Dadaku kembali berdebar. Detak jantung yang tak bisa kutahan, seolah bergerak menuntun sebuah perasaan yang tak bisa kuartikan. Tapi ... ini sudah lebih dari cukup. Kegilaan yang kurasakan sejak kemarin terhadap Om Burhan hanya akan menambah kisah kelam dalam hidupku.
Aku tak mau lagi. Hanya karena kesalahan waktu itu, hidupku jadi lebih rumit seperti ini. Dan, ini akan menjadi hari terakhir aku berurusan dengan pria ini.
Kuteguk ludah, meyakinkan diri. Setelahnya, kutarik diri darinya sampai aku kembali menatap wajahnya yang kali ini tak lagi memamerkan kilat wajah datar melainkan iba.
"Ah ... maafkan saya. Sepertinya saya terbawa emosi," ungkapnya.
Tak lama, getar dari ponsel disaku dresku membuatku enyah menatap pahatan wajahnya. Gegas kuabaikan dia dengan memeriksa pesan yang baru saja masuk.
Begitu pesan itu menyapa sepasang mataku, lagi-lagi jantungku seakan terpenggal dari tempatnya. Aku lagi-lagi tertawa miris, tak tahu lagi bagaimana caranya hilang dari semua ini.
[Lepas bajumu di depan Papa! Kalau nggak, siap-siap besok keluar dari kampus!]
Tampa perintah air mataku kembali tumpah. Kesakitan ini sudah seperti pedang yang perlahan menyayat tubuhku, sampai rasanya aku sulit bernapas.
Kucengkeram kuat benda persegi ditanganku, lantas menoleh ke arah balkon tinggi rumah mewah Raka. Ternyata benar dugaanku. Dia di sana. Dia melihatku bersama ayahnya. Dan juga pasti melihat bagaimana Om Burhan yang terus berusaha membantuku dengan segala bentuk perhatiannya.
Sial sekali hidupku ini! Anak dan ayah ini benar-benar membuatku muak. Sebenarnya, di mana letak kesalahanku? Kenapa seolah mereka mempermainkanku dan terus merusak ketenanganku.
Aku tidak tahu kapan agaknya Om Burhan menyadari kalau Raka ada di atas sana.
"Nggak usah dipedulikan. Raka hanya sakit hati sesaat," katanya yang membuatku mengalihkan pandangan.
"Sakit hati sesaat?" Aku membeo. "Sakit hati tapi dia terus mengusik ketenanganku. Dia terus membuatku jadi bonekanya. Tau karena apa? Itu semua karena Om!"
Pesan lanjutan dari Raka kembali masuk. Kali ini, dia benar-benar membuatku menggeram sekuat tenaga, sungguh nyaris hilang kendali.
Tapi ... bagimana mungkin? Aku tak bisa pulang ke kampung dengan segala kehinaan ini. Aku tak sanggup menatap mata ayah dan ibu yang terus menanam ekpektasi yang tinggi terhadapku. Bagimana mungkin aku tega menyakiti orang tua itu dengan kenyataan kalau anaknya di kota ini ternyata jadi bahan olokan dan lebih kejamnya, dicap sebagai pelakor.
Tak punya pilihan, aku pun menjatuhkan ponsel dari tanganku, siap melakukan perintah Raka. Kutatap lekat-lekat wajah pria yang benar-benar merogoh segala emosi dalam diriku, sembari bergerak membuka kancing dress yang kukenakan.
"Eh, Luna! Kenapa kamu ini!" Dia dengan cepat menahan tanganku dengan wajah panik.
Kutepis kuat tangannya yang kekar. Kutatap dia nyalang meski dengan air mata yang menghalang. "Nggak usah munafik, Om. Inikan yang Om mau? Ternyata sikap angkuh dan arogan yang Om tunjukkan, hanya untuk membuatku terjebak sampai ditahap ini!"
"Itu nggak benar!" Dia membantah. "Apa ini perintah Raka? Kalau benar, jangan lakukan. Dia itu masih labil. Lebih baik bicara baik-baik dengannya. Kalau bisa, kembalikan hubungan kalian seperti dulu. Bukannya kamu mencintainya? Bahagiakan dia, Luna. Jadilah orang yang mengerti dirinya. Saya mohon!"
"Siapa bilang?" Kali ini aku yang membantahnya. "Aku sama sekali nggak menaruh perasaan pada anakmu itu, Om! Dia itu sama bajingannya denganmu!"
Tak peduli, aku langsung saja melepas dressku dihadapan pria ini. Terserah. Apa pun nanti yang akan terjadi, aku hanya ingin bebas dari semua ini. Baik itu dari pria ini, atau dari anaknya yang tak tahu diri itu!
Sayang, belum sepenuhnya aku melakukan perintah Raka, Om Burhan sudah lebih dulu menutupiku dengan jas yang sempat dia bakutakan ketubuhku. Tak hanya itu, dia juga dengan gerakan cepat mengangkatku layaknya menggendong sekarung beras lalu berjalan entah kemana.
"Om lepas! Lepasin nggak! Om Burhan!" Aku berkontak. Kupukuli punggungnya sekuat yang kubisa, bahkan kakiku kugerakkan sekuat mungkin upaya bebas dari tingkahnya ini.
Tapi, bagaimana bisa aku bebas dari ototnya yang besar dan posturnya yang kekar? Yang ada aku kelelahan, memakan tenaga yang sia-sia.
"Lepasin, Om Burhan! Aku teriak ini!" ancamku, tetap juga tak mau dia dengarkan. Tak punya pilihan lain, aku pun menarik napas siap berteriak, "Malinggggg! Tolonggg!! Ada maling!"
"Eh! Mana ada maling dikawasan rumah saya!" tegurnya sembari memasukkanku ke dalam mobilnya.
"Awas!" Aku tak peduli pada apapun. Sekuat tenaga aku berontak, ingin bebas darinya.
Belum sempat aku keluar dari mobil, Om Burhan sudah lebih dulu menutup pintu lalu menguncinya.
Aku kian menggeram, berteriak kuat di dalam mobil. "Lepasin aku laki-laki baji Ngan! Apa sih maumu, hah? Lepasin aku!"
Dia masuk, kini duduk di kursi kemudi. "Di mana rumah kamu? Saya antar," katanya, benar-benar membuat ini seolah gak terjadi apa-apa.
Aku mendengkus miris. "Buka pintunya! Aku nggak butuh bantuanmu, bantuan setan, apa lagi bantuan siapa pun! Aku bisa hidup mandiri!" pekikku, mengatainya.
"Saya tahu," sahutnya, santai. "Tapi, saya yang ingin menebus kesalahan saya. Kamu begini karena saya, kan? Begitu pun dengan Raka. Dia membencimu karena saya. Padahal dia mencintaimu."
"Aku udah bilang, kami berdua nggak saling cinta! Bisa dengar nggak sih? Udah tua harusnya lebih peka! Bukan tambah bolot!"
Dia menoleh, lantas tersenyum tipis. "Kamu ini sebenarnya tipe cewek arogan. Kenapa ya anak saya jatuh cinta sama kamu?"
Ingin rasanya aku mencakar wajahnya itu. "Udah berapa kali aku bilang, dia nggak suka sama aku! Dia itu cuma buat aku jadi tumbalnya buat balas dendam! Sadar nggak?"
Akhirnya dia diam. "Hubungi saya kalau dia melakukan sesuatu. Dan ya, jangan gegabah jadi perempuan. Gimana kalau sekiranya Raka menyuruh kamu buat kayak tadi sama pria lain? Kamu mau langsung melakukannya?"
"Apa pedulimu?" serangku. "Aku buat apa pun untuk menutupi semua ini. Om itu nggak tau gimana rasanya diletakkan sebuah harapan. Ya mana tau tengah layak gitu. Orang Om sendiri nggak pernah kok ngehargain orang. Tahunya main perempuan, padahal perempuan di rumahnya sendiri cantik."
Suasana langsung lengang begitu kukatakan hal itu padanya. Takut dia malah tersinggung, ragu-ragu aku menatapnya keyakinan kalau dia benar-benar tidak akan melakukan sesuatu yang salah.
"Menurutmu istri saya cantik, Luna?" tanyanya kemudian.
Aku tertawa kecil. "Di mata setan doang dia yang jelek! Termasuk di mata Om!" tukasku, menjawbanya.
"Kamu benar. Dibandingkan kamu, dia lebih cantik, kan?"
Mataku langsung membulat, tiba-tiba tak terima. Istrinya memang cantik, tapi aku pun tetap tak kalah cantik!
"Tapi cantik parasnya, kalah telak sama kelakuannya. Dia berhasil membangun branding indah di belakang namanya, sedangkan dia sukses membuat saya layaknya sampah," lanjutnya, mengungkap sebuah fakta yang aku tidak tahu apa maksudnya.
"Maksudnya apa, Om?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Pelakor
RandomAku tidak pernah tahu, kalau lelaki yang kuajak cinta satu malam kemarin adalah ayah dari pacarku.