Rasanya duniaku benar-benar runtuh mendapati aksi Om Burhan kali ini. Tak seperti kemarin, hari ini aku ingin sekali Tuhan segera mengambilku, menghadapnya.
Kutarik diri secepat mungkin, lalu melayangkan satu tamparan keras tepat di pipi kanan pria itu.
"Om!" pekikku dengan mata nyalang.
Dia hanya diam. Bahkan tak kutemukan raut wajah bersalah darinya. Menjijikkan sekali pria ini!
Usai tamparanku melayang, giliran suara gaduh yang menyerang telingaku. Refleks kepalaku menoleh, melihat ibunya Raka melempar satu piring keramik ke sembarang arah hingga serpihannya berserakan di lantai.
Aku semakin gemetar. Napasku rasanya tercekat di tenggorokan, seolah tenggelam di lautan yang dalam.
"Tante ...." Suaraku tak berlanjut ketika dia memilih pergi dari posisinya. Begitu pun dengan perempuan yang dipanggil Oma oleh Raka. Perempuan tua itu ikut beranjak dari tempatnya sambil berkata,
"Bereskan semua ini, Btara!"
Ya Tuhan! Tolong kembalikan aku pada hidupku yang kemarin. Tidak masalah dengan perut yang kelaparan. Itu lebih baik dari pada melihat keluarga orang hancur hanya karenaku. Bukannya Tuhan tahu, kalau bukan inilah niatku.
Tak siap hanya sampai di sana, rasa lebih baik ma ti kembali menghadapiku ketika pergelangan tanganku di tarik paksa oleh Raka hubgga aku terhuyung ke arahnya.
Setelahnya, kudapati dia menyiramkan satu gelas jus jeruk miliknya tepat ke wajahku.
"Raka!" teriak Om Burhan.
"Stop, Pa!" pekik anaknya. Tak kulihat bagaimana raut wajah keduanya saat ini. Aku lebih memilih diam dengan perasaan berkecamuk tak terima bersamaan lega.
"Kamu mau bantah Papa, Raka?" tegas Om Burhan terdengar mengancam.
Kakiku kembali terhuyung melangkah lebih dekat dengannya, tatkala dia kembali menarik tanganku. Kini, aku berdiri di sisi kiri lelaki yang lebih tinggi dariku namun lebih pendek dari ayahnya.
Dari jarakku, kudapati Ok Burhan dengan wajahnya yang merah padam.
"Papa tau, nggak? Papa itu menjijikkan! Persis manusia sampah!" tutur Raka, tak segan mengatai ayahnya.
Ya, benar. Aku pun setuju dengannya. Pria dengan pastur tubuh khas lelaki hoby ngejym itu memanglah manusia sampah!
"Terserah kamu mau bilang apa. Papa tegasin sama kamu, jangan ganggu Luna lagi. Biarkan dia. Kamu nggak suka sama Papa, benci Papa. Jangan Luna!" katanya, berupaya menenangkan putranya.
Raka mendengkus, merasa miris agaknya. "Pa! Di depan Mama, bahkan Oma, juga di depanku, apa Papa nggak malu melakukan itu? Kali ini Papa benar-benar kurang ajar! Papa nggak kayak di sebut seorang ayah bahkan seorang suami! Apa Papa nggak pernah mikirin gimana perasaan Mama, hah?"
Kurasakan cengkeraman tangan Raka kian kuat memegangiku. Kentara sekali kemarahannya susha berapi-api. Aku bahkan meringis, perih.
Tak kusangka Om Burhan akan berjalan cepat, lantas menggenggam pergelangan tangan putranya dengan tenaga yang lebih kuat.
"Sudah Papa bilang, kamu boleh benci Papa, tapi jangan siapa pun termasuk Luna!" katanya, lantas menarik tanganku hingga lepas dari genggaman Raka. "Naiklah. Bujuk Ibumu. Takutnya dia gantung diri di sana."
Bug!
"Raka!"
Aku memekik spontan kala mendapati dia dengan kuat menghantam wajah ayahnya sendiri sehingga Om Burhan nyaris terhuyung.
"Laki-laki menjijikkan! Laki-laki, Brengsek!" umpatnya. "Mulai detik ini, aku nggak akan anggap dirimu ini sebagai ayahku. Aku nggak su di punya ayah sepertimu!"
Suaranya menggema, mengeluarkan sumpah atas kesakitan yang dia rasakan. Dari wajah ayahnya, kini dia menatapku dengan kilat kemarahan di matanya yang benar-benar terpancar jelas.
"Dan kamu, Luna. Ingat ... mulai detik ini, kamu harus membayar setiap air mata ibuku. Menderitalah seumur hidupmu!" ancamnya, lalu berlalu meninggal keadaan yang sudah kacau balau ini.
Sebelum benar-benar melangkah jauh, dia sempat menendang satu kursi hingga berantakan.
Bahuku benar-benar jatuh, tak kuasa menahan semua ini. Bisa kutatap pantulan wajahku di lemari hias di depanku, lantas aku tertawa miris.
Sial! Perempuan di sana. Perempuan yang sedang kutatap itu benar-benar sukses menghancurkan keluarga orang lain? Apakah benar kalau aku memang seorang ...
Pelakor?
"Jangan takut. Raka nggak akan–"
Sebelum Om Burhan menyelesaikan ucapannya, lebih dulu kusirami dia dengan satu gelas jus jeruk dari atas meja. "Brengsek!" umpatku, lantas segera berlalu dari hadapannya.
Tentunya dari dalam rumah megah ini! Rumah ini memang luas, cantik, dan penuh dengan kemewahan. Sayang, satu sudutnya diisi sampah hingga keindahan yang terpampang tak sepenuhnya terasa nyaman.
Dengan deraian air mata, aku terus berjalan keluar. Aku benar-benar tidak percaya kalau keadaan sebesar ini bisa menghampiri hidupku yang sejak kemarin masih terasa santai. Dan aku pun belum menyangka, kalau aku penyebab seorang istri terluka hingga menangis.
Aku berjalan sendirian melintasi pekarangan rumah Raka. Tapi tidak setelah kurasakan tubuhku dibalut sesuatu yang membantuku langsung menghentikan langkah upaya menatap siapa dalangnya.
"Saya antar pulang. Ini sudah malam. Takutnya kamu dapat perlakuan yang sama seperti kemarin," ucap Om Burhan, benar-benar keterlaluan.
Aku semakin merasa miris dengan semua tindakannya ini. Kutatap dia dengan sejuta keheranan bahkan emosiku rasanya belum sepenuhnya pulih.
Kupukul sekali dadanya yang bidang. "Apa maumu, hah? Apa maksudnya semua ini!" teriakku, meminta penjelasan.
Dia diam sejenak. "Jangan pikiran apa pun. Ini salah saya. Harusnya saya nggak mengajakmu masuk ke dalam semua ini."
"Kalau gitu, stop! Aku udah bilang, kan kita nggak ada apa-apa? Kenapa Om terus aja mengikutiku? Kenapa, hah? Aku bukan perempuan murahan, atau perempuan yang bisa Om permainkan!"
"Maafkan saya. Saya hanya sedang mencoba memperbaiki segalanya. Termasuk hidupmu. Andai kamu nggak bertemu saya waktu itu, mungkin kamu sama Raka masih tetap berhubungan. Maaf telah menjadi perusak hubungan kalian."
Aku semakin tidak mengerti, apa sebenarnya maksudnya. Apa keinginannya? Dan apa tujuannya?
"Lucu nggak sih? Om berniat memperbaiki hubungan orang, sementara Om merusak hubungan sendiri bahkan bersamaan dengan hubungan yang coba Om perbaiki. Sebenarnya apa tujuanmu, Om? Kenapa kamu buat semua ini semakin rumit?"
Pupil mataku melebar begitu kudapati sepasang matanya memerah. Berembun, ingin menangis. Kulihat pula dia dengan sekuat tenaga meneguk ludah, seolah menahan isak tangis yang hendak keluar dari tenggorokannya.
"Saya bayar segala kerugian kamu. Nggak apa-apa. Kamu juga boleh membenci saya sama seperti Raka. Karena mungkin inilah yang pantas saya dapatkan. Saya nggak pernah berhak memiliki sesuatu yang benar-benar menginginkan saya," ungkapnya dengan suara bergetar.
Auranya yang kemarin tegar dan kuat, kenapa mendadak kudapati begitu lemah? Apa dia telah menyesali segala perbuatannya? Dan apa mungkin dia tak lagi bisa memperbaiki diri, sehingga lebih senang dibenci dari pada harus mencoba meminta sebuah maaf?
Detik berikutnya, kurasakan tubuhnya yang berisi tumbang ke pelukanku. Aku bergeming, mendadak saja diam seribu bahasa.
"Maafkan saya. Tapi ... kali ini benar-benar sakit. Dibentak oleh anak sendiri rasanya se-menyakitkan ini," adunya, lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Pelakor
RandomAku tidak pernah tahu, kalau lelaki yang kuajak cinta satu malam kemarin adalah ayah dari pacarku.