Bab 17

230 10 2
                                    

Dia membisu sejenak dengan kilatan mata yang tak bisa kuartikan apa isinya. Setelahnya, dia langsung melepaskan tawa singkat, seolah tadi hanyalah lelucon.

"Sudahlah. Katakan saja, di mana rumah kamu? Saya antar," katanya mengulang tujuannya.

Tiba-tiba aku terkesiap sempat melamun rupanya. Aku tak tahu, entah kenapa wajahnya lebih enak dipandang alih-alih menjijikkan. Padahal jelas-jelas pria ini penuh dengan dosa.

Ah! Sudah kubilang. Aku bukanlah wanita murahan. Hanya saja paras Om Burhan ini memang selayak dan seampuh itu menarik perhatian. Ck!

Aku membuang muka. "Turunin aja di sini, Om. Ayolah. Jangan membuat keadaan ini makin runyam. Nggak capek apa?"

Tak kudapati jawabannya segera. Dia diam sebentar, setelah beberapa detik barulah dia menjawab, "Nggak perlu khawatir. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya. Kamu punya kontak saya, kan? Kalau ada apa-apa, mintalah pertanggung jawaban dari saya. Apa pun itu. Mau kecil atau besar. Tapi ingat satu hal, Luna. Jangan kamu lakukan perintah Raka. Abaikan saja dia kalau memang dia bertingkah diluar batas."

Nyenyenye!

Aku menggerutu dalam hati, menyepelekan omong kosong bapak-bapak ini. Kalimatnya sudah persis pria dewasa pada umunya yang memang pantas memberikan nasehat.

Padahal bentukannya saja yang manusia. Isi dalam dirinya itu setan semuanya!

"Udah? Buka dong pintunya. Nanti anak Om yang paling ganteng itu ngancem saya lagi. Takutnya bukan cuma ngancem buka baju di depan Om, tapi hal yang lebih dari itu," tukasku dengan sindiran yang cukup pedas.

"Saya antar."

"Buka nggak!" bentakku, makin muak. "Om bukannya tenangin istri malah enak banget ya dekatin saya. Malu kenapa sih? Malu sama umur! Nggak takut hukum karma? Katanya sakit di bentak anak sendiri? Tapi kok malah menjadi-jadi gini sih?"

Aku mengomelinya dengan kedua alis yang tertaut tajam, persis ibu-ibu. Kulihat dia hanya diam tanpa menatapku. Tanpa kata, dia langsung menyalakan mesin mobil benar-benar lalu melaju mengabaikan semua perkataanku tadi.

"Lho, Om! Berhenti, nggak! Stop! Aku mau turun. Om Burhan!" pekikku sambil memukuli lengannya yang padat, amat padat sampai rasanya tanganku yang sakit alih-alih dia.

"Diamlah! Kamu ini cerewet sekali," gertaknya, malah semakin bertingkah.

"Berhenti, atau aku buka baju!" ancamku, tak peduli apa pendapatnya. Aku benar-benar muak nyaris meledak karena tingkah pria dewasa ini.

"Memangnya kamu berani?" Dia berkata demikian sambil menoleh padaku dengan santainya. Hal yang semakin membuat darah ini mendidih nyaris meledak.

"Emang benar, ya? Om ini laki-laki murahan. Nggak punya hati. Suka main perempuan. Nggak malu apa ngomong kayak gini?"

"Padahal kamu yang mengancam begitu. Kenapa saya yang kamu salahkan?"

"Ya makanya turunin aku! Aku bisa teriak lho ini. Jangan anggap remeh sanksi sosial. Om bisa mati babak belur nantinya!"

Pria itu tetap memasang wajah tenang walau aku sudah misuh-misuh bahkan mengancam. Ck! Pria ini sebenarnya terbuat dari apa? Dan apa tujuannya. Lama-lama kucium juga dia!

"Di mana rumah kamu? Katanya kamu diusir dari kosan. Sekarang pindah ke mana?" tanyanya, lagi-lagi dengan nada tenang. Seakan tidak ada yang terjadi.

"Nggak tahu!" Aku sudah muak. Terserah dia mau apa. Aku membuang muka, lebih nikmat rasanya melihat jalanan dari pada apa pun.

"Kalau gitu tinggi di apartemen saja. Saya yang bayar sewanya."

Rahangku rasanya jatuh ke bawah meninggal air liur yang mengalir begitu mendengar bibirnya dengan enteng berkata demikian. Kutatap wajahnya yang terus datar dan datar menatap jalanan malam, tanpa mempedulikan bagaimana reaksiku yang kaget setengah mati.

"Om, masih waras, kan?"

Dia menoleh. "Memangnya selama ini kamu anggap saya gila?"

"Ck! Sadar donggg! Tadi ngomong apa barusan? Om nawarin saya tinggal di apartemen? Semudah itu?" Aku benar-benar tak habis pikir lagi. Pria itu sungguh gila.

Sebenarnya apa maunya? Apa dia sungguh suka padaku?

"Raka pastinya buat hal-hal buruk lagi sama kamu. Untuk keamanan kamu, tinggallah di sana. Sebentar lagi juga kuliah kamu selesai, kan? Selama itu, saya akan memastikan kamu baik-baik saja. Setelah kuliah selesai, urusan kita pun selesai," katanya menjabarkan hal yang membuatku diam membisu.

Aku mengerjap-erjap, coba menyadarkan diri. Apa maksudnya? Aku benar-benar masih kurang paham.

"Tujuan Om sebenarnya apa? Pliss, kali ini jawab serius. Aku udah hampir gila rasanya!"

Mobil melambat lalu berhenti. Baru kusadari ternyata kami sudah tiba di pelataran parkir gedung megah yang mungkin gedung apartemen yang dia maksud.

Kembali kutatap dia yang kini menatapku. Ck! Aku tidak murahan. Hanya jantung ini saja yang kecentilan sampai-sampai berdetak bergemuruh hanya karena ditatap pria matang nan mempesona ini.

"Saya mau tanya satu hal. Apa selama ini kamu pacaran sama anak saya itu karena sesuatu?" tanyanya, membuatku meneguk ludah.

Tapi, buat apa lagi kututupi? Toh juga semuanya sudah terlanjur terbuka.

"I ... iya. Aku kan udah bilang. Aku sama Raka itu nggak saling cinta. Aku nerima dia jadi pacar biar aku punya tebengan kalau ke kampus. Dia juga gitu kok. Dia manfaatin aku buat ngerjain tugas-tugasnya," aduku, menjelaskan semuanya tanpa terkecuali.

"Jadi, kamu nggak suka sama Raka?"

"Nggak!" Dengan tegas aku menggeleng. Cih! Siapa juga yang suka sama anak kecil itu. Apalagi menyadari kalau pola dan tingkahnya benar-benar menggambarkan anak baru gede yang baru mengalami masa puber pertama!

"Kamu harus tahu, Luna. Sebenarnya saya pun nggak berniat menyeret kamu ke ranah pribadi saya. Tapi keadaan lah yang membuatnya jadi seperti ini." Dia menghela napas, rasanya cukup berat. "Saya ini memang bejad. Dan biarlah tetap seperti itu untuk Raka atau siapa pun. Yang saya sayangkan, kamu malah terjebak di sini. Maafkan saya, Luna."

Sial! Kenapa aku jadi merasa kasihan melihat wajahnya yang bercerita? Padahal dia sedang mengakui kalau dirinya pria bren-gsek. Tapi alih-alih aku jijik, aku justru merasa iba karena rasa gelisah yang dia rasakan seakan terbagi begitu saja padaku.

"Tinggallah di sini," lanjutnya membuatku terkesiap. "Semua biayanya akan saya tangung. Dan maaf juga untuk kejadian ini, dan mungkin ke depannya. Saya tahu, Raka pasti akan terus mengejarmu. Karena itu, hubungi saya kalau kamu nggak kuat. Saya akan bertanggung jawab."

Jujur saja, aku tak bisa berkata-kata lagi. Ada ribuan tanya di kepalaku mengenai pria ini, tapi tak satupun yang keluar untuk kutanyakan.

Om Burhan merogoh sakunya, lalu memberikan kartu debit padaku.

"Gunakan kalau kamu perlu. Jangan sungkan. Saya pun punya anak, saya merasakan bagaimana pengeluaran mereka. Nggak akan ada bedanya sama kamu, kan?"

Ah, rasanya tergiur sekali melihat kartu debit itu. Pasti isinya banyak.

Luna, astaga! Sadarkan dirimu. Dia itu suami orang!

"Nggak perlu, Om. Aku masih punya–"

"Nggak perlu jual mahal! Kamu sudah terlanjur masuk ke kehidupan saya. Nikmati saja alurnya," selanya sambil menerik tanganku upaya meletakkan kartu itu. "Nggak mau turun?"

"Uh?" Aku lagi-lagi terkesiap, tak tahu harus apa. Tapi ... aku tak akan munafik. Aku benar-benar butuh uangnya. "Boleh dihabisin nggak nih isinya?"

"Boleh. Tapi sepertinya kamu harus menghabiskan waktu lebih banyak bersama saya agar kartu ini habis semuanya."

___

Kiw kiw. Masih ada yang ingat ini ga? Lanjut, atau udahan?

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang