Tigapuluhempat

36.9K 4.7K 297
                                    

              Lima menit yang lalu, Mili baru saja berhasil membawa Arsenal untuk ikut turun dari mobilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

              Lima menit yang lalu, Mili baru saja berhasil membawa Arsenal untuk ikut turun dari mobilnya. Turut menuju kamar kosnya dan langsung Mili dudukkan lelaki itu di atas window sitting sedang dia melangkah menuju dapurnya untuk mengambil baskom dan air dingin, juga sapu tangan. Kemudian saat ini, Mili ikut bergabung di atas sana, dengan tangannya yang sedang bekerja mengompres pipi Arsenal yang mulai memerah akibat tamparan Tamara tiga puluh menit yang lalu.

"Aku nggak suka kamu diperlakukan begitu sama orang lain."

Menit demi menit yang dihabiskan dengan diam itu, Arsenal baru saja membuka suaranya. Membuat Mili yang sejak tadi sukar menatap si lelaki, akhirnya menorehkan pandangannya juga. Tangannya yang masih memegang sapu tangan di atas wajah lelaki itu sempat membeku sejenak saat tatap mereka akhirnya bertemu.

"Ternyata kamu sering diperlakukan semena-mena sama Tamara, kan? Yang tadi atau bahkan saat kamu disuruh jemput Beirly ke sekolah, itu bukan yang pertama kali Tamara semena-mena sama kamu. Iya?"

Mili masih terdiam. Bibirnya kau membisu.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang soal itu? Kenapa kamu selalu terima aja diperlakukan begitu sama Tamara? Bukannya aku udah pernah bilang, Tamara itu enggak akan sungkan semena-mena sama orang lain kalau sekali di iyakan, apalagi nggak ada perlawanan. Kenapa kamu nggak melawan? Kenapa kamu nggak tolak semua yang dia suruh kalau kamu nggak sanggup?"

Mili langsung menggeleng. "Mili udah bilang nggak bisa, Mas. Dari awal, setiap Bu Tamara suruh-suruh Mili hal yang nggak bisa Mili kerjain, Mili udah bilang nggak bisa. Tapi suara Mili nggak pernah didengar. Mili nggak cuman diam."

Gadis itu membalas tatapan si lelaki dengan matanya yang sudah mulai memerah.

"Suara Mili nggak pernah didengar. Di mana pun. Di kantor, di rumah, di mana-mana. Orang-orang nggak pernah mau dengarin Mili. Kenapa orang-orang selalu nyalahin Mili nggak bisa membela diri. Mili selalu bicara, tapi nggak pernah ada yang dengerin. Mili harus bicara gimana lagi?"

Kali ini, air matanya menggenang, bersiap untuk tumpah. Dengan kemudian ingatannya kembali pada masa-masa lampau yang sudah dia lalui. Mili selalu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. Selalu diperlakukan semena-mena. Di rumahnya pun demikian. Dia bisa bersuara, tetapi tidak pernah terdengar suaranya.

"Sejak dulu Mili nggak pernah didengar. Mili bicara pun selalu dipotong orang. Di rumah, Mama selalu paksa Mili ini-itu. Ngelakuin ini itu. Bahkan saat dijodohin dan suruh menikah buru-buru, suara Mili tetap nggak didengar. Berkali-kali Mili bilang nggak mau, berkali-kali Mili coba untuk melakukan yang Mili mau, tapi nggak pernah ada yang mau dengerin. Mili belum lulus kuliah, tiba-tiba udah disuruh menikah begitu tamat. Padahal Mili mau lanjut kuliah lagi, mau cari pekerjaan yang Mili senangi. Mili nggak bisa ngelakuin itu terus Mili terjebak di sini. Mili bilang mau cari kerja sendiri, tapi Mama paksa Mili harus kerja di tempat yang udah disiapin Mas Arsenal. Mili nggak suka kerjaannya, Mili nggak nyaman sama pekerjaannya. Mili nggak bisa. Tapi Mili harus tetap di sana. Harus terima dimarahin kalau kerjanya salah terus. Mili udah berusaha kerja sebaik mungkin biar nggak kena marah, biar nggak buat Mas Arsenal malu. Apalagi Mili diterima kerja pakai jalur dalam. Pakai nepotisme. Tapi Mili tetap selalu salah, tetap nggak becus.

Dikejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang