"Di,"
"Hm?"Jarak antara wajah Aldi dan Haikal semakin dekat. Keduanya saling mengagumi satu sama lain. Aldi selalu senang melihat mata Haikal yang bisa memancarkan aneka ekspresi: jahil, optimis, ataupun teduh seperti saat ini. Alis tebalnya selalu rapi seperti di sisir. Bulu matanya lentik—entah bagaimana fitur idaman perempuan ini justru lebih banyak dimiliki laki-laki.
Haikal selangkah lebih maju. Bibirnya menyergap bibir Aldi, melumatnya dengan lembut. Aldi menyambut dengan rela, membuka bibirnya dan bermain mengikuti irama kecupan itu. Sementara bibir mereka bertaut, kedua pasang tangan mereka saling menjelajahi tubuh lainnya. Aldi mendaratkan tangannya di dada telanjang Haikal. Dengan gemas tangannya meremas dada bidang itu. Sementara itu tangan Haikal menyusuri area perut Aldi, membuatnya sedikit kelojotan karena geli. Sesaat kemudian Aldi merasa sesuatu bergejolak di ujung perutnya, dan tiba-tiba saja terasa seperti ada sesuatu yang menyemprot keluar beberapa kali dari situ.
Kenapa baru gini doang udah keluar? batin Aldi. Tapi Aldi menikmati ejakulasinya itu. Kemudian terasa kecupan dan rabaan Haikal di tubuhnya memudar. Demikian juga, tubuh Haikal menghilang, dan tangan Aldi sekarang seperti meraba udara.
Matanya membuka. Samar-samar dia melihat interior kamar tidurnya dalam temaram cahaya biru. Dia terbaring di dipannya. Dan celananya terasa lengket.
Ini adalah kesenian kalinya Aldi memimpikan Haikal. Tapi baru kali ini dalam mimpinya dia terangsang dan ejakulasi.
Apakah aku sekangen itu sama Haikal, sampai kami berbuat sejauh itu? Tanya Aldi dalam hati.
Kal, apa kabar?
***
Usai ritual terakhir mereka di sungai untuk menghilangkan jejak di tubuh mereka, Haikal mendapatkan kabar jika ibunya di luar kota sakit. Maka setelah mengantarkan pulang Aldi, Haikal langsung berpamitan dan bergegas pulang.
Melalui telepon Aldi mendapat kabar kalau Haikal harus merawat ibunya yang gegar otak karena jatuh. Dan Haikal tidak tahu kapan bisa kembali.
Dan rupanya sejak saat itu jarak ikut merenggangkan hubungan keduanya.
Semakin lama Haikal semakin jarang membalas pesan dan menjawab telpon Aldi. Kalau ditanya, Haikal biasanya meminta maaf karena habis bekerja atau mengantarkan ibunya ke dokter. Aldi pada awalnya memahami bahwa keadaan Haikal mungkin memang seriweuh itu. Namun tiba saatnya selama seminggu penuh Haikal tidak membalas pesan dan mengangkat telepon Aldi. Di minggu berikutnya, pesan yang dikirimkan Aldi melalui WhatsApp centang satu dan tidak pernah berubah menjadi centang dua berhari-hari setelahnya.
Aldi pasrah. Mungkin memang sudah saatnya dia melepaskan Haikal.
Tahun berganti. Kelas dua belas sudah usai, dan Aldi saat ini memasuki bangku kuliah. Kampus di mana Aldi berkuliah cukup terkenal. Tidak heran mahasiswanya berasal dari berbagai latar belakang, termasuk kelas ekonomi. Maka, mudah saja menemukan mahasiswa yang merawat diri dan memperhatikan penampilannya.
Singkat cerita, Aldi dekat dengan beberapa orang. Beberapa dari mereka menjadi dekat lalu jadian dengan Aldi. Tapi itu tidak bertahan lama. Entah bagaimana Aldi tetap merasa ada yang kosong dari dirinya meski ada orang baru yang datang padanya. Perlahan Aldi sadar, itu karena semua yang dia inginkan hanya ada pada diri Haikal.
Apa aku bisa ketemu kamu lagi, Kal?
***
Aldi menyesap rokoknya, lalu menyentakkan puntungnya. Dia sedang duduk sebuah bangku di taman kota, mencoba menenangkan diri setelah judul skripsinya ditolak dosen pembimbingnya pagi ini.
Seseorang berperawakan tinggi tegap berjalan ke arah Aldi. Setibanya di depan Aldi, dia berhenti.
"Di?"
Aldi menoleh. Sontak matanya membelalak. Dia melemparkan rokoknya, lalu melompat berdiri.
"Ke mana aja Kal?" Aldi menatap sosok itu dengan pandangan nanar.
"Maafin aku, Di." Haikal menundukkan kepalanya. "Maafin aku."
***
"Aku nggak tega harus ceritain semua yang jadi permintaan terakhir Ibu sama kamu."
Aldi dan Haikal saat ini berada di sebuah kafe untuk lanjut mengobrol. Aldi mematung. Pandangannya menunduk, rahangnya mengeras menahan kesal.
"Ibu mau lihat aku menikah sebelum dia pergi. Aku bingung harus ngomong apa ke kamu. Akhirnya aku memilih blokir kontakmu."
"Dasar tolol!" Aldi meledak. "Kamu kira dengan kamu nggak cerita itu bikin situasinya lebih baik? Aku nunggu kamu terus, Kal. Dalam ketidakpastian!"
"Aku lebih baik tahu kabar kamu menikah daripada digantungin kaya gitu. Emang sakit, tapi paling nggak aku tahu. Dan aku bakal lebih rela ngelepasin kamu." Terang Aldi panjang lebar.
Haikal menunduk. Mulutnya terkatup rapat. Dia sudah melapangkan dirinya dalam pertemuan ini untuk menerima semua protes Aldi.
"Iya aku salah, Di. Aku minta maaf. Tapi aku sudah cerai sama istriku sekarang. Aku nggak bisa berpura-pura terus. Cause all I need is you."
Aldi melongo. "Kamu beneran udah cerai sama istrimu?"
Haikal mengangguk. "Beneran. Aku sampai dikucilkan keluargaku karena dianggap nggak bisa menghormati permintaan terakhir ibuku. Tapi menurutku ibuku sudah bahagia di alam sana, pasti tidak akan kepikiran lagi dengan permintaan terakhirnya."
Tatapan Aldi sekarang melunak. Tapi dia masih sedikit kesal. "Terus, ngapain kamu nemuin aku?"
Haikal menghela nafas, tatapannya memelas."Di, aku udah bilang, aku nggak bisa kalau tanpa kamu. Aku mau kita kembali kaya dulu. Kita mulai dari awal lagi."
Aldi memandangi Haikal. Empat tahun berlalu tanpa melihat Haikal membuat banyak hal berubah drastis di mata Aldi. Kulitnya menggelap. Kumis dan cambang menghiasi wajahnya. Tubuh Haikal jauh lebih tinggi dan gagah, khas pria dewasa. Tapi sorot matanya saat menatap Aldi, itu yang tidak berubah. Dan itu yang sekarang meluluhkan hati Aldi.
Aldi menarik nafas, lalu mengangguk perlahan.
"Iya Kal, boleh."Mata Haikal yang melesu sekarang menunjukkan binarnya. Dan Aldi sangat menyukainya.
***
Aldi sedang memainkan ponselnya. Saat ini dirinya sedang berbaring tertelungkup di atas dipan kamar Haikal. Meski seakan fokus memainkan layar ponselnya, namun pikirannya berkeliaran ke mana-mana.
Haikal sekarang sedang mandi. Dan jelaslah yang sedang dibayangkan Aldi: Haikal keluar kamar mandi dengan bertelanjang dada dan beraroma sedap. Siap untuk diserbu.
Dengan tubuh segagah sekarang, punggungnya selebar apa ya? Terus itu sekarang wajahnya bercambang dan tangannya berbulu, gimana dada sama perutnya ya?
Haikal menelan ludah berkali-kali membayangkan fantasi mengenai tubuh Haikal sekarang.
Ceklek!
Terdengar derit kecil pintu kamar mandi terbuka. Haikal sangat ingin menoleh, melihat pemandangan yang tampak sekarang. Tapi dia malu. Dia mencoba bertahan dengan berpura-pura fokus pada ponselnya.
"Mau makan apa sore ini Di?" Tanya Haikal.
Deg! Deg! Deg! Jantung Aldi berdegup makin kencang. Dia memberanikan diri menoleh.
Mampus!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Buaian Tubuh Perkasa
LosoweDisclaimer: 18++, LGBT if this disturbs you, skip it! Kumpulan cerita individu-individu sesama jenis yang menyelami erotika tubuh atletis dalam pergumulan yang panas dan menantang.