BAB 23

1.3K 79 3
                                    

"Bisa-bisanya aku bangun kesiangan." Narsilla menggerutu sembari membasuh wajahnya.

Beberapa kali air kran diambil untuk digunakan berkumur. Masih terasa odol di mulutnya.

Setelah dilakukan sebanyak empat kali, Narsilla pun bergegas keluar dari kamar mandi.

Dibawa kaki berjalan ke meja rias, ingin dilihat bagaimana penampilannya. Terutama rambut.

Dan ternyata cukup berantakan. Itu artinya harus disisir lebih dulu, sebelum ia benar-benar keluar dari kamar tidur guna memulai aktivitas.

Dengan cekatan tangannya dipakai menyisir. Ia pun hanya butuh semenit guna menyelesaikan.

Kaki lalu digiring menuju pintu ruangan.

Suasana sepi menyambut, ketika ambang pintu sudah dilewat. Kemana ayah dan ibunya?

Yang paling penting untuk dirinya ketahui saat ini, tentu saja keberadaan dari Pramuda.

"Sayang?"

"Ibu?" Narsilla menyahuti cepat panggilan sang ibunda seraya menggerakkan kaki ke asal suara.

Ibunya tengah berada di dapur ternyata. Benar, tengah memasak untuk sarapan mereka.

"Pagi, Anak Cantik Ibu."

Narsilla terkekeh oleh sapaan orangtuanya.

"Pagi juga Ibuku paling cantik," balasnya lalu.

"Ibu mau masak apa?"

Narsilla sudah berada dekat dengan ibunya. Ia pun memerhatikan saksama semua bahan yang ada di atas meja. Namun belum bisa mendapat gambaran akan makanan apa dibuat sang ibu.

"Berkedel jagung, sayur asem."

"Permintaan dari Pramuda."

Narsilla cukup terkejut mendengarnya. Sebab ia tak tahu karena tidak dibahas kemarin, manakala mereka berempat mengobrol di ruang tamu.

Entah kapan ibunya bertanya ke Pramuda.

Dirinya tidak tahu dan tak mendengar. Cukup kaget, namun merasa senang juga akan tercipta keakraban antara orangtuanya dan sang kekasih.

Jika hubungan Pramuda dengan ayah serta juga ibunya bisa terjalin baik, maka akan sangatlah bagus bagi rencananya untuk menikah.

Memanglah, sejak pertemuan pertama di antara orangtuanya dan sang kekasih, tidak ada konflik yang terjadi. Ayah serta ibundanya terbuka.

Tentu tetap timbul kecemasan jika orangtuanya akan bersikap tertutup dengan kedatangan sang kekasih mengutarakan niatan menikahinya.

Dan Pramuda sudah membicarakan secara serius dengan ayahnya. Lampu hijau telah diperoleh.

Awalnya Narsilla kaget, namun merasakaan lega yang luar biasa juga karena lamaran diterima.

Tinggal mempertemukan kedua pihak keluarga guna menentukan kapan acara pernikahan akan dilaksanakan. Setelah itu urusan pun selesai.

Narsilla tak ingin terburu-buru sebenarnya, jika bisa, satu tahun lagi saja hubungannya dan juga Pramuda diresmikan dalam pernikahan.

Namun sepertinya kedua orangtunya memiliki rencana yang berbeda. Akan lebih cepat tentu saja menginginkan dirinya menikah.

"Ibu suka dengan kepribadian Pram."

Sang ibu akhirnya bersuara, setelah tak terlalu fokus dengan kegiatan memasaknya.

"Pram itu memang baik, Bu."

Narsilla sengaja memuji. Sudah pasti harus bisa dibanggakan keunggulan calon suaminya itu.

"Anaknya yang ramah, sopan, supel, dan yang paling penting adalah seorang dosen."

"Apa penting profesi dia, Bu?"

"Sangat penting, Nak. Pekerjaan sebagai dosen itu bagus dan terhormat. Ibu suka."

Narsilla ingin menanggapi ucapan ibunya yang sarat akan keriangan, tapi ia malah diserahkan sebuah nampan berisi gelas teh dan jajan pasar.

"Bawa ke taman belakang, Silla."

"Iya, Ibu." Narsilla jelas harus mengiyakan titah yang diberikan oleh sang ibunda.

Kaki mulai dilangkahkannya ke pintu di ujung dapur yang terhubung ke halaman belakang.

Mata diarahkan ke depan guna bisa melihat lebih jelas sosok kekasihnya dan sang ayah. Mereka masih tampak berbincang dengan akrab.

"Lagi ngomongin apakah? Sepertinya seru," ujar Narsilla saat sampai di bangku taman.

Ayahnya dan Pramuda kompak menoleh.

"Om ngajak aku mendaki Gunung Batur."

"Ayah mau ajak Pram mendaki? Kapan?"

"Setelah kalian menikah, Nak."

"Setelah kami menikah, yah? Masih jauh dong," komentar Narsilla seraya menaruh dua gelas teh dan juga biskuit dalam piring di atas meja.

"Tidak lama juga, Nak. Dua bulan lagi."

"Dua bulan lagi?" Narsilla masih berusaha untuk memahami jawaban dilontarkan sang ayah.

"Kita akan menikah lima minggu lagi, Silla."

Pemberitahuan dilontarkan sang kekasih, dan hal tersebut membuat Narsilla membeliak seketika.

"Hari pernikahan sudah ditentukan."

Cinta Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang