Kepalaku langsung meneleng menatapnya yang baru saja mengatakan hal yang tak terduga. Dari wajahnya, kualihkan pandangan ke arah orang-orang yang duduk di meja makan di depan sana termasuk Om Burhan.
Ah, aku lupa siapa nama aslinya.
"Raka!" tegur Ibunya membuat atmosfer kurasakan semakin tegang. "Kamu becanda terus. Suruh Luna masuk."
Napasku yang tadinya tercekat di tenggorokan, diam-diam berhembus lega. Kulihat Raka yang langsung cengengesan, yang entah apa maksud dari tindakannya ini.
"Ya ampun, Raka. Oma sampai kaget tadi. Kamu kalau becanda jangan keterlaluan dong," ucap wanita yang disebut Oma oleh Raka.
Sambil berjalan, kulirik sekilas Om Burhan yang sedang duduk diam tanpa bicara atau bahkan basa-basi seperti orang-orang. Begitu Raka menarik kursi untukku, aku langsung mengalihkan pandangan padanya.
Sorot mata itu benar-benar berisikan ancaman. Sulit sekali menemukan dia yang dulu. Lelaki yang kuanggap polos dan lugu, bahkan konyolnya kuanggap dia mencintaiku. Nyatanya, aku hanya tumbal untuk dia bisa membalas ayahnya.
Sial! Aku terkecoh lagi.
"Dia Luna, Oma. Sebelumnya dia pacar Raka. Tapi nggak lagi hari ini," ucap Raka begitu kami duduk mengisi tempat yang kosong. Jantungku kembali berdebar kencang. Apalagi kali ini tujuannya?
"Lho, kok gitu?" Ibunya menyahuti. Tampak kaget.
Diam-diam aku mengutuk diriku, benar-benar menyebalkan aku ini. Lihatlah perempuan cantik itu, dia benar-benar sosok istri yang polos dan setia. Tapi dengan mudahnya aku menyakitinya. Aku memberikan luka padanya melalui pria yang dia hormati.
"Namanya juga pacaran, Ma. Pasti ada ending dari itu. Kalau nggak putus, yang nyambung," jelas Raka.
Aku hanya diam. Sedari tadi hanya ibunya yang berusaha mencairkan suasana. Sementara orang-orang yang lain memilih diam. Alih-alih lebih tenang, ini lebih menegangkan bagiku. Apalagi melihat pahatan wajah lelaki tua yang kuyakini suami dari Oma Raka ini. Auranya benar-benar menyeramkan sekali. Mirip tokoh-tokoh drama Korea yang kerap kutonton.
"Terus sekarang gimana?" tanya ibunya lagi.
"Ya nggak ada, Ma. Dia katanya mau datang ke rumah. Katanya mau ketemu Papa gitu. Eh, gitu nggak, Lun?"
Pria ini benar-benar menyebalkan! Berulang kali jantungku nyaris terlempar dari tempat perkara ucapannya yang terus diliar perkiraan.
Kutatap dia, lalu ibunya, kemudian Om Burhan yang tepat di depanku. Mata kami saling bertemu, tapi di detik berikutnya dia menatap putranya, Raka.
"Apa perlu apa mantan kamu sama, Papa?" tanyanya.
Ya Tuhan! Keadaan apa lagi ini? Aku benar-benar gelagapan sekarang.
"Raka juga nggak tahu, Pa. Coba tanya sendiri," balas Raka.
"Eeh, kamu ada urusan sama Papanya Raka?" celetuk perempuan tua di sana.
Bibirku gagap, tak tahu harus bicara apa. Aku takut, apa yang kukatakan akan salah di mata Raka. Itulah aku lebih memilih menatapnya, berharap tahu apa yang hendak dia lakukan.
Alih-alih memberikanku jawaban, dia justru dengan santai membuang wajahnya sambil meraih gelas berisikan jus jeruk di depannya.
Aku mendesis dalam hati, benar-benar mengutuk habis pria ini. "Ng ... nggak begitu penting, Buk."
"Panggil Oma aja." Dia meralat. Aku hanya tersenyum kecil. "Ya udah. Bilang aja mau tanya apa?"
Apa yang harus kutanyakan? Aku tak tahu harus mengatakan apa. Dan ... apa sebenarnya yang terjadi pada hidupku ini?
"Bilang aja, Lun. Nggak usah sungkan. Aku tahu memang hubungan kita udah selesai, tapi nggak lucu kan kalau kita langsung kayak orang nggak kenal gitu? Aku nggak sejahat itu, lah!" ucap Raka.
Aku tetap diam menatapnya. Ingin rasanya aku melompat masuk ke dalam kepalanya, dan melihat apa sebenarnya yang ingin dia aku lakukan sekarang?
"Kamu sungkan? Biar aku yang sampein, ya?" lanjut Raka lagi. Dia langsung menatap ayahnya. "Itu, Pa. Luna katanya mau tanya, lipstiknya yang berwarna merah ada di mobil Papa nggak? Soalnya dia kehilangan itu."
"Raka!" Aku langsung menegurnya, dengan suara pelan dan menekan.
Setelahnya, kulihat raut wajah orang-orang di sini langsung berubah datar. Apalagi melihat wajah ibunya Raka yang langsung menatapku skeptis, seakan telah menyusun asumsi buruk di dalam kepalanya tentangku.
"Maksudnya apa, Raka? Kenapa lipstik mantan kamu ada di mobil Papa kamu?" tanya Omanya.
"Aaa ... nggak, Oma. Itu ...."
"Berdiri, Luna! Siap-siap, saya antar kamu pulang," sela Om Burhan, mengajak seluruh pasang bola mata menatapnya.
Begitu pun aku yang langsung membulatkan mataku, kaget melihatnya.
Setelah mengatakan itu, dia langsung saja menatapku dengan kilat mata yang tidak kutahu apa isinya. "Kamu kehilangan lipstikmu masih bisa dibeli. Tapi kalau kamu kehilangan harga diri, nggak akan ada lagi cara mengembalikannya kecuali ma ti!"
Ketegangan tidak hanya sampai di sana. Tatkala aku hendak menggeser posisi, Raka langsung memegangi tanganku. "Kamu kayaknya udak dekat banget ya sama Papa? Sebenarnya kamu putus dariku karena apa sih? Karena Papa?" tanyanya, semakin menjadi-jadi.
"Raka! Biarin Luna pergi!" sergah ibunya.
"Ma ...." Ucapan Raka tak berlanjut. Sepertinya sorot mata ibunya membuatnya mengerti.
Derit kursi yang menggeser, menarik perhatianku entah untuk ke berapa kalinya. Setiap pergerakan apa pun di rumah ini, seakan siap menusuk jantungku.
Kali ini, pria dengan kepala plontos di sana yang bergerak. Dia berdiri. Sebelum pergi, dia berkata, "Rumah ini panas sekali. Aku cari udara segar dulu di luar."
Setelahnya, giliran Om Burhan yang bangun. Dia berjalan hanya kata, lalu menarik tanganku upaya mengajakku mengikuti langkahnya.
Aku terseret begitu saja, sampai kakiku sempat terbentur kaki meja makan. Tanpa peduli, Om Burhan benar-benar menarikku mengikutinya. Dia bahkan tak mempedulikan bagiamana kini istrinya yang menatap dengan pandangan nanar.
Aku tak berniat. Sungguh!
Karena merasa tak terima dengan semua ini, aku lantas dengan sadar melepaskan tanganku dari genggaman pria ini. Tak kupedulikan kala Om Burhan menatapku. Aku lebih tertarik menghadap istrinya yang masih duduk di kursi paling ujung meja makan.
"Tante ... tolong maafkan aku!" ucapku, mengakui segalanya. Dengan sepenuh hati aku meminta sebuah maaf bahkan sambil bersimpuh yang mana semua orang bisa menatapku. "Aku nggak niat apa-apa, Tante. Waktu itu, aku cuma kepepet. Aku nggak tahu kalau dia–"
"Bangun, Luna!" sela Om Burhan. Aku tetap tak berniat menurut. Aku ini perempuan. Aku pun pasti sakit jika menjadi ibunya Raka saat ini.
"Jangan anggap aku sengaja perusak hubunganmu, Tante. Aku benar-benar nggak ada maksud. Tolong maafkan aku!" lirihku, melanjutkan ungkapan hati ini.
Namun, entah kesal atau apa, Om Burhan langsung menarik tanganku sehingga aku berdiri dan terpaksa menatapnya yang lebih tinggi dariku.
"Kenapa kamu minta maaf? Apa kamu melakukan kesalahan padanya? Kamu terlalu berharga untuk berlutut di hadapannya, Luna!" tegasnya dengan mata yang membulat, besar.
"Om! Ini salah," serangku, tak akan lagi menutupi apa yang terjadi. "Aku yang bodoh. Aku nggak cari tahu dulu siapa yang akan kuajak malam itu. Aku nyesal udah lakuin itu sama suami orang!"
"Melakukan apa? Ciu man? Tidur? Atau apa? Kamu nggak tega karena kamu ngelakuin itu di belakangnya? Kalau begitu, lakukan di depannya!"
Kekagetanku tak berhenti disetiap kalimat yang dikatakannya. Aku kembali membeliak besar begitu kurasakan tangannya yang kekar menarik pinggangku hingga lebih dekat dengannya, lalu tanpa kata kurasakan sesuatu yang tak akan perna kulupa menyentuh bibirku.
Ini ... rasa menthol. Sama seperti rasa yang diberikan Om Burhan malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Pelakor
RandomAku tidak pernah tahu, kalau lelaki yang kuajak cinta satu malam kemarin adalah ayah dari pacarku.