Bab 8

126 2 0
                                    

Lelaki itu sudah masuk ke dalam mobil tepatnya di balik kemudi. Tanpa kata, dia langsung menyalakan mesin mobil lalu tancap gas meninggalkan tempat ini.

Aku yang tak sengaja duduk di kursi sebelahnya, diam-diam mencuri pandang. Entah kenapa auranya jadi horor. Padahal tadi aku yang berniat membalas wanita kurang ajar itu, tapi justru dibuat penasaran dengan kisah hidup lelaki ini.

Sebenarnya, siapa dia? Om Burhan? Atau Btara seperti yang disebutkan wanita tadi?

"Hubungi Raka buat jemput kamu. Saya turunkan di halte," katanya, membuyarkan lamunanku.

Aku tak menjawab. Aku lebih tertarik menelisik wajahnya dari sisi yang bisa kulihat, demi menebak kehidupannya.

"Maaf tentang yang tadi. Jangan kamu pikirkan," katanya lagi, kali ini membuatku kian berdebar.

Kukira dia laki-laki yang keras hati sampai tak mempedulikan untuk hal-hal yang seperti ini. Ternyata dia masih tahu caranya mengaku salah.

"Pak ... sebenarnya-"

Mobil yang berhenti tiba-tiba membuatku urung melanjutkan ucapanku. Begitu kulihat lelaki ini, dia pun menoleh yang tentunya langsung kudapati wajah matanya yang indah. "Cintailah anak saya. Jangan sakiti dia. Tugas kamu selesai. Kamu lulus seleksi dari saya," katanya mengungkap hal yang belum kupahami.

"Ma-maksudnya apa, Pak?"

"Pekerjaan kamu ini hanya tipuan. Sebenarnya saya hanya ingin mencoba mencari tahu, apa perempuan yang dekat dengan putra saya benar-benar mencintainya atau hanya menginginkan uangnya saja. Ternyata kamu juga mencintainya," jelasnya tentang semua yang terjadi.

Jadi, sedari tadi aku hanya sedang diuji?

Sial! Kenapa aku tak menyadari ini? Bagaimana bisa dia melakukan itu tanpa kucurigai sama sekali?

"Ja-jadi, saya hanya sedang di uji, Pak?" beoku, berharap apa yang kupikirkan tidak lagi salah.

Dia mengangguk. "Untuk hal yang tadi, itu di luar rencana saya. Jangan ambil pusing. Biaya kerugian kamu nanti saya transfer."

Padahal dia berniat baik, tapi kenapa aku malah kesal?

Dan apa-apaan pula dengan perasaan ini? Kenapa jadi ambigu seperti ini? Aku kesal, tapi kesal karena apa? Aku tak terima, tapi jelas-jelas Om Burhan sudah meminta maaf untuk insiden itu? Lalu, di bagian mana aku yang tak terima?

"Turunlah. Hubungi Raka. Kamu boleh katakan kalau kita bertemu, tapi jangan ceritakan tentang hari ini. Saya nggak mau kalian bertengkar karena saya," ucapnya lagi, kali ini mendesakku turun.

Tumben bibirku tertutup rapat layaknya para tikus kantor yang baru disuap. Padahal lebih enak kalau berbicara tanpa rem, tapi kali ini aku mendadak diam seribu bahasa.

Tak lagi bisa mengutarakan kata-kata, aku pun menurutinya untuk keluar dari mobil. Tapi sebelum itu, aku menyempatkan menatapnya hingga aku menemukan kilat cinta seorang ayah terhadap anaknya.

Se-tulus itulah dia pada putranya? Padahal jelas-jelas kalau Raka itu terlihat menyepelekannya, bahkan tak segan-segan berkata dengan lidah yang tajam.

Tapi alih-alih ikut membenci seperti yang dilakukan putranya, dia justru berlaku kayaknya seorang ayah yang tak mau putranya terluka.

Apa mungkin benar ya? Kalau pria ini sebenarnya breng5ek sehingga membuatnya menerima begitu saja perlakuan buruk anaknya demi menebus dosa?

Begitu aku keluar, tanpa kata lagi dia langsung melintasiku, pergi begitu saja. Kutatap punggung mobilnya yang kian menjauh, entah kenapa aku tiba-tiba merasa tertarik ingin masuk lebih dalam tentang dirinya.

Namun, begitu fakta yang tidak bisa kubantah melintasi cepat isi kepalaku, gegas saja aku menggeleng, mengusir pikiran kotor yang sempat kutuhankan.

Tidak! Jangan dulu. Aku ini masih muda, cantik dan tentangnya le git. Harusnya seleraku lebih tinggi mau itu dari Raka, atau pun bapaknya.

Siap dengan segala sesuatu tentang Om Burhan, aku pun menimbang-nimbang apakah Raka mau datang menjemputku? Jarak ini lumayan. Tapi, jika tidak dengannya, dengan apa lagi aku bisa pulang?

Meski tampak merendahkan diri, aku pun memaksa mengirimkan pesan padanya, meminta di jemput seperti apa yang dititah ayahnya.

Kukira pesanku akan dibiarkan mengingat tadi aku sempat mengabaikannya bahkan mengakhiri panggilan begitu saja. Nyatanya tidak. Berselang beberapa detik saja, pesanku langsung di balas.

[Jangan ke mana-mana, ya? Tunggu aku.]

Bukankah terdengar hangat balasan pesan itu? Kenapa aku jadi merasa bersalah padanya jika memang benarlah kalau dia sungguh menganggapku seorang kekasih?

Aku pikir selama ini dia pun hanya memanfaatkanku.

Ah! Perempuan indah dan cantik sepertiku jadi pusing juga berada di posisi ini. Apa aku salah mengambil langkah ya?

Sekitar nyaris setengah jam aku menunggu, akhirnya mobil sedan milik Raka sudah menyapa sepasang mataku. Aku memaksa tersenyum, entah kenapa rasanya jadi canggung begitu kudapati dirinya yang sudah keluar dari mobil.

"Luna, kok jauh banget sih kamu ke sini? Harusnya ngomong dari awal biar nggak nungguin lama gini," ujarnya sembari mendekat. Dia bahkan mengusap rambutku, seperti kebiasaannya.

"Ya gitulah, Raka. Namanya juga insiden dadakan. Jadi nggak bisa dikendalikan," kilahku. Tak ingin membahas apa sebenarnya yang sudah terjadi.

Dia mengangguk-angguk. Kurasa mengerti dan memahami. "Kenapa rambut kamu? Kok berantakan gini sih, Ay?" Aku refleks merapikan dengan tangan, tiba-tiba takut kalau Raka menyadari insiden tak terduga tadi.

"Eh, nggak tau nih. Mungkin karena anginnya kali, ya? Kencang banget, Ka."

"Ck! Makanya kalau ke mana-mana, panggil aku. Ajak aku. Libatkan aku dalam hidupmu. Bukannya aku ini pacarmu, ya? Atau aku aja yang ngangap gitu?" serangnya, yang langsung saja menembus dadaku hingga darahku berceceran rasanya.

Langsung saja kutatap dia yang memang mewarisi pahatan wajah Om Burhan. Aku tak akan berbohong, anak dan ayah ini memang sangat tampan. Hanya saja, Raka masih terlihat belia dimataku, sedangkan ayahnya memang cocok untuk dijadikan penyanggah tubuh yang lelah.

Astaga! Bisa-bisanya aku masih memikirkan hal gi-la itu bahkan saat dengan bersama Raka? Akulah memang wanita mura-han itu.

Aku memaksa kedua sudut bibirku terangkat, membentuk senyuman. "Aku cuma nggak mau repotin kamu, Ka. Aku juga segan kalau setiap ada masalah aku minta tolongnya sama kamu."

"Bukannya emang harusnya gitu, ya? Kita pacaran, kan, Luna?" tegasnya tak lupa menatapku dengan tatapan penuh pengharapan.

Aku memaksa mengangguk, walau rasanya berat. "I-iya dong. Emang gitu kan konsepnya hubungan kita?"

Dia langsung tersenyum, tak lupa menepuk pipiku, lembut. "Aku mikirnya kamu udah bosan sama aku." Aku hanya mengembangkan senyum. "Oh iya, apa tanggapan Papa tentang kamu? Apa dia banyak tanya?"

"Hum?" Tentu aku langsung mendongak tatkala dia menyinggung tentang ayahnya. "Kamu tahu aku ketemu Papa kamu?"

"Eh ...." Dia tak langsung menjawab. Bola matanya bahkan saling mengejar satu sama lain, seolah-olah dia sedang berpikir jawaban apa yang tepat. "I-iya. Aku tahu."

"Kok bisa?"

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang