Bab 13

580 1 0
                                    

"Apa kamu bilang tadi? Pacar?" Dia lantas tertawa sumbang. "Pede banget, ya kamu bilang gitu? Nggak malu?"

Bahuku menegak serta pupil mataku membesar tatkala ucapan serta mimik wajahnya menyapa sepasang mataku. Aku masih terus berusaha mengerti apa maksudnya mengatakan demikian. Dan reaksi apa ini?

"A-apa ...."

Dia mengusap pipinya yang baru saja kupukul, lalu menatapku dengan sorot mata yang tak pernah kudapati sebelumnya.

"Dengerin ini baik-baik, Pe la kor!" katanya, membuat dadaku langsung berdetak kencang. "Kamu pikir aku suka sama kamu? Kamu pikir aku benaran cinta gitu? Nggak! Kamu nggak lebih dari perempuan perusak, yang juga harusnya dirusak!"

Tanpa perintah, tas besar berisikan barang-barangku lepas dari tanganku. Mataku masih terus melekat menatapnya tentunya dengan jantung yang beradu dengan detak jarum. Kuat sekali.

"Apa?" Nyaris suaraku tak terdengar. Aku bergetar, tak percaya mendengar pengakuannya.

Dia tersenyum miring, lalu meludah tepat di depanku. "Cih! Nggak kamu, nggak laki-laki itu, kalian itu benar-benar menjijikan. Kamu nggak liat gimana ibuku, Luna? Kamu nggak bisa ngerasain gimana sekiranya dia tahu kalau selingkuhan suamianya, pacar dari anaknya sendiri? Kamu nggak pernah mikir ke sana, ya? Hah!"

Jadi ini alasan dia mengatakanku demikian? Dia benar-benar menganggapku selingkuh ayahnya? Atau jangan-jangan sebenarnya dia yang menangkap basah diriku bersama ayahnya waktu di hotel itu?

Tapi ... bukannya itu berlalu cukup lama? Bahkan tak ada yang lebih dari sebatas itu yang kulakuan dengan ayahnya.

"Ka-kamu tahu apa, Raka? Hanya sepenggal cerita itu kamu bisa ngecap aku perempuan murahan? Kamu-"

"Stop!" selanya. Dia menunduk untuk menatap mataku lebih dekat. "Perusak kayak kamu, harus dikasih efek jera. Kalau nggak, kamu akan hancurin keluarga yang lain. Ayolah, Luna. Apa sih yang kamu liat dari suami orang? Padahal banyak lho yang mau ngasih kamu cuma-cuma pelayan yang pastinya lebih fresh dan pastinya bukan suami orang!"

"Raka, plis!"

"Sthhhh!" Dia mendesis, menyuruhku diam. Kulihat betapa kilat kemarahan beradu dengan kekecewaan dimatanya. "Diem! Nggak usah banyak bicara lagi. Karena mulai detik ini, kamu harus bayar setiap sakit hati ibuku, Luna. Air matanya hari terbayar! Dan kamu, nggak bisa pergi sebelum semua lunas!"

"Dengarin aku sebentar, Raka. Aku sama Om Burhan-"

Dia tertawa sumbang, lagi dan lagi. Ketara sekali dia mengejekku, tapi kulihat dia pun terluka karena itu. "Om Burhan? Bahkan dengan nama samaran itu pun, kamu masih bisa melayaninya dengan sepenuh hati? Hina sekali kamu ini, Luna."

Seketika saja kuingat tentang insiden di mana aku dijambak oleh ibu-ibu waktu itu. Dengan jelas kudengar kalau perempuan itu menyebut Om Burhan dengan nama lain.

Ternyata benar, nama Burhan itu samaran?

"Aku ... aku nggak niat apa pun, Raka. Aku benar-benar nggak tahu kalau dia itu-"

"Bayar semuanya!" potongnya dengan nada ancaman. Dia mengeluarkan ponselnya, lantas menunjukkan padaku sebuah video.

Begitu terputar didepan mataku, aku langsung saja membeliak tatkala video itu mempertontonkan bagimana Om Burhan membawaku masuk ke dalam kamar kosan.

"Turuti mauku atau kusebar video ini. Kamu bisa aja kena sanksi sosial lebih parah dari ini, atau mungkin juga di do dari kampus," ucapnya, berakhir mengancamku.

"Itu nggak benar, Raka! Kamu juga tahu apa yang terjadi malam itu, kan? Itu juga ulahmu. Kamu yang masukin obat ke dalam minumanku!" pekikku, benar-benar tak terima dengan perlakuannya ini.

"Pilihan kamu hanya dua. Iya, atau mati dengan segala cacian orang-orang!" sergahnya, benar-benar mengabaikan kata-kataku tadi.

"Raka, kumohon! Jangan kayak gini. Kamu tahu aku nggak pernah godain siapa pun, apalagi ayahmu. Waktu itu aku hanya kepepet. Aku bahkan nggak tahu kalau dia udah-"

"Mulai besok turuti segala ucapanku!" selanya, benar-benar tak peduli dengan sanggahanku. "Oh nggak! Mulai detik ini. Nanti malam, datang ke rumahku. Aku mengadakan makan malam dan mengundang pacarku, eh maksudnya pacar ayahku ikut bergabung. Jangan lupa, pakai baju yang bagus bila perlu baju yang kamu gunakan setiap melayani pacarmu itu!"

"Raka, tolong!" Aku langsung menggapai lengannya yang hendak berlalu. Kutatap dia dengan mata basah ini. "Tolong jangan kayak gini. Aku bisa jelasin tengang waktu itu. Aku benar-benar nggak niat apa-apa, Raka. Itu semua kebetulan!"

Dia menarik tangannya, membuat tanganku terlepas begitu saja. "Aku nggak butuh penjelasanmu. Lagi pula, bukannya udah aku bilang ya? Kamu itu cuma sebatas umpanku, agar pria yang kamu layani itu bisa bertaubat! Kali ini, harus kulihat dia berlutut di depan ibuku sambil menangis darah!"

Dia mendesis mengatakan semua itu, terkuat betapa emosinya menguasai diri. Bahkan kuliat matanya memerah, tampak kecewa. Entah kenapa, bisa kurasakan kesakitan yang dia rasakan. Tapi, kau pun demikian. Aku tak bermaksud berbuat apa-apa, apalgi harus merusak rumah tangga orang lain.

Itu diluar dugaanku.

Dia lantas pergi berlalu, meninggalkanku dengan sejuta kepedihan. Aku hanya bisa menangis, mengutuk diriku sendiri.

Jika kutahu beginilah akhirnya, aku akan lebih memilih mati kelaparan waktu itu dari para harus mati dengan keadaan yang seperti ini. Andai bisa kutebak apa yang akan terjadi setelah keputusan gilaku itu, lebih baik aku pulang dan mengatakan pada ayah ibuku, kalau anaknya ini gagal di dunia perang ini.

Tapi ... semuanya terlambat. Aku tak bisa memprediksi kalau semua ini akan terjadi.

Ditengah tangisanku, aku mendapatkan pesan singkat dari Raka. Dia kembali mengingatkanku dengan video itu. Aku benar-benar frustrasi, ingin rasanya berteriak sambil memukuliku semua yang ada di hadapanku demi melupakan emosi ini.

Sial!

***
Aku sudah siap dengan demi dres warna hitam berlengan panjang. Syukurnya aku masih mendapatkan satu kosan yang benar-benar jauh dari banyak orang. Sepi dan damai. Walau awalnya aku takut karena memang suasananya sepi, tapi lebih tenang dari pada harus menerima olokan orang-orang.

Di sinilah aku sekarang. Tepat di depan rumah Raka yang mana dia menyuruhku untuk datang. Katanya dia mengadakan acara makan malam keluarga.

Aku harap, dia tidak bertindak gegabah. Karena bagimana pun, aku tetaplah menghormati ibunya juga keluarganya.

"Eh, udah di sini kok nggak langsung masuk?" seruan itu membuatku terendah dari lamunan. Raka dengan wajah penuh senyumannya menarik tanganku, membawaku masuk ke dalam rumahnya.

"Eh, siapa itu, Raka? Kok Oma baru liat?" tanya seorang wanita tua yang belum pernah kutemui sebelumnya.

Dan baru kusadari, kalau ini bukanlah acara makan malam biasa, melainkan keluarga besar. Berbeda dari yang kuhadapi beberapa hari lalu di rumah Raka yang tampak sunyi dan sepi, kali ini lumayan ramai.

"Oh, dia ini Luna, Oma. Pacar Papa."

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang