5

4 4 0
                                        

Bertemu Gagah Berani
Jakarta, Februari 2024

“KAMU jangan bercanda!” bentaknya.

“Aku sudah mendengar banyak cerita darinya,” ucap Farida. “Pada awalnya aku pun tak percaya. Tapi apa yang dia bilang benar-benar sungguhan.”

Tubuh gadis mungil ini kemudian dituntun untuk duduk di sebuah sofa, di ruang keluarga. Sejak pagi tadi, laki-laki ini masih tidak memercayai apa yang sudah aku kemukakan. Ia tetap bersikeras bahwa aku hanya membual dan membuat beberapa pernyataan bodoh yang tidak masuk logika.

“Oke begini saja. Jika kau memang benar dia...di mana seharusnya dia bertemu denganku?” tanyanya kemudian.

“Warung Bu Restu...”

Ia terkejut. Matanya perlahan mulai berkaca-kaca. Kali ini, sudah bisa dipastikan bahwa laki-laki itu memercayaiku.

“Gagah...ini aku!” kataku, lagi.

Usianya sekarang sudah 43 tahun. Seorang yang kukenal sebagai Gagah Berani itu masih terlihat sama seperti dulu, saat kita mengarungi kisah bersama. Hanya satu yang membuatnya terlihat berbeda: pria yang berkulit sawo matang dan berkacamata itu kini memiliki beberapa kerutan dan uban di rambutnya. Sekilas, aku bisa melihat bagaimana dulu kita melewati hari-hari hebat berdua. Dengan Gagah, aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkira. Gagah selalu mempunyai cara untuk membuat hati ini berbunga-bunga. Dan yang terpenting adalah, dia mencintaiku. Kita sama-sama saling mencinta.

“Kenapa kamu tidak menepati janjimu?” tanya Gagah, seraya menyeka air mata yang jatuh di pipinya.

“Aku...”

“Kenapa kau tak kunjung datang?” potongnya. Suaranya berat sekali.

Tanpa kusadari, aku pun mulai menitikkan air mata. Ini adalah momen terburuk yang aku alami dengan Gagah. Momen paling terburuk sepanjang hubungan kita berlangsung.

“Kenapa surat balasan itu tak pernah kunjung sampai di tanganku?” Gagah bertanya lagi, dengan suara yang semakin berat dan nyaris tak terdengar oleh pusat telingaku.

Kulihat, Farida pun tidak bisa menahan air matanya. Pemandangan ini adalah satu hal yang sungguh di luar dugaan. Entah kenapa takdir menyuratkan kepadaku untuk, entah, dapat bangkit kembali, atau...seperti seolah hidup lagi di kehidupan yang lain dalam raga seorang gadis mungil yang kini, harus kuterima dengan lapang, adalah anak dari seorang Gagah Berani.

RAGAKU gemetar saat kulihat raut wajahnya tersenyum ke arahku. Aku mematung, dan benar-benar tak bisa berkata apa pun, seolah ada yang tercekat di kerongkonganku. Tubuh mungil ini tersungkur menuju lantai. Entah tangis yang keluar dari mataku ini adalah rasa sedih, atau justru haru yang tertunda setelah sekian lamanya.

Gagah Berani ada di hadapanku dengan semangkuk sereal yang terdampar di meja makan, belum ia sentuh sedikit pun. “Kamu kenapa, Qila? Ayah sudah menunggu kamu. Sudah lama kita tidak sarapan bersama,” ucapnya, lalu membantuku bangkit.

“Gagah...”

Ia berhenti sejenak, lalu memandang wajahku. Senyum itu masih melekat di bibirnya. “Kamu mulai tidak sopan ya sama Ayah. Masa panggilnya nama begitu,” ia mencolek hidungku kemudian, persis seperti apa yang dilakukan Gagah saat ketika aku sedang merajuk, tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku masih selalu ingat kata-katanya yang menenangkanku: “Tidak semua hal yang kita inginkan selalu menjadi kenyataan. Sebab, ada beberapa hal yang memang tidak ditakdirkan untuk kita. Tugas kita hanya terus berjuang dan berusaha. Tentu. Mengenai kebahagiaan, itu adalah tugas Tuhan untuk membagi rata kepada kita semua. Percayalah. Dia akan adil...”

“Qila...kamu kenapa?” Gagah membuyarkan lamunanku.

“Aku Aryani...” tiba-tiba, kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang