Prolog

9 4 0
                                    

AKU mulai menyandarkan diriku pada bangku pesawat dengan posisi senyaman mungkin. Ini adalah perjalanan yang akan menjadi titik balik bagi hidupku, selama kurang lebih empat tahun aku berada di Negeri Gingseng. Kini, aku akan benar-benar pulang.

Ada perasaan rindu yang kian memuncak dalam dadaku. Aku rindu dengan udara Bandung yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Seoul. Tidak. Ini bukan hanya perkara rinduku pada iklim semata. Aku benar-benar rindu pada kampung halamanku dan seluruh penduduknya.

Aku kini tengah menebak-nebak, pasti Ibu tengah memasak gulai kambing kesukaanku yang kemudian telah dihidangkan untuk segera kumasukkan ke dalam mulutku yang lapar setelah perjalanan panjang ini. Sungguh, aku benar-benar rindu bagaimana hangatnya meja makan bersama Ibu dan Melati. Sudah empat tahun lamanya aku tidak merasakan bagaimana rasanya makan bersama keluarga dengan segala cerita yang tumpah di antara meja makan kita. Itu benar-benar memori yang indah, yang dengan senantiasa terus bersemayam di kepala.

Ini benar-benar seperti di film-film romansa yang biasa aku tonton di televisi. Sungguh. Sedari tadi, aku hanya tersenyum-senyum sendiri melihat sebuah amplop berwarna merah muda di dalam genggaman tanganku. Amplop yang sudah kuhias sedemikian rupa dengan dekorasi gambar hati, yang kulukis menggunakan spidol berwarna putih. Tentu. Ini bukan kutunjukkan untuk Ibu, apalagi untuk Melati—adikku. Ini untuk seseorang yang sudah lama ingin aku dekap hangat dalam pelukanku. Aku sungguh sangat rindu bagaimana kerewelan dia dan segala hal yang pernah kita lalui bersama, empat tahun yang lalu. Apa kabar tempat-tempat yang pernah kita kunjungi dulu? Ah, rasanya aku sudah tidak sabar untuk melakukan sebuah perjalanan baru bersamanya.

SITUASI mulai menegang. Aku mendengar beberapa orang berteriak dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Tidak. Apakah aku akan mati?

Pesawat yang aku naiki mulai kehilangan kendali. Pramugara dan Pramugari memerintahkan kami memasang oksigen dan tetap dalam keadaan tenang. Apakah aku sungguh akan mati?

Terdengar sebuah ledakan yang begitu keras yang datang dari bagian kanan pesawat. Lagi. Semua penumpang berteriak histeris. Ibu berusia kurang lebih 40 tahunan di sampingku bahkan tidak bisa membendung tangisnya yang keluar sedari tadi. Aku hanya pasrah. Aku hanya bisa berserah. Apakah aku sudah mati?

Hingga kemudian, yang tersisa hanyalah gelap. Aku seperti berada dalam sebuah ruangan tak berpenghuni. Tidak dapat kulihat siapa pun di dalam sana. Itu adalah sebuah hampa yang benar-benar hanya menyisakan aku di dalamnya.

Secercah cahaya perlahan mulai hadir. Aku melihat dia menghampiriku. Dia membangunkanku dengan segera. “Bangun! Ayo kita jalan-jalan lagi seperti dulu! Ayo bangun!”

Tubuhku membeku. Badanku sangat sulit untuk digerakkan. Sekilas, aku melihat bayang-bayang maut di hadapanku. Nafasku mulai terengah-engah dan sesak. Kali ini sudah kupastikan. Aku sudah benar-benar mati.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang