Pertanyaan singkat "Belum pulang, bro?" membawaku pada perjalanan baru bersama cowok kharismatik ini.
Orang tuaku mendadak tidak dapat menjemputku. Ketika aku hendak memesan ojol, Bintang mengajakku menumpang. Tiba di rumahku, aku baru ingat tidak membawa kunci rumah. Bintang dengan murah hati mengajakku ke rumahnya.
Konspirasi apa yang sedang kau buat, wahai semesta?
"Jodoh kali," celetuk Bintang saat aku menyatakan keherananku mengenai skenario pertemuanku dengannya sore ini. Iya, gua mau, Tang, batinku sepenuh hati.
Akhirnya kami tiba di rumah Bintang. Ia mengajakku masuk dan membawaku ke kamarnya di lantai dua.
"Sultan2," komentarku sambil memandangi sekeliling rumahnya. Ya, rumahnya memang di atas rata2 dengan dua lantai, langit2 yang tinggi dan interior2 yang mewah.
"Amin," sahut Bintang.
"Ga adil emang dunia. Ortu lu kaya, lu anak tunggal lagi. Warisan pasti-"
"Gua paling gedeg denger komentar kaya gitu," tiba2 Bintang berbicara dengan nada suara yang meninggi. "Lu ga bisa liat seseorang dari satu sisi aja, terutama sisi baik atau beruntungnya, lalu beranggapan bahwa itu satu2nya nasibnya. Padahal lu belum tahu di balik itu bisa aja ada kesusahannya."
Mendadak hening mencekik. Bintang sepertinya benar2 marah.
***
POV BintangGoblok! Ngomong apa barusan gua ke Ariq?
"Lu ga bisa liat seseorang dari satu sisi aja, terutama sisi baik atau beruntungnya, lalu beranggapan bahwa itu satu2nya nasibnya. Padahal lu belum tahu di balik itu bisa aja ada kesusahannya."
Huft. Aku sepertinya refleks termakan emosi yang selalu hadir saat orang2 berkomentar soal keberuntunganku. Aku mengabaikan kemungkinan bahwa Ariq hanya bercanda. Tetapi jika dibiarkan tidakkah itu bisa menjadi pola pikir yang menetap? Tetapi apakah reaksiku terlalu berlebihan? Argh!
"Bi-Bin," suara dalam Ariq tiba2 memecah keheningan.
"Sorry, gua kayaknya ga perlu sereaktif itu," kataku memotong. "Lu kan bercanda."
"Engga. Gua yang minta maaf." Ariq melanjutkan.
"Udah2, gua males jadi kebawa perasaan gini," Aku merangkul Ariq. "Ini kamar gua,"
***
POV AriqSetelah drama kecil tadi, aku menerka2 apa yang membuat Bintang tersulut. Jika ada momen yang tepat, akan kutanyakan.
"Ini kamar gua," kata Bintang sambil merangkulku. "Badan lu kok dingin banget?"
Gara2 lu Tang, gua keringet dingin.
"Ya kan tadi di jalan dingin, gua ga pake jaket," aku berdalih.
Kami segera masuk ke dalam kamar Bintang. Sesampainya di dalam, Bintang segera membuka lemarinya dan mengambilkan pakaian ganti untukku.
"Lu keringin dulu tuh keringatnya, nanti kalo udah kering baru mandi" Bintang menyodoriku handuk.
Bintang menaruh pakaian gantiku di atas tempat tidurnya. Selain itu juga sebuah handuk besar untuk mengeringkan badan seusai mandi. "Ni ya."
"Thanks, Tang."
"Gua turun bentar ke dapur,"
Sementara Bintang keluar, aku tidak segera mengeringkan keringatku. Aku mendekati sesuatu yang menyedot perhatianku sedari awal memasuki kamar ini.
Di atas meja belajarnya, tergantung sebuah lukisan. Tidak terlalu besar, mungkin sekitar 40x80 cm. Di atas kanvas itu terlukis dua sosok. Kedua sosok itu tampak terlibat dalam kecupan intens. Pencahayaan dalam lukisan itu sangat minim, membuat lukisan itu terasa dramatis. Sosok pertama membelakangiku, tampak berpakaian seperti kesatria abad pertengahan, sementara sosok kedua begitu samar karena hanya tampak kepalanya yang tersentuh sinar, sementara sebagian besar tubuhnya ditelan kegelapan. Gaya lukisan ini mengingatkanku pada Caravaggio yang terkenal karena chiaroscuro-nya.
![](https://img.wattpad.com/cover/312218987-288-k301187.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Buaian Tubuh Perkasa
De TodoDisclaimer: 18++, LGBT if this disturbs you, skip it! Kumpulan cerita individu-individu sesama jenis yang menyelami erotika tubuh atletis dalam pergumulan yang panas dan menantang.