Bab 11

653 5 0
                                    

Aku tertohok sejenak, benar-benar belum bisa mencerna apa yang baru saja kudengar. Kutatap lekat-lekat Buk Ayu yang baru saja mengatakan hal yang sejak kemarin kudapati.

"Kenapa? Kamu nggak terima dibilang gitu?" gertaknya kembali.

Aku mengigit bibir menahan emosi. Untung dia ibu-ibu, kalau tadi seusiaku sudah habis kuratakan da danya yang gondal-gandil tu.

"Buk, maksudnya apa sih sampe nyiram gini? Apa juga alasan Ibuk bisa ngecap saya demikian?" Kubalas suaranya dengan nada yang sama. Mana mungkin aku menerima ini dengan lapang dada.

Dia mendengkus, menyeringai seolah perkataanku tadi hanya lelucon. "Nggak usah sok polos lagi deh, Luna. Tadi malam saya lihat gimana cowok itu bawa kamu masuk ke kosan bahkan tanpa ragu lho pegang-pegang kamu!"

"Apa?" Kedua alisku langsung tertaut tajam. Aku ingat tentang Om Burhan yang katanya membawaku masuk ke dalam kamar. Tapi, bukannya dia sudah izin pada Buk Ayu selaku pemilik kos? "Buk! Dia bukan siapa-siapa saya. Lagi pula, bukannya Om Burhan udah izin, ya sama Ibuk?"

"Nggak ada tuh!" Dia mengangkat bahunya. "Udah deh, Luna. Sebaiknya nggak usah pura-pura lagi. Saya kasih waktu dua jam buat beres-beres. Keluar dari kosan saya sekarang juga!" usirnya, membuat keputusan yang seketika membuatku tercengang.

"Buk, jngan gini dong." Tak kupedulikan tentang bagaimana dia mengataiku tadi, aku berakhir memelas padanya, memohon untuk tidak diusir. "Buk, kalau saya pergi, saya nggak tahu mau ke mana lagi. Saya udah nyaman di sini, Buk. Tolonglah. Lagi pula, semua yang Ibuk dengar itu berita hoax. Orang-orang lagi iri kayaknya sama saya sampai bisa buat gosip-gosip kayak gitu!"

"Masih bisa bela diri kamu?" tuturnya, terlihat sekali dia enggan menerima permohonanku. "Saya nggak kemakan berita apa pun! Saya lihat pakai mata kepala saya sendiri, Luna. Saya nggak akan rela sampai kosan saya dibuat jadi lahan perji na han!"

"Buk ...." Aku tak sanggup lagi menyanggah begitu mendengarnya mengatakan hal yang semakin menyakitiku.

Keyakinanku tadi yang hendak mengalah saja, dengan cepat kutarik kembali. Aku mengeraskan rahang, menatapnya lekat-lekat.

"Udah cukup ya!" gertakku. "Ingat aja ini, Buk. Saya nggak terima dengan semua tuduhan Ibuk sama saya. Itu sama aja fitnah!"

Dia memutar bola matanya, seolah tak peduli ancamanku.

"Oke! Saya akan pergi dari sini! Tapi ingat ini, Buk Ayu. Hukum karma itu ada. Hati-hati aja mulai sekarang. Jangan sampai tuduhan Ibuk ini yang bahkan tanpa bukti, menjadi awal kehancuran Ibuk!" lanjutku, menyerangnya dengan kalimat sumpahan dariku Yangh telah didzolimi.

Aku menghentakkan kakiku, lantas berjalan ke dalam siap minggat dari lahan petak yang sudah nyaris tiga tahun kutempati. Sedih juga sebenarnya. Tapi aku pun tak sudi lagi berada di sini dengan segala cacian yang kudapati.

Memangnya dia pikir aku gratis tinggal di sini?

Ck! Si alan perempuan itu!

Sembari menyusun barang-barangku, yang pastinya dengan keadaan yang setengah basah, aku mendadak geram setelah mengulang segala kisah yang kualami sejak kemarin. Kala kuingat-ingat lagi, dari mana awal mulanya ini terjadi? Kenapa aku mendadak di cap pe lakor, padahal aku sama sekali tidak melakukan apa-apa?

Mungkin begitulah yang ada di dalam hatiku untuk menjabarkan kehadiran Om Burhan. Tapi jujur saja, itu hanya di dalam hatiku. Aku sama sekali tak berniat melakukan itu. Sungguh! Aku ini masih waras. Aku hanya sedang mencari kesenangan hidup agar aku tidak terlalu terbebani dengan tugas-tugas kuliah yang semakin menumpuk!

Setelah siap merapikan barang-barang yang penting-penting, aku pun membalut tubuhku dengan blazer, kini siap meninggalkan tempat ini.

Kukira aku ditinggalkan sendiri oleh Buk Ayumi. Nyatanya dia berdiri di sebelah pintu kosan dengan gaya berpangku tangan.

"Udah? Jangan pernah mikir buat balik ke sini, ya? Lebih baik tempat ini dihuni set an dari pada pe zinah kayak kamu!" tukasnya, lagi-lagi dengan bibir pedasnya itu.

Tak tahan, aku lantas menjatuhkan secara paksa tas yang kujinjing, lalu mengahadapinya dengan semburan emosi yang berapi-api.

"Punya mulut kok nggak bisa dijaga sih, Buk? Enteng banget perasaan Ibuk ngomong kayak gini? Emang Ibuk udah punya buktinya? Emang Ibuk bisa mempertanggungjawabkan ini di hadapan hukum atau di hadapan Tuhan? Hah!" pekikku, ingin rasanya langsung mere mas bibirnya yang tebal itu!

"Heh, Anak Kecil!" balasnya, mengataiku. "Berani kamu bentak-bentak orang tua, ya? Nggak ingat umur kamu? Nggak takut disumpahi sama orang tua, hah?"

Aku menyeringai, tergelitik pula mendengar ceramah singkatnya. "Sadar! Buka mata, buka telinga. Ibuk itu mandul, nggak bisa punya anak. Cuma perempuan yang melahirkan yang bisa menyumpahi, bukan perempuan mandul!" caciku, mengungkit masalah personalnya yang tak akan lagi asing ditelingaku.

Begitu aku siap dengan cacianku untuk membalasnya, kulihat matanya langsung membeliak, tapi juga bersamaan dengan embun yang mulai membasahi. Dia mengerang, terlihat bagaimana napasnya yang tak beraturan.

"Nggak lunau hati kamu, Luna!" teriaknya, lantas pergi begitu saja sambil menyeka air matanya.

Setelah melihatnya begitu, entah kenapa aku malah merasa bersalah. Aku tiba-tiba meringis sendiri, menyadari kalau yang baru saja kukatakan padanya benar-benar menyakitkan.

Tapi, bukannya dia yang memulai? Kenapa pula  harus aku yang merasa bersalah? Luka dibalas luka. Caci di balas caci. Jika tak mau terluka, maka jangan lukai orang lain. Pun sebaliknya tentang penghinaan!

Sekarang aku malah pusing mau pergi ke mana lagi. Belum lagi aku yang masih basah. Ah! Kenapa hidup ini jadi lebih rumit dari kemarin? Lama-lama aku capek juga.

Begitu aku berjalan keluar komplek kosan, aku tiba-tiba saja bertemu Om Burhan. Langsung saja kakiku berhenti melangkah, lantas menatapnya dengan seribu tanya yang melekat sempurna.

"Kamu mau ke mana? Saya baru saja mau–"

"Sebenarnya niat Om ke saya apa sih?" Aku menyela omongannya. Aku lebih tertarik bertanya tentang tujuannya yang akhir-akhir ini terkesan mendekatiku.

Dia tampak bingung. "Saya mau mengembalikan tas kamu, dan juga memeriksa keadaan kamu."

Aku tak habis pikir dengan alasannya yang benar-benar klasik. "Kayaknya tadi malam Om juga udah mau balikin? Kenapa nggak ditaruh aja di kamar semalam? Oh iya, kenapa Om bohong sih tentang tadi malam? Om bilang Udah izin sama Ibuk kos saya buat bantuin, tapi kenapa justru beliau bilang saya melakukan hal aneh-aneh sama Om?"

"A-apa maksudnya?" Dia jadi semakin bingung terlihat dari matanya yang mengerjap-erjap seolah mencari informasi yang lebih akurat.

"Kenapa? Atau jangan-jangan sebenarnya Om suka sama saya? Om benaran mau buat saya jadi simpanan Om, ya? Ingat anak istri, Om. Lagi pula, saya nggak suka sama suami orang! Om bukan selera saya!"

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang