Bab 6

1K 16 0
                                    

Aku hanya diam sambil terus melakukan pekerjaanku dan tentunya masih di dalam mobil. Kata pria ini kami akan pergi dinas ke kota yang jaraknya sekitar enam jam. Itulah kenapa rasanya badanku pegal semua saat om Burhan sudah menghentikan laju mobilnya.

Ah, rasanya seperti di remuk seluruh badanku. Belum lagi mataku yang sudah mengajak untuk tidur, membuatku semakin pusing. 

"Mau ke mana, Pak?" tanganku manakala om Burhan hendak keluar dari mobil.

"Tugasmu sudah selesai? Kalau belum, jangan turun dulu! Kalau sudah, kamu boleh turun dan ini saya buat makan siang!" tegasnya lalu pergi begitu saja.

Ck! Dia berpikir aku ini anaknya si Raka itu? Jelas bedalah! Anaknya cuma sekadar mengcopy tulisan saja masih remedial, kalah jauhlah denganku! Ada-ada saja bapak-bapak itu kalau berbicara.

Jelas saja aku langsung ikut turun begitu pria berotot ini keluar. Karena sesuai katanya. Kalau sudah selesai, boleh ikut.

Aku sadar kalau Om Burhan melirik sebentar ke arahku yang masih berjalan kesusahan mengimbangi langkahnya. Syukurnya dia tidak banyak tanya lagi. Kalau tadi dia masih ragu aku sudah selesai atau tidak, tidak akan aku segan-segan menciumnya, maksudnya membantah ucapannya!

Kami akhirnya tiba di meja salah satu restoran yang dipilihnya. Tanpa disuruh aku langsung duduk, tepatnya di dekat Om Burhan.

"Kamu bisa duduk di sana? Di mana sopan santun kamu?" tegurnya. Dia menatapku dengan tatapan andalannya yang tajam bak kucing hutan.

"Iya, Pak. Saya pindah," kataku lantas bergegas berjalan ke seberang meja.

"Kenapa kamu duduk di situ? Pergi ke meja lain!"

Astaga kain lap dapur! Bisa-bisanya dia masih protes? Apa salahnya cuma duduk berdua bahkan berseberangan dengan meja?

"Ya Allah, Pak. Masa duduk seperti ini saja tidak boleh? Gimana kalau nanti Bapak butuh saya? Sukitkan kalah harus jauh-jauhan?" keluhku berharap lelaki ini mau mengerti.

Kalau tidak juga paham, kupatahkan juga tulang lehernya itu!

"Saya mau sendirian. Lagian ini jam makan siang. Saya paling anti memotong waktu istirahat karyawan saya!" jelasnya dengan mata yang searah padaku. 

Wah ... dia benar-benar definisi lelaki matang dengan segala pesonanya. Lihatlah bagaimana suara serta bahasa tubuh itu bergerak, seolah-olah pria ini memang diciptakan untukku. Ya karena semua pesona yang dia miliki benar-benar sesuai tipeku.

Andai kata tadi dia masih sendiri, tidak segan-segan aku menggodanya. Atau bila perlu aku yang akan mengajaknya berkencan lebih dulu. Pasti rasanya seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu yang membuat diri ini seakan melayang ke langit ke tujuh.

Tapi sayang, sudahlah cerewet, punya orang pula.

Apes!

"Kenapa masih di sini? Pindah sana. Pesan saja makanannya nanti bayarnya gabung sama punya saya," ujarnya kembali yang segera membuatku keluar dari isi pikiranku.

Aku sudah menimbang ini sejak tadi, harusnya sih tidak masalah kalau aku berbicara begini. "Om, kenapa sih milih curang dari Tante?"

Ya Tuhan, Luna! Haruskah bertanya seperti itu sekarang? Lihatlah betapa berubahnya kini ekspresi pria tampan ini. Sudah seperti ingin memakan orang saja!

Suara tegukan ludahku sudah bak batu yang dilempar ke dasar laut. Tiba-tiba aku tegang, membisu seketika.

"Ma-maaf, Pak. Sa-saya pamit dulu," ucapku, tak lagi berniat menggangu pria tampan si penusuk jantung ini.

Begitu aku berjalan ke meja lain dan juga sudah meyakini kalau tatapan Om Burhan padaku sudah lepas, tiba-tiba denting pesan dari ponselku terdengar. Sembari melangkah, aku meraih benda persegi dari dalam sakuku, lalu memeriksa pesan siapa kira-kira yang masuk.

[Kamu di mana, Lun? Aku ke kos kamu kok nggak ada?]

Otomatis kakiku berhenti melangkah begitu mendapati pesan Raka yang menyapa sepasang mataku. Bodohnya, kenapa aku merasa sedang tertangkap basah sehingga refleks menoleh ke arah Om Burhan yang sudah lahap menyantap makanannya?

Aku cepat-cepat mengatakan pada diriku, kalau aku benar-benar murni hanya melakukan ini demi pekerjaan. Aku tidak berniat apa-apa, berkaca pada perdebatan waktu itu. Aku takut, nanti Raka justru berpikiran aneh terhadapku.

Sambil melanjutkan langkah, aku pun membalas pesannya; [Aku lagi di luar. Kenapa kamu tiba-tiba mau ketemu? Kayaknya kita nggak ada kelas hari ini. Apa kamu ada tugas yang nggak bisa dikerjain?]

[Nggak. Btw, kamu di mana? Aku susulin, ya? Sebenarnya aku kangen kamu, Lun.]

Pesan balasannya kembali membuatku diam-diam merasa bersalah. Aku jadi menimbang-nimbang kembali tentang hubungan kami ini. Apa mungkin Raka benar-benar mencintaiku? Tapi, apa itu mungkin?

Jujur saja, sikap serta perilakuku padanya sama sekali tidak menggambarkan seorang kekasih. Bahkan bisa kukatakan terlihat seperti teman biasa.

Apa semua tanggapanku itu salah ya? Sebenarnya Raka benar-benar mencintaiku dan menginginkan hubungan kami ini jadi lebih serius?

Ragu-ragu aku membalas. Sampai akhirnya kolom percakapan itu berubah jadi beranda panggilan suara darinya. Tiba-tiba aku kaget sendiri entah karena apa.

Begitu kugulir tombol hijau, menjawab panggilannya, entah kapan agaknya Om Burhan menghampiriku sembari mengatakan, "Cepatlah. Saya paling tidak suka berlama-lama!"

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang