3

5 4 0
                                    

Seseorang yang Sangat Dekat
Jakarta, Penghujung Januari 2024

SETELAH aku membuatnya yakin dengan cerita yang aku sampaikan kepadanya. Akhirnya, ia pun bersedia untuk datang menemuiku.

“Aku pun merasa aneh kepada Aqila, karena dia tiba-tiba menyebut kecelakaan pesawat,” ucap Farida kepada Melati yang saat itu datang ke rumahnya.

“Kamu harus percaya bahwa ini aku, Tiw!” aku mencoba meyakinkannya lagi.

Meski sudah tergerus waktu. Kerutan mulai muncul di wajahnya. Aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah Melati, adikku. Melati yang dulu setiap malam sering bercerita tentang teman-teman sekolahnya di dalam kamarku. Melati yang diam-diam suka dengan seorang anak laki-laki bernama Dandi, yang satu sekolah dengannya saat SMP. “Kalau kamu benar Teh Aryani. Coba kamu sebutkan kapan ulang tahun Teh Aryani,” ucap Melati kemudian, yang kini tidak aku sangka justru menjadi Guru TK di Jakarta.

“Minggu, 17 Februari 1980,” jawabku mantap.

Tak hanya Melati yang terkejut, Farida pun sama terkejutnya. “Itu juga tanggal lahir Aqila...” katanya kemudian. “Harinya pun sama...Minggu!”

Kami bertiga saling tatap. Hening. Seketika semuanya tidak bisa berkata-kata.

Setelah beberapa menit berlalu. Melati kembali melemparkan pertanyaan kepadaku. “Kamu tahu tidak makanan kesukaan Teh Aryani?”

“Gulai kambing. Itu kan? Itu yang sering kita makan setiap akhir pekan bersama Ibu...”

Melati menangis sejadi-jadinya, lalu menerjang tubuhku, dan memelukku erat hingga aku merasakan sesak. “Sudah, Titiw!” kataku kemudian.

“Apa yang terjadi kepada putriku. Aqila...apa Aqila sudah...” kini, Farida pun mulai menitikkan air mata.

“Aku pun tidak tahu. Aku benar-benar terkejut saat aku tiba-tiba terbangun dalam sebuah raga gadis mungil ini,” ujarku.

Farida mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang. Entah, siapa yang tengah ia hubungi tersebut. Tapi, dari apa yang aku dengar, ia menghubungi seorang laki-laki. Atau, bisa jadi itu adalah suaminya. “Kau harus segera pulang!” katanya di ujung telepon.

“Ibu di mana sekarang? Bagaimana keadaan Ibu? Apa Ibu juga ada di Jakarta?” tanyaku kepada Melati.

Melati menggelengkan kepalanya.

“Kenapa? Ada apa dengan Ibu?”

Ia meraih tanganku yang mungil itu. “Ibu sudah meninggal setahun yang lalu...”

Air mataku benar-benar tidak bisa terbendung. Aku pun menangis dalam raga gadis mungil bernama Aqila Damayanti tersebut.

DALAM keadaan yang masih dibalut dengan kesedihan, aku pun mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Sebelumnya, Melati pun mengatakan bahwa memang kakaknya itu tengah dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Namun, naasnya, pesawat yang ditumpangi oleh kakaknya—diriku sendiri—terjatuh dan membuat semua orang yang berada di sana tewas. Pesawat itu jatuh di Laut Cina Selatan, di dekat Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Setelah puing-puing pesawat berhasil ditemukan oleh Tim Evakuasi, juga beberapa jenazah yang mengambang terombang-ambing di lautan, terhitung masih ada 7 orang yang belum ditemukan hingga sekarang. Salah satunya adalah jasad Aryani Sekar Wangi. Jasad diriku sendiri.

“Setelah 5 tahun berlalu, akhirnya kami mulai mengikhlaskan bahwa Teh Aryani sudah tidak mungkin bisa kembali,” ucap Melati kemudian, dengan sisa air matanya.

“Jadi, kini yang ada di dalam raga putriku adalah Aryani korban kecelakaan pesawat itu?” tanya Farida.

Aku mengangguk. “Maafkan aku. Tapi, aku pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.”

Farida menggeleng. “Saya hanya berharap putri kesayangan saya bisa kembali. Tapi, atau mungkin kamu masih ada sesuatu yang belum kamu tuntaskan, sehingga membuatmu kembali bangkit lewat tubuh anak saya?”

Aku mencoba mengingat-ingat suatu hal yang benar-benar penting. “Aku ingat!”

“Apa itu?”

“Aku harus menyampaikan sesuatu pada seseorang dan menemuinya di tempat itu!”

“Pacarmu itu?” tanya Melati.

Aku mengangguk. “Aku sudah berjanji kepadanya...tapi, tiba-tiba aku mendengar suara ledakan dari bagian kanan pesawat. Lalu, aku tidak ingat apa pun lagi. Setelahnya hanya gelap dan sesak.”

“Di mana kita bisa menemui orang itu?” tanya Farida.

“Berita terakhir yang kudapatkan, dia sudah menikah, dan sudah tidak tinggal di kampung halaman kita lagi. Dia sudah tidak berada di Bandung,” jelas Melati.

Menikah? Apakah itu benar? Jadi, Gagah sudah menikah dengan wanita lain? Aku mulai merasa tidak karuan. Kabar dari Melati tersebut menyisakan sesak yang begitu hebat dalam dadaku.

Setelah 2 jam kami berbincang. Melati pun pamit untuk pulang. “Teh, aku pulang ya...pastikan Teteh datang ke TK sebagai Aqila. Dia juga perlu hadir untuk menuntaskan absensinya.”

Aku mengangguk paham.

“Aku pamit ya, Teh...semoga besok aku masih bisa bertemu Teteh lagi, meski dalam raga Aqila.”

“Iya, Tiw...jaga dirimu baik-baik!”

DI malam hari, aku mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat menuju kamarku.

“Besok saja. Kamu pasti lelah...tidurlah dulu,” aku bisa mendengar apa yang Farida katakan. Hingga kemudian, langkah kaki itu pun kembali menjauh dari kamarku.

Setelah beberapa jam membaringkan tubuh gadis mungil ini, aku masih kunjung belum bisa tidur. Pikiranku terus mengembara karena ucapan Melati yang mengungkapkan bahwa Gagah telah menikah dan meninggalkan Bandung. Itu merupakan sebuah kabar buruk bagi diriku. Sebuah kabar yang sangat tidak terduga, sebab rasanya seperti baru kemarin kita mengikat janji untuk bertemu kembali, di tempat yang aku tahu, seperti yang ia katakan. “Kenapa aku harus mati?” batinku. Tanpa sadar aku kembali menitikkan air mata.

Pagi pun tiba menuju pelupuk mata. Aku terjaga pada pukul 7 pagi, setelah Farida masuk ke dalam kamar dan membangunkanku. Setelah selesai mandi, aku pun bergegas untuk bergabung menuju meja makan keluarga Aqila Damayanti.

Ini adalah salah satu momen yang tiba-tiba membuatku kembali menerjang masa lalu. Salah satu aroma yang begitu familier bagi indra penciumanku. Sesuatu yang tampaknya tak asing bagi diriku. Hingga pada saat aku sampai di ruang makan keluarga, aku terkejut melihat seseorang yang tengah duduk di sana. Seseorang yang kembali membangkitkan ingatan masa laluku. Apakah aku salah lihat? Tidak! Tapi, apakah benar itu dia? Aku semakin mendekat, dan terus mendekat. Hingga kemudian aku dapat melihat wajahnya dengan begitu jelas.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang