"Lu lagi ada masalah, Kal? Ada yang mau lu ceritain?" Tanyaku, membuka percakapan.
Kami berdua sudah nangkring di atas jok motornya, melaju melintasi jalan beraspal di antara sawah-sawah yang hijau. Kilau matahari senja membuat semua pemandangan itu bercahaya kejinggaan, amat menyejukkan mata. Semilir angin membelai lembut kulit wajah dan tangan kami, seakan menebarkan semacam sihir yang menenangkan pikiran.
"Gua mah hampir tiap hari ada masalah, Di." Haikal tertawa. "Buat pelajaran eksakta, misalnya, susah banget buat paham. Waktu penilaian, jarang banget bisa dapet nilai di atas, even KKM!"
Aku tersenyum mendengarnya. "Kalau itu mah gua juga, tapi kebalikannya sama lu. Gua paling nyerah buat pelajaran olahraga!"
"Lah, iya ya, gua baru sadar." Haikal tertawa.
"Tapi gua inget waktu dulu pelajaran Fisika, lu kan pernah ngajarin gua, nah, itu gua bisa auto paham, loh!" Ujar Haikal tiba-tiba bersemangat.
"Bener juga! Gua juga inget lu pernah ngajarin gua passing bawah volley, ya meski masih belum KKM, tapi gua jadi lebih bisa!" Balasku.
"Kayaknya kita kudu duduk sebangku lagi, deh, Di!" Usul Haikal.
Deg!
Aku berdebar-debar membayangkan duduk sebangku lagi dengan anak laki-laki ini. Jujur saja, jika di sampingnya, perhatianku sering teralihkan. Bukannya fokus belajar, aku lebih sering curi-curi pandang padanya. Habisnya, rahangnya bagus, sih! Oh, engga, pasti karena pipinya halus! Bukan-bukan, karena alisnya bagus! Tapi tatapan matanya juga enak dipandang! Tapi hidungnya bagus, tapi bibirnya juga bagus, tapi rambutnya lembut, tapi badannya tegap dan padat! Argh! Aku kenapa?!
Aku membenamkan kepalaku ke punggung Haikal, tapi tanpa ku sadari helmku membentur helmnya cukup keras.
Dak!
"Eh, lu kenapa Di?" Tanya Haikal.
"Eh sori-sori, eng-, enggak apa, agak oleng aja kepala gua ini." Dalihku.
"Ah, gua tau, pasti lu yang punya lebih banyak masalah! Tuh, liat, kepalamu aja sampai oleng karena kebanyakan pikiran."
Aku malu sekali. Masalahku adalah kamu, Haikal! Batinku.
Aku menutupi rasa maluku dengan tertawa. "Ehehe, iya kali, ya?"
"Jelas. Gua tau, lu tuh ambis banget soal akademis. Kepala lu itu pasti isinya pelajaran semua. Tapi jangan lupa, refreshing juga. Healing juga. Nanti kalau kamu stres, siapa yang repot?" Omel Haikal.
Duh, kenapa lu perhatian gitu sih, Kal?
"Gua! Gua yang repot!" Sambungnya. "Kalau lu stress, sering nggak masuk, gua jadi nggak bisa tanya-tanya pelajaran eksakta ke lu." Ujar Haikal.
Sianjing nih anak! Gua udah baper, eh lu iseng doang!
"Ye, sianjing lu, Kal! Gua kira lu emang peduli sama gua!" Aku memukul helmnya.
Haikal tertawa. "Wow, baru pertama denger seorang Aldi misuh-misuh! Hahahaha!"
Sreet!
Haikal tiba-tiba mengerem mendadak motornya. Otomatis tubuhku terdorong ke depan karena gaya inersia dan berimpit dengan punggung Haikal.
Deg!
Aku mendadak sadar. Jadi begini rasanya, punggung yang kukagumi di bilik saat berganti baju bersamanya: Lebar, kokoh dan padat. Sesuatu di bawah perutku mulai meronta-meronta.
Aku segera menarik tubuhku menjauh dari punggung Haikal.
"Kenapa Kal?" Tanyaku, mencoba mengalihkan perhatianku dari fantasi liarku.
"Ini ada lubang di depan. Dalem juga, njir! Untung berhasil menghindar."
"Oke sori-sori, nggak bercandaan lagi, deh. Bahaya!" Ujarku.
"Gua yang sori, gua yang mulai duluan tadi." Kata Haikal.
"Iya, enggak apa," pungkasku. "O iya sebelum lu jalan lagi, omong-omong, kita cuma mau muter-muter aja atau ada tujuan?" Tanyaku.
"Dalam rangka mengurangi berat beban di kepala lu, gua akhirnya memutuskan kita pergi ke suatu tempat."
Aku tertawa. "Lebay ah, lu, Kal! Kemana emang?"
"Lihat aja nanti. Kejutan buat lu."
Kalau perasaanku saat ini bisa digambarkan, mungkin mirip kapal pecah. Diserak-serakkan cowok bernama Haikal. Argh!
Kami lalu melanjutkan perjalanan. Setelah melalui sawah-sawah, kami melalui deretan pepohonan yang rindang, entah itu hutan atau kebun. Jalan mulai menurun, hingga kami tiba di depan sebuah jembatan dengan latar belakang sebuah sungai dengan aliran yang bergemerisik.
Alih-alih menyeberangi jembatan itu, Haikal membelokkan motornya ke kiri, menjauh dari jembatan itu. Jalan mulai menanjak lagi, kini jalan yang kami lalui hanya berupa jalan setapak. Sungai di sebelah kanan kami tampak begitu bening. Suara gemerisiknya ditimbulkan oleh alirab air yang menerjang bebatuan.
Haikal akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang berumput hijau.
"Udah sampai kita." Ujarnya.
Kami berdua turun dari sepeda motornya.
"Ini tempat gua dulu waktu kecil main-main." Haikal membuka cerita.
"Mancing, mandi di sungai. Gua beruntung karena sampai sekarang kebersihan dan keasrian sungai ini masih terjaga. Lihat aja tuh, masih bening kaya gitu."
Aku sekali lagi melihat jernihnya air sungai itu. Aku semakin menyadari kejernihannya karena batuan-batuan di dasar sungai itu masih terlihat. Memang pada dasarnya sungai ini tidak begitu dalam, namun air yang keruh akan tetap menghalangi pemandangan di dasar sungai, seberapapun dangkalnya.
"Gua sih auto pengin mandi-mandi di sana ya." Ujar Haikal yang langsung beranjak menuju ke sungai.
"Eh-" aku tampak ragu.
"Udah ayo, kalau mau ikutan ya sini!" Seru Haikal tanpa menoleh padaku. Ia sudah berada di bibir sungai.
Aku langsung menyusulnya, menyusuri jalan setapak yang kembali menurun dengan semak perdu dan pepohonan di kiri kanannya.
Haikal berjalan ke arah sebuah batu yang cukup besar. Lalu di situ ia meletakkan tas sekolahnya, begitu juga aku.
Dan apa yang dilakukan Haikal sekarang membuat jantungku berdebar-debar.
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca.
Jika berkenan, bagikan juga kritik dan saranmu untuk karya2 saya sejauh ini dengan menambahkan komentar pada kalimat2 di cerita saya atau fitur komentar di bawah.
Saya masih pemula nih, ajarin dong puh sepuh :DDukung juga karya ini dan beri semangat bagi penulis dengan memberi vote, ya!
Danke!
![](https://img.wattpad.com/cover/312218987-288-k301187.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Buaian Tubuh Perkasa
CasualeDisclaimer: 18++, LGBT if this disturbs you, skip it! Kumpulan cerita individu-individu sesama jenis yang menyelami erotika tubuh atletis dalam pergumulan yang panas dan menantang.