BAB 02

3.3K 167 4
                                    


"Kita cukupi rapat sampai di sini, ya."

"Kalian sudah bekerja keras dan berdedikasi."

"Terima kasih atas kinerja kalian semua untuk memajukan perusahaan dan bisnis berlian ini."

Sang direktur bangun dari kursi, semua staf yang ikut dalam rapat rutin mingguan tentunya segera juga bangkit, termasuk Narsilla Anggrami.

Mereka lalu menunjukkan sikap formal ke Ibu Sahima Paramesti Djaya, sembari mengucapkan kata terima kasih dengan penuh hormat.

Satu demi satu manajer yang hadir, bergantian menjabat tangan pimpinan utama mereka, tentu setelahnya meninggalkan ruangan rapat.

Dan tiba saatnya giliran Narsilla.

Tidak sabar dirinya ingin berbicara dengan sang direktur, tentu bukan menyoal pekerjaan, namun niatan khusus yang sudah dirancang sejak tadi malam, tentu dengan banyak pertimbangan.

"Terima kasih, Manajer Silla."

Narsilla lantas menerima jabatan tangan lembut dari Ibu Sahima Paramesti Djaya. Ia terenyuh akan sikap ramah selalu ditunjukkan padanya.

"Terima kasih sudah bekerja keras."

"Sama-sama, Bu Hima." Narsilla kikuk sendiri. Mungkin karena pengaruh dari rencananya yang akan direalisasikan sebentar lagi.

Dan ketika sang direktur melepas jabatan tangan di antara mereka, Narsilla pun meraih salah satu lengan dari Ibu Sahima Paramesti Djaya.

Sang pimpinan tampak kebingungan.

Narsilla pun tersenyum kaku. Kegugupan juga bertambah karena suasana terasa canggung.

"Bu Hima, apakah boleh saya bicara sebentar?"

"Boleh, Manajer Silla."

Sang direktur lalu mempersilakan dirinya untuk duduk kembali pada deretan kursi mengelilingi meja rapat berbentuk persegi panjang tersebut.

Narsilla menempatkan diri berusaha dengan rasa tenang agar nyaman, namun kursi yang biasanya empuk, terasa tak menyenangkan baginya.

"Mau membahas apa, Manajer Silla?"

"Bu Hima, apa boleh minta tolong panggil nama saya saja? Tidak usah ada embel-embel manajer kalau bisa, Bu. Saya tidak enak dengan Ibu."

"Kita juga bicaranya cuma berdua, Bu Hima."

Direkturnya tertawa pelan.

"Baik, Silla."

"Oh, iya, kamu ingin membahas apa dengan saya? Ada gangguan dalam keuangan kita?"

Narsilla menggeleng cepat. Tangan kanan turut dikibaskan guna menyangkal asumsi yang sang direktur pikirkan. Perusahaan aman-aman saja.

Justru alur kas dan keuangan masih amat bagus.

"Saya mau bahas hal lain, Bu Hima."

"Masalah apa, Silla?"

Narsilla merasakan detakan jantungnya tambah tak bersahabat, membuat mulut jadi lebih kering seketika. Ia pun harus menelan ludah.

Dan semoga saja, tidak akan membuatnya gagap dalam berbicara. Kalimat sudah disiapkan dalam kepala. Tinggal melontarkannya saja.

"Saya mau nanya hal yang sifatnya privasi, apa Bu Hima bersedia menjawabnya?"

"Akan saya jawab, Manajer Silla."

"Bu Hima benar punya adik bernama Pramuda Dwima Djaya?" konfirmasi Narsilla.

"Benar, Manajer Silla. Pram itu adik saya."

"Pramuda seorang dosen, Bu?"

"Iya, Manajer Silla. Dia seorang dosen."

"Kami dulu satu jurusan saat kuliah, Bu Hima," beri tahu Narsilla karena ia merasa sang direktur tidak tahu menahu tentang fakta ini.

"Kalian satu jurusan? Kalian berteman baik?"

"Tidak dekat juga, Bu Hima. Cuma beberapa kali kami saling mengobrol ringan di kampus."

Sang direktur mengangguk-angguk, tak ada lagi pertanyaan balik diajukan sebagai tanggapan. Ia pun harus melanjutkan sesi bertanya ke bosnya.

"Hmm, apa Pramuda sudah punya pacar?"

Narsilla langsung to the point saja menembak pada tujuannya karena enggan berbasa-basi.

Dan sang bos tampak tertegun. Mata lebih lebar dalam memandang ke arah dirinya, tentu saja.

Narsilla juga tegang bukan main.

"Belum, Manajer Silla."

"Pramuda belum punya pacar."

"Maaf, Bu Hima, saya izin bertanya lagi, apakah Pramuda akan menikah nantinya?"

"Diminta menikah oleh orangtua Bu Hima?"

"Iya, tentu Pramudanakan diminta menikah, tapi tidak dalam waktu dekat karena Pram belum ada pacar. Mungkin kalau nanti sudah ada."

"Hmm, apa boleh saya melamar menjadi calon istri Pramuda agar dia bisa segera menikah?"

Demi apa pun, Narsilla tahu pertanyaan yang ia lontarkan akan terdengar konyol. Beberapa kata seperti tidak tepat, tapi sudah telanjur dikatakan.

Dan sang bos tampak kian kebingungan.

"Manajer Silla mau jadi apa? Calon istri Pram?"

Narsilla mengangguk dengan mantap.

"Betul, Bu Hima."

"Apa Bu Hima bisa menolong saya agar bisa lulus menjadi calon istri Pramuda?"

Cinta Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang