Bab 12

583 8 0
                                    

Kulihat kedua alisnya yang tebal menyatu, terlihat semakin kebingungan.

"Maksud kamu apa? Saya murni datang ke sini hanya untuk mengembalikan tas kamu," katanya, kali ini sambil menyerahkan tas yang dia maksud.

Aku semakin sebal saja. "Apa sih, Om? Kenapa tadi malam nggak di kasih?"

"Saya kelupaan lagi," jelasnya, polos sekali.

Tapi, alih-alih suka, aku malah kian menggeram, kesal. "Terus gimana sama izin yang Om bilang tadi? Beneran udah izin, kan?"

Dia mengangguk-angguk. "Saya panggil dia dulu baru berani membantu kamu. Memangnya kenapa? Apa kamu ada masalah?"

Mendengar pertanyaannya, kenapa tiba-tiba dia merasa khawatir dan peduli padaku? Padahal kemarin dia ini begitu ketus dan irit sekali berbicara apalagi mimik wajahnya yang terus saja datar. 

Saking geramnya, aku tak lagi berminat meladeninya seperti aku yang kemarin. Kutarik kuat tas selempangku, lantas berjalan menjauh darinya dengan segala emosi yang terpendam. Jika saja hatiku tak terbuat dari sesuatu yang keras dan padat, sudah kupastikan keadaanku saat ini persis minyak sisa alias jelantah. Mencair tak ada guna.

Kupikir dia akan langsung pergi. Tapi, kudapati lelaki jangkung ini berjalan mengimbangi langkahku. "Kalau kamu nggak keberatan, saya bisa bantu kamu. Anggap saja ini bantuan dari calon mertua kamu," katanya, tak pernah terbesit dipikiranku.

Jelas kakiku langsung berhenti demi meyakinkan diri kalau yang sedang kuajak berbicara ini adalah pria yang sejak kemarin bertutur ketus dan menyebalkan padaku. Tapi, mau sedalam apa pun aku menelisik wajahnya, dia memanglah pria itu.

"Om sehat?" sindirku, kuharap dia bisa memahaminya.

Dia seolah tak yakin, tapi tetap mengangguk. "Ya, saya sehat."

Kutatap dia lagi, lalu menyipitkan mataku. "Jangan-jangan benar, ya? Om mau buat saya jadi simpanan, Om? Sadar Om Burhan, saya ini pacar anak, Om. Lagian, hobi banget deh main perempuan. Padahalkan istri Om cantik. Baik lagi."

"Jangan mudah mendikte setiap sifat manusia selama kamu belum tahu seluk-beluknya. Kamu ini anak kuliahan, tapi kenapa otaknya cuma separuh?" balasnya, justru mengataiku.

Aku mendesis, geram. "Kalau gitu jelasin dong! Kenapa Om dekatin saya? Om mau lanjutin yang kemarin belum selesai?"

Terserah dia mau tersinggung atau apa, yang terpenting aku sudah mengatakan apa yang kupikirkan. Toh, dia juga sama. Seenaknya mengataiku tanpa filter.

Kulihat dia diam saja. Detik kemudian, barulah dia membalas, "Hubungi saya sekiranya kamu butuh bantuan."

Bahuku langsung saja merosot, tak menyangka dia mengatakan itu. Bibir ini langsung bungkam dengan sepasang mataku yang mengikutinya pergi berlalu dari hadapanku.

Ya Tuhan! Kenapa dadaku jadi berdebar begini? Perkataannya tadi seakan memberikanku sebuah perlindungan tanpa kuminta. Tak sadar, kedua mataku berembun.

Ck! Sial. Apa aku kembali tergoda lagi padanya?

Padahal sudah kujelaskan di dalam hatiku, kalau lelaki itu milik orang lain. Lagi pun, dia terlalu matang untukku. Dan yang harus kuingat terus, dia haram untuk kucintai.

Aku langsung saja mengacak-acak rambutku, lalu mengusap wajah hendak menyadarkan diri. Perasaan konyol ini memang menyebalkan! Sudahlah murahan, tak bisa di tahan lagi.

Usia menenangkan diri, aku pun kembali menenteng tasku, lalu berjalan siap mencegat ojol atau apalah nanti yang terlihat. Aku berniat  pindah ke kosan yang agak lebih jauh dari kampus.

Sebenarnya kosan ini sudah sangat nyaman, dan juga paling best seller di antara mahasiswa sepertiku. Sayangnya, aku tak bisa lagi berlama-lama. Walau sangat disayangkan memang. Padahal tinggal kurang dua tahun lagi aku lepas dari kota ini.

Tapi begitulah hidup. Manusia bisa berencana, tapi hanya Tuhan yang menentukan.

Setelah menaiki taksi yang mana biayanya tiga kali lipat dari naik ojol, aku pun kini tiba di pelataran parkir kosan yang kutuju. Kulihat suasananya cukup sepi, dan luyaman damai juga.

Tapi, itu hanya asumsi sebelum akhirnya aku mendapatkan seruan dari balkon gedung ini.

"Lah, si pe lakor ada di sini woi!"

Bersamaan dengan jagungku yang berdebar, aku mendongak ke arah sumber suara. Kudapati seorang perempuan berambut panjang, yang tak akan kulupa siapa dia. Dia Kinah, cewek yang selalu saja iri padaku. Apalagi waktu hubunganku dan Raka terendus banyak orang. Dialah yang paling panas karena merasa tertinggal dariku.

Dan lihatlah perempuan jelmaan kuntilanak itu! Dia berseru sepanjang lorong hanya untuk mengatakan pada semua orang kalau aku ada di sekitar mereka.

Berniat abai, tapi nyatanya tak se-sepele itu. Begitu para penghuni kos keluar demi menatapku yang masih mematung di tempat, aku langsung ciut, seketika ingin menangis.

"Woiii! Malu dong! Masa kaburnya ke sini? Panggil dong suami orang yang kamu anggap rumah itu!" teriak salah satu dari mereka.

Mereka tertawa, terus mengolok-olokku. Kulihat satu-persatu wajah mereka yang begitu senang dan antusias sekali.

Sialnya! Alih-alih aku bisa membalas seperti aku yang sebelumnya, aku hanya bisa mencengkeram kuat tali tas yang kujinjing demi meluapkan amarahku.

Aku mengerjap-erjap, tak tahan. Kuangkat kaki, tak lagi berniat singgah di gedung ini. Bagimana mungkin aku bisa mengatakan itu sebuah tempat tinggal, jika isinya hanyalah sebuah penghinaan?

Walau sebenarnya aku belum tahu, apa sebenarnya yang membuat mereka ujug-ujug mengatakanku begitu. Tapi jujur, itu sakit. Rasanya aku tak terima. Namun, begitu aku mengingat tentang kesalahanku malam itu bersama Om Burhan, aku tak lagi bertanya-tanya.

Kurasa ada yang mengenaliku waktu itu. Kupikir pun, aku yang menangkap basah diriku, tapi tanpa kutahu. Mungkinkah begitu?

Jika tidak, lantas apa yang membuat mereka yakin kalau aku adalah seorang pe lakor?

Air mataku tumpah, persis bukan diriku. Ck! Padahal aku sudah sekuat tenaga memasang cover kuat di mana pun dan kapan pun, tapi tetap saja aura kelemahanku keluar.

Aku butuh pelukan. Aku butuh teman! Aku rindu ayah ibu. Aku mau pulang.

"Luna?"

Kuangkat wajah yang menunduk bersedih, begitu mendengar seseorang menyebut namaku. Mataku yang tadinya mengeluarkan tangis yang lemah, seketika saja membulat lebar menyoroti seseorang yang tak akan asing lagi di mataku.

"Heii, Sayang. Kenapa kamu? Kok bawa tas begini? Kok basah–"

Plak

Kuhentikan bibirnya yang bergerak dengan satu tamparan keras dari tanganku sendiri. Dia diam, memegangi pipinya, lalu menatapku heran.

"Apa maumu, hah? Apa yang coba kamu perbuat padaku?" gertakku, langsung pada inti tanpa basa-basi.

Dia mengerjap-erjap, pura-pura tak mengerti. "A-apa yang kamu maksud? Kenapa juga kamu mukul aku, Luna? Salah aku apa?"

Aku kian menggeram. "Tadi malam aku liat kamu, Raka! Kamu liat semua yang terjadi padaku, tapi kenapa kamu malah pergi? Hah? Kamu anggap aku pacar, tapi kenapa kamu yang coba buat aku layaknya perempuan murahan yang bisa dimainkan lelaki kurang ajar itu!"

Dia diam. Lalu dia menyeringai, sambil mengatakan ....

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang