Bab 10

780 7 0
                                    

Tentengan yang kugenggam tak lagi dapat kupegangi kuat sehingga terjatuh begitu saja. Aku kian merasa pusing, bahkan hampir tak mampu menghindar dari dua lelaki berbadan gempal di depanku ini.

"Heiii, belum mulai kok udah ma buk aja?" katanya, yang aku tak tahu yang mana yang berbicara.

Dengan sekuat tenaga, aku menepis tangan pria ini yang mencoba memegangi bahuku. "Lepas!"

"Jangan galak-galak, atuhh!" goda mereka lagi.

"Sedang apa kalian?!" gertakan suara yang baru saja terdengar, membuatku memaksa membuka mata walau kini penglihatanku mulai mengabur.

Aku terus mengerjap-erjap, rasanya tak percaya kalau yang baru saja muncul mengenakan kemeja putih di depanku adalah Om Burhan.

Aku menatap ponsel yang kugenggam, dan mauah mendapati panggilan suara yang masih terhubung. Ah ... apa aku sedang berkhayal dia ada di sini? Dan ... kenapa sih aku ini? Apa yang salah denganku? Kenapa tiba-tiba aku merasa seperti diracuni begini?

Bug!

Suara pukulan yang terdengar kuat membuatku refleks menoleh. Sepasang mataku langsung membeliak, tatkala kudapati pria dengan kemeja putih itu menghantam pria berbadan gempal yang sempat menggangguku.

"Pergi kalian! Apa kalian nggak malu melakukan ini pada perempuan? Apa perlu saya laporkan kalian?" gertaknya kembali.

Tak lama, kedua orang itu langsung bangkit dan gegas menjauh dari hadapan lelaki di depannya. Ponsel ditanganku yang terjatuh, menjadi pertanda berapa aku tak kuat lagi menopang diri dari rasa pusing ini.

Kepergian kedua lelaki berbadan gempal itu mengundang sepasang mataku untuk menoleh sampai di mana-samar kulihat mobil sedan yang langsung melaju kencang dengan plat yang sangat akrab dikepalaku.

Raka? Bukannya tadi dia sudah pamit pergi?

Ah! Aku tak tahan lagi.

"Luna!"

Itu suara pekikan yang terkahir kudengar sebelum aku benar-benar tak ingat lagi tentang apa pun.

Sudah setengah jam yang lalu aku membuka mata dan terus berusaha mengingat kejadian malam itu. Sayang, aku tetap tak mengingat apa-apa. Aku hanya terus berprasangka apa benar kalau yang datang tadi malam itu Om Burhan? Dan yang memapahku masuk ke dalam kosan, juga beliau?

Ah, tapi itu tidak mungkin. Bagimana mungkin bapak-bapak itu mau melakukannya? Dan, apa pula alasannya datang menemuiku malam-malam?

Mungkin saja orang komplek ini yang membantuku. Ya, itu lebih masuk akal dari pada yang terus kubayangkan.

Siap dengan segala bayang-bayang tentang kejadian malam itu, aku pun bangun dan bergegas memulai hari. Hendak bangkit untuk melakukan aktivitas, aku menemukan kantung belanjaan serta botol air yang sempat di berikan Raka padaku tadi malam terletak di dekat kasurku, tepatnya di lantai.

Aku anak kos. Aku tak pakai dipan. Kasurku langsung menyatu dengan lantai.

Yang membuatku tertarik menatapnya, karena aku tiba-tiba curiga satu hal. Apa jangan-jangan yang membuatku pusing tadi lama itu karena air yang diberikan Raka?

Apa sebenarnya dia mencoba mengerjaiku? Karena aku juga ingat, dia masih berada disekitarku pada saat lelaki gempal itu mengacaukan malamku.

Segala persepsi itu mengajak tanganku langsung merebut botol minum yang sudah habis sepenuhnya. Kuendus aroma dari dalamnya, untuk meyakinkan sesuatu.

Tidak ada aroma apa-apa.

Aku kembali memeriksa dengan melihat dengan detail isi air dari luar botol. Tapi, tetap saja bening dan tak terlihat hal-hal aneh. Apa aku hanya soudzon saja ya?

Ck! Lama-lama aku memang gila.

Entahlah. Aku merasa akhir-akhir ini hatiku agak berantakan. Padahal biasanya datar-datar saja.

Mengabaikan tentang botol air, aku kembali berniat pergi untuk siap-siap. Walau tak ada mata kuliah hari ini, bukan tak apa jika mandi dan bersih-bersih. Aku ini gadis paling produktif. Jadi, aku tak akan menyia-nyiakan waktu gratisku hanya untuk rebahan semata.

Ya, itukan isi kepala seharian setelah tidur dengan gaya andalan. Tidak masalah tak terealisasikan. Namanya juga manusia.

Hendak melangkah, suara denting ponsel mengehentikanku. Lihatlah bagaimana alam menyetujui kalau aku seharusnya tiduran saja dari pada harus bergerak sana-sini.

Kurebut ponsel, siap memeriksa pesan siapa yang muncul. Sepasang mataku yang tadinya lemas, letih, lesu, langsung membeliak begitu mendapati pesan dari Om Burhan.

Lihatlah hati murahan ini. Kenapa dia langsung berdebar? Padahal pesan itu dari suami orang. Astaga!

[Kamu sudah bangun, Luna? Saya semalam sudah izin sama ibu kos kamu buat bantu kamu masuk ke dalam kamar. Maaf kalau tindakan saya agak keterlaluan.]

Begitu membaca pesan singkat itu menyapa sepasang mataku, langsung saja tubuhku terjatuh hingga kembali tergeletak di atas kasur.

Mendadak aku meringis, tatkala menyadari kalau sebenarnya yang kubayangkan sejak tadi benar-benar nyata adanya. Ternyata benar kalau Om Burhan yang membantuku?

Ah sial! Kenapa aku harus tak sadarkan diri? Harusnya aku pura-pura saja agar aku bisa merasakan perlakuannya. Pasti manis sekali. .

Sayang sekali.

[Kamu sudah lebih baik? Sebenarnya saya datang malam itu mau mengembalikan tas kamu yang ketinggalan di mobil saya. Saya takut kamu sibuk mencari.]

Pesan baru muncul kembali. Gegas kubaca tanpa menunggu lama, lantas tahu apa alasan dia datang padaku.

Setelah lama diam, aku pun akhirnya membalas pesannya.

[Saya udah nggak apa-apa, Pak. Makasih ya udah bantu saya.]

[Lain kali jangan menerima barang atau apa pun dari orang asing. Semoga ini bisa menjadi satu pelajaran untuk kamu. Lagi pula, kenapa nggak minta Raka nunggu kamu sampai masuk ke dalam?]

Kata-katanya membuatku mengernyit bingung.

[Maksudnya apa ya, Pak?]

[Botol minum kamu mengandung sesuatu yang nggak baik. Kayaknya pemuda itu memang berencana mencelakaimu. Lain kali, lebih hati-hatilah. Jangan sampai anak saya galau karena kekasihnya nggak bisa jaga diri.]

Bahuku langsung tegang, refleks bangun kembali dari tidurku begitu membaca pesan jawaban dari Om Burhan.

Mataku langsung membeliak menatap botol minum yang sempat kucurigai. Jadi, benar kalau dalang dari insiden kemarin bermula dari air itu?

Dan yang memberikanku air itu tak lain adalah ... Raka. Apa niat pria itu sebenarnya padaku? Apa jangan-jangan dia ...

"Luna! Lun!"

Aku terkesiap tatkala suara ketukan pintu beradu dengan seruan memanggil namaku. Langsung saja aku gegas bangun, siap melihat siapa yang agaknya tak sabar bertemu.

Begitu kubuka pintu–tak pernah kubayangkan kalau aku akan mendapatkan kejutan seperti ini. Tanpa kata, orang yang berada di balik pintu kamarku langsung menyerangku dengan seember air hingga aku berkahir basah kuyup.

"Benar-benar ya! Kamu ini ternyata polos diluar, pro didalam!" pekiknya, membuatku cepat-cepat lepas dari dinginnya air yang membungkus diriku baikan lantai kamarku langsung terasa banjir.

"Buk Ayu?" Aku menyinggung tentang perempuan yang mengataiku yang tak lain ibu kosku.

"Keluar kamu dari kosan saya! Saya nggak terima ada pe lakor yang hidup damai di dalam fasilitas saya!" bentaknya kemudian.

Aku tak tahu apa yang terjadi sampai rasanya aku bergeming ditempat, linglung sejenak. Sampai dia kembali berujar dengan kalimat yang lebih sakit dari sebelumnya,

"Memang ya, kalau udah kegatelan nggak akan ada obatnya lagi. Kamu harusnya kasihan sama istri sahnya! Kamu itu perempuan tapi lupa sama hati perempuan lainnya. Padahal masih banyak ba tang yang nggangur di luar sana. Tapi tetap aja harus ba tang suami orang yang kamu embat!"

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang