Bab 9

716 9 0
                                    

"Eh ... yuk masuk dulu ke mobil. Kita jalan. Udah sore, mana kau ujan lagi," ajaknya, menunda menjawab pertanyaanku.

Benar juga apa katanya. Tanpa kata, dia langsung menarik tanganku, kini aku duduk di kursi sebelah kursi kemudi. Kutatap dia yang berjalan melewati depan mobil, hingga isi kepalaku kembali dibawa pada momen yang sama bersama Ok Burhan.

Jujur saja, entah kenapa aku lebih tertarik berduaan dengan bapak-bapak itu dari pada anaknya ini. Walau Om Burhan ketus dan kadang irit bicara, tapi setidaknya aku bisa jadi diriku sendiri alih-alih jadi perempuan lugu dan polos untuk anaknya.

"Mau langsung pulang nggak? Aku kita nongkrong dulu?" tanya Raka begitu dia masuk.

Lamunanku langsung terpenggal begitu saja, refleks menatapnya yang mengembalngkan senyuman. "Eum ... aku mau langsung pulang aja gimana? Nggak apa-apa, kan, Ka?"

Dia mengangguk-angguk sembari menyalakan mesin mobilnya. "Boleh. Oh iya, emang nggak bisa ya kamu ubah panggilan kamu ke aku? Rasanya aku kayak di panggil kakak gitu. Aku ini, kan pacar kamu."

Aku refleks terkekeh hambar, mendadak rasa canggung itu kembali muncul. Padahal aku sudah cukup lama bersama Raka, tapi kenapa baru ini aku merasakan hal aneh bersamanya?

"Eh ... ih apaan, sih? Kayak kita anak baru gede aja pake ada nama panggilan segala." Kucoba mencarikan suasana.

"Ya, kan aku juga mau. Pengen dipanggil sayang sama kamu. Jadi aku nggak ngerasa kamu cuma manfaatin aku aja," ungkapnya.

Alih-alih menerima, aku justru mengernyit, tak terima dengan pengakuannya yang kurang enak. Apa selama ini dia menganggapku demikian? Lalu jika memang begitu, apa dia tidak menarik diri kalau dia pun hendak memperlakukanku begitu? Memanfaatkanku untuk kepentingan pribadinya?

"Kok kamu mikirnya gitu?" tanyaku, pastinya dengan nada sedikit ketus.

Akhirnya mobil berjalan, tak lupa rintikan hujan mulai membasahi jalanan. "Aku bercanda, Sayang. Cuma berprasangka aja. Nggak niat nuduh kok."

"Aku, kan nggak nuduh kamu. Aku cuma nanya, kenapa kamu mikirnya gitu?"

Kutatap dia yang cengengesan sembari menggaruk tengkuknya. "Gini nih akibatnya kalau salah ngomong sama cewek. Bisa dibahas sampe Papa aku nggak main perempuan lagi," ujarnya, niat berseloroh malah menyelipkan kalimat kurang sopan tentang ayahnya.

"Kamu lagi berusaha nyindir siapa sih? Aku atau ayahmu? Oh iya, kamu juga belum bilang lho tentang kenapa kamu tahu aku sama Papa kamu ketemu? Dari mana kamu tahu?"

Semakin dia berbicara, entah kenapa aku semakin tak senang. Setiap ucapannya menyimpan banyak rahasia. Aku yang hobinya mengorek informasi yang tidak penting sekali pun, jadinya tertarik untuk mencari tahu tentang keluarga ini.

Dia terkekeh pelan, mungkin upaya mengusir kecanggungan. "Aku udah bisa nebak. Papa itu tipe ayah yang over protektif. Pasti dia lagi nguji kamu, kan apa benar kalau kamu sayang aku tulus tanpa pamrih? Sebenarnya dia juga lakuin ini sama cewek-cewek yang sebelumnya dekat sama aku," ucapnya, mengetahui segala yang terjadi.

Jadi, dia tahu semuanya? Tapi, kenapa tadi dia pura-pura tidak tahu tadi?

Tapi tunggu! Apa katanya tadi? Setiap perempuan yang dekat dengannya akan mendapat sikap ini dari ayahnya?

"Tapi, Ka. Bukannya kemarin kamu bilang aku ini cinta pertamamu dan aku pacar pertamamu. Lalu, siapa perempuan yang kamu maksud?" Aku menatapnya yang fokus pada jalanan, benar-benar menunggu jawaban untuk tanyaku.

"Eh, iya, ya? Aku ngomongnya gitu ya kemarin? Duh, kayaknya aku emang tergila-gila deh sama kamu sampai aku ngarang cerita kemarin. Maaf, ya, Sayang? Aku nggak maksud kok buat bohongin kamu. Lagi pula, itu kan udah lama. Kita bahas hari ini dan masa depan, ya? Nggak usah bahas-bahas hal yang udah berlalu."

Penjelasan yang benar-benar memuakkan! Sikapnya sungguh lantas untuk usianya. Benar-benar membuat geli.

Ingin rasanya aku mengumpatinya, tapi itu tak mungkin. Aku masih butuh dia. Alhasil, aku membuang wajah, jengah pula lama-lama. Lebih baik aku diam, daripada harus makan hati berbicara dengan anak sulung kaya raya dan sombong ini!

Aku tak lagi merespon. Aku lebih memilih menyamankan diri di kursi mobil, sampai aku tak sadar kapan agaknya aku tenggelam ke dalam alam bawah sadar.

Aku tersadar begitu mobil berhenti yang entah dari kapan. Aku mengerjap-erjap, berusaha membangkitkan nyawa yang sempat hilang dari raga. Kulihat sekelilingku, rupanya Raka tak ada lagi ditempatnya.

Gegas saja aku langsung keluar, dan mendapati kalau di depan sana kos-kosanku sudah terlihat.

"Kamu udah bangun?" seru Raka dari belakang.  Refleks aku berbalik, lantas mengembangkan senyuman. "Aku beli air sama makanan ringan," lanjutnya sambil menyodorkan kantungan belanjaan padaku.

"Eh, nggak perlu, Ka. Ini–"

"Aku ini pacar kamu!" selanya dengan mata menyipit. "Masih nolak? Aku ci um ntar!" lanjutnya, malah kian menjadi-jadi.

Sialan adek-adek ini! Bisa-bisanya dia berkata begitu padaku! Apa dia pikir aku akan tergoda? Ck! Bapaknya jauh lebih membara.

Demi menghargainya, aku dengan centilnya memukul lengannya pelan. "Thanks, ya?" Aku menerima pemberiannya.

"Oke. Aku langsung balik, ya? Langsung tidur lho. Kamu kayaknya udah capek banget."

Aku mengangguk-angguk. "Iya. Sekali lagi, makasih ya? Aku masuk duluan. Udah malam, segan sama orang-orang. Nanti mikirnya kita aneh-aneh lagi."

"Kayaknya boleh tuh," balasnya sambil menaik turunkan kedua alisnya.

"Raka!" Aku mengancam dengan mata menyipit.

Dia akhirnya terkekeh. "Bercanda. Gih, masuk. Aku juga mau langsung pulang. Takut Mama nyariin."

Aku lantas berjalan, begitu pun Raka yang ikut langsung masuk ke dalam mobil. Begitu dia menjauh, aku akhirnya bisa menghela napas, lega.

Sembari merogoh air di dalam kantungan kresek ditanganku, aku masih belum bisa lupa tentang kata-kata Raka waktu di mobil tadi. Kenapa segala ucapannya rasanya banyak yang janggal? Tidak sinkron rasanya. Seolah-olah dia selangkah lebih maju dariku tentang perjalanan hidupku sendiri.

Begitu siap aku meneguk setengah air mineral ditanganku, tiba-tiba ponselku bergetar. Menandakan panggilan masuk. Gegas saja kuperiksa siapa agaknya yang menghubungiku hampir tengah malam ini.

Mataku yang tiba-tiba berat, entah kenapa langsung membeliak begitu mendapati nama Om Burhan ada di layar ponsel. Tapi ... kenapa tiba-tiba aku merasa penglihatanku mengabur?  Dan, kenapa pula aku mendadak pusing? Apa yang terjadi?

Sempat kugulir tombol hijau untuk menjawab panggilan Om Burhan, tapi sebelum menjawabnya, aku refleks memutar tubuhku ketika kurasakan seseorang memegangi bahuku dari belakang.

"Si-siapa kalian?" tanyaku, tak bisa menahan rasa sakit yang semakin menyerang kepalaku.

"Oh, jadi ini katanya ani-ani yang lagi viral itu? Cantik juga. Boleh nih ikut icip. Masih kencang, kan?" ujarnya, entah apa maksudnya.

"Pergi nggak? Aku nggak segan-segan buat teriakin kalian maling!" ancamku, alih-alih terlihat benar-benar berani, aku malah berakhir sempoyongan, tak kuat menahan beban kepalaku sendiri.

Kenapa aku? Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba aku seperti ini?

"Sini, Sayang. Mainnya sama kita, ya? Udah nggak tahan, ya?" katanya, yang baru kusadari kalau salah satu dari mereka adalah pria berbadan tegap yang kerap kudapati diujung gerbang kosan.

"Pergi! Pergi, nggak!" ancamku.

"Luna!" Kudengar suara Om Burhan. Padahal dia hanya berseru lewat ponsel, tapi kenapa aku merasa suaranya begitu dekat?

Ah ... entah kenapa aku jadi menginginkannya. Aku ... tiba-tiba menginginkan sesuatu yang seharusnya belum boleh kulakukan. Ada apa ini? Kenapa aku tiba-tiba merasa ingin sekali di ... sentuh.

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang