Bab 19

9 1 0
                                    

Seperti yang akan terjadi. Wajahku kusam, berantakan, tak ada gairah sama sekali padahal mentari sudah bersinar di langit sana.

Tadi malam aku benar-benar tak bisa tidur. Apa pun yang kulakukan untuk memejamkan mata, tetap saja gagal. Bahkan aku berniat membeli obat tidur hanya sekadar mata ini terpejam dan lupakan semua yang terjadi walau hanya sesaat.

Tapi lagi-lagi aku memikirkan hal lain. Kalau aku mengkonsumsi obat-obatan, maka keterpurukan akan kualami. Mungkin sekarang hanya obat tidur. Tapi jika sudah ketergantungan, bisa saja lebih para dari itu.

Aku masih mau hidup. Aku masih mau memberikan kebahagiaan pada ayah ibu di kampung sana. Sempit rasanya pemikiranku jika harus berakhir menyedihkan semacam itu.

Sekali lagi, kuusap wajah dari jejak air mata. Lipstik berwarna merah yang diminta Raka menjadi alasan kenapa air mata sialan ini tumpah terus tanpa tahu malu. Padahal aku punya latar belakang wanita yang kuat, jarang mengeluh, dan tak suka menangis.

Tapi hari ini aku tak kuat lagi memamerkan karakter itu. Rasanya sakit, tapi entah dengan apa aku mengobatinya.

Syukurnya hari ini tak banyak mata kuliah. Jadi aku bisa langsung pulang jika urusan sudah selesai.

[Pagi kesayangannya Papa. Udah siap belum? Perlu dijemput nggak nih?]

Pesan singkat yang dikirim Raka dengan malam kubaca. Aku sudah berjalan keluar kamar tentunya dengan blazer yang menutupi pakaian seksi ini. Menyebalkan!

[Nggak perlu. Aku bisa sendiri] Aku menyempatkan membalas pesan pria kurang ajar itu.

[Lagian nggak sudi juga nebengin cewek murah kayak kamu. Jangan kepedean lah, Luna. Aku cuma mau wakilin pacar kamu aja. Siapa tau dia mau jemput. Karena yang aku liat tadi pagi dia udah rapi aja. Kayaknya beneran mau jemput kamu deh]

[Aku udah di taksi. Nggak ada yang kayak gitu]

Seperti apa kataku, aku memang sudah duduk di kursi belakang taksi yang baru kupesan. Bodo amat sama harga atau pengeluaranku. Aku sudah punya kartu debit Om Burhan. Sayang kalau di anggurin!

Baru saja turun dari taksi, anak-anak kampus lainnya sudah langsung menyorotiku dengan pandangan sinis mereka. Dan kuyakini, mereka dengan menggoreng habis-habisan namaku hanya untuk kepuasan literasi sampah mereka.

"Ih, jadi benar ya? Luna jadi simpanan Om-om?" bisik salah satu dari mereka. Suara itu memang samar, tapi sangat jelas ditelingaku.

"Kalau mau ngomongin, langsung ke orangnya aja dong. Ngapain pake ngumpet segala. Takut?" cecarku, tak segan melabrak perempuan yang kukenali masih dibawahku.

Bibirnya langsung menaik, sinis. Ditatapnya aku dari bawah hingga kembali ke wajah. "Dih, masih punya muka aja nampang di kampus. Emang ya, orang-orang yang udah gilak uang dan om senang, nggak akan malu lagi nunjukin mukanya dia. Ya iyalah, orang nunjukin kemaluannya sama suami orang aja nggak ada ragu lagi–awh!"

"Kalau ngomong, dijaga dikit!" kecamku usai memukul wajahnya dengan segumpal amarah. Dia langsung menjerit yang membuat orang-orang mulai berkerumun.

"Dasar nggak tahu diri! Udah bikin nama kampus jelek, lo masih bisa-bisanya lakuin kayak gini! Lo pikir hebat? Lo pikir gue takut, hah?"

Aku refleks meringis begitu dia menjambak rambutku dengan sekali hentakan. Selain kulit kepalaku yang sakit, leherku ikut berdenyut karena aslinya yang begitu tiba-tiba dan cukup kasar.

Tak terima, aku hendak membalas hal yang serupa. Namun, sebelum itu terjadi, sekelompok anak-anak kampus yang lainnya terdengar tertawa nyaring.

Aku menoleh, lantas mendapati teman-teman Raka yang keseluruhannya pria. Mereka semua berjalan pelan menghampiriku, dengan Raka yang terlihat sebagai pemimpin.

"Oh, jadi ini, Ka yang lo bilang bakalan jadi ibu tiri Lo? Betewe, bukannya kemarin kalian pacaran, ya?" ucap salah satu dari mereka.

Raka langsung tertawa renyah, seolah itu fakta konyol uang mengocok perut. "Pacar? Ibu tiri? Yang benar aja dong. Dia ini ibarat toilet umum.  Semua orang boleh masuk. Kadang nggak dicuci juga nggak masalah. Asal ada tipnya."

Diam-diam kukepal tangan, benar-benar murka mendengar ucapan Raka. Aku berusaha untuk tetap tenang, walau hati ini sudah laksana lava yang mendidih siap meratakan isi bumi.

Sadar ini akan berlangsung lama, aku lebih baik pergi. Melihat sorotan mata mereka, benar-benar mengikis pelan-pelan mental yang pertahankan.

Tidak! Aku tak boleh timbang. Aku tidak melakukan kesalahan yang besar sampai harus menekan sanksi sosial sebesar ini. Pasti ini hanya sebentar sebatas mengujiku saja. Ya, aku tahu Tuhan tak pernah tidur!

"Eh, eh, mau ke mana Lo?" tegur Raka, asing mendengarnya menyebutku tanpa kata 'kamu'. Ternyata kalimat sederhana itu pun mampu mengoyak hatiku. "Ke sini. Apa tadi gue bilang? Pake baju seksi. Jangan malu-malulah. Kalau di kamar nggak ada malu tuh."

"Raka, udahlah. Kamu mau sampai kapan sih–"

"Buka! Atau ...." Dia menekan kalimatnya, mengancamku.

"Widihhh, cuci mata gratisan nih?" celetuk si gondrong di dekatnya.

Raka menyeringai, tampak senang.

Aku yang meragu melakukan hal yang dia minta, seseorang justru dengan entengnya menarik blazerku dengan paksa sampai aku terkesiap sendiri lalu refleks menyilangkan tangan di depan dada begitu baju ketat yang kugunakan terekspos begitu saja.

"Lama banget! Kalau sama Om-om itu aja bukanya cepat!" cetus Kinah, sosok yang menarik blazerku tanpa permisi.

Ya Tuhan. Kuakui sekarang aku lemah. Aku tak bisa melawan mereka semua. Ini benar-benar mengerikan.

Tak terasa, aku mengigit bibir bawahku, menahan tangis. Mana pria itu? Katanya dia akan bertanggung jawab? Bedebah sialan! Omong kosong. Pria itu benar-benar menghancurkanku sampai tak bersisa.

"Busett, bening, Cok!" tukas lelaki di sana. Padahal mereka masih terbilang maba, tapi kelakuannya benar-benar tak menampilkan status itu.

"Ka, boleh coba sekali nggak?" tanya mereka lagi.

Kutatap mata Raka dengan segala emosi yang ada. Kuharap dia tahu, kalau tatapanku ini berisikan caci dan maki padanya.

"Bolehlah. Lagian, dia udah dibayar full sampe puas sama Omnya. Bebas aja kali mau minta. Gas aja. Nggak akan ada bedanya," sahut Raka, tanpa hati.

Tapi ... apa katanya? Sudah dibayar full? Jangan bilang kalau dia juga tahu kalau ayahnya memberikanku kartu debit. Kalau benar begitu, apa jangan-jangan kedua orang ini sedang mempermainkanku?

Apa Om Burhan yang menceritakan padanya kalau dia memberikanku kartu debit malam itu?

Sial! Bapak dan anak ini benar-benar sama saja. Sama-sama berhati iblis!

Saat aku diam, salah atau dari teman Raka mendekatiku. Aku berusaha mengelak saat itu mulai mengangkat tangan entah mau memegangi atau apa.

Aku menutup mata, takut-takut. Setelah beberapa detik tak kurasakan apa pun. Penasaran, kudapati Raka yang sudah ada di dekatku tepatnya di sebelah temannya.

"Jangan disinilah, Men. Banyak orang. Nanti gue kabarin kalau emang mau. Pagi ini, biar gue aja dulu. Oke," katanya, lalu menarik tanganku membawaku ikut bersama langkahnya.

Ya Tuhan. Apa lagi yang akan dilakuan Raka kali ini? Apa dia berniat macam-macam? Sungguh, tak akan kumaafkan jika dia memang berniat demikian.

___
Vote dan komen ya kalau udah baca. :) rawan typo karena sekali tulis langsung up. Rencana kalau udah tamat baru di revisi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang