua mereka. Dan tidak akan lama lagi mendukung pernyataannya tadi.

"Hallo, Sayang."

Sang ibu yang menyapa pertama kali.

"Yansia mana, Hima? Mama dari pagi belum terima foto terbaru dari Yansia. Mama kangen."

Sang kakak tertawa melihat kelakuan ibu mereka yang merajuk hanyalah karena tidak dikirimkan foto cucu kesayangan. Pramuda geleng-geleng.

"Haha. Yansia udah bobok, Ma."

"Aku dari pagi agak padat kerjaannya. Aku lupa kirim foto Yansia ke Mama. Besok gimana?"

"Besok pagi harus dikirim, Hima. Sekalian video waktu Yansia belajar merangkak. Mama ingin lihat seberapa cepat Yansia sudah merangkak."

"Iya, Ma. Besok pagi aku kirimkan ke Mama."

Ponsel dipegang sang kakak, diambilnya segera agar sang ibu melihat wajahnya. Pramuda tentu sudah memamerkan cengiran khasnya. Dan akan diluncurkan kalimat guyonannya sesaat lagi.

"Fotoku gimana, Ma? Besok aku kirim juga?"

Pramuda lantas mengambil pose paling tampan dengan ekspresi andalan biasa dipamerkan, saat akan berpotret. Bermaksud bercanda, tentu saja.

"Tidak, Nak, tidak."

"Mama bosan lihat foto kamu, Pram."

"Yah, masa bosan dengan anak ganteng Mama dan Papa satu-satunya ini," komentar Pramuda.

Pura-pura kecewa dengan jawaban sang ibu.

"Mentang-mentang sudah punya cucu cantik dan manis, anak gantengnya disingkirkan."

Ibundanya tertawa kembali di seberang telepon.

"Kirim foto kamu dan pacarmu, Nak."

Pramuda yang diserang kekagetan kali ini.

"Mama mau lihat secantik apa pacarmu, Pram."

"Narsilla cantik, Ma. Dia juga pintar."

Sang kakak ambil bagian menjawab.

"Dia juga satu keyakinan dengan kita. Itu yang paling penting bagi Mama dan Papa, kan?"

"Benar, Hima. Itu yang paling penting."

Pramuda menyadari keseriusan nada bicara sang ibu dalam menjawab, dan artinya apa yang baru dilontarkan merupakan sesuatu bersifat penting.

"Tapi sungguh perempuan bernama Narsilla itu benar menyukai Pram? Apa tidak salah, Nak?"

"Memang kenapa, Ma? Kayaknya ragu banget Mama kalau ada perempuan suka denganku."

Pramuda menangkap kejanggalan dalam kalimat tanya dan gaya bicara sang ibu, maka dari itu ia meluncurkan balasan demikian. Upaya dalam mendapatkan kejelasan jawaban ibundanya.

"Mama pikir kamu tidak ganteng, Nak. Mama heran ada perempuan yang menyukaimu, Pram."

"Mama kenapa sarkas sama putranya sendiri? Mama harusnya dukung dong," protes Pramuda karena tak terima akan ejekan ibundanya.

Dirinya tahu sang ibu hanya berguyon, namun tetap terasa cukup tak menyenangkan hatinya.

Apalagi saat dikatakan tidak ganteng.

Reaksi ibundanya? Sudah jelas tertawa dengan kencang di ujung telepon, termasuk sang ayah.

Dan tak ketinggalan pula saudari perempuannya.

Baiklah, ia memanglah memiliki jenis keluarga yang suka sekali mengguyoninya. Jadi, sudah tentu tak boleh tersinggung terlalu serius.

"Mama cemas saja, Nak. Mama cemas jika dia akan menyesal punya suami kurang ganteng."

"Mama ini." Pramuda menjawab sekenanya. Ia mendadak kehilangan kemampuan menyusun kalimat ejekan balik untuk sang ibunda.

"Tapi, Mama harap dia akan tulus dengan kamu, Nak. Mencintai kamu tanpa niat terselubung."

"Silla orang yang baik, Ma. Aku pasti akan dia sayang dengan tulus." Pramuda lekas menjawab, dalam segenap kemantapan dan keyakinan hati.

"Aku akan bawa dia ke Yogya segera."

"Bawa saja, Pram."

Sang ayah yang menanggapi kali ini.

"Bawa pacar kamu menemui kami. Nanti di sini, kami akan menyiapkan upacara pernikahan."

Mata Pramuda melebar karena kaget. Celotehan canda orangtuanya sama sekali tak lucu.

"Benaran disiapin upacara nikahnya?" pancing Pramuda upaya memastikan niat orangtuanya.

"Benar, Nak. Kami tidak akan main-main."

Cinta Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang