14

5 4 0
                                    

Pulang
Bandung, Januari 2005

IBU dan Kinan terkejut saat melihatku datang. Itu adalah kepulanganku yang paling dramatis, karena sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di rumah tersebut.

“Sudah, Bu...sudah...” aku merasa tercekik karena pelukan Ibu yang sangat erat sekali.

“Kamu tuh ke mana saja sih, Gah? Kenapa nggak pulang-pulang? Geus poho ka nu di imah?” tanya Ibu kemudian.

“Gagah sibuk sama kegiatan organisasi, Bu. Apalagi akhir-akhir ini Gagah juga lagi fokus ngerjain skripsi,” jawabku.

“Kapan atuh lulusnya?”

“Nggak akan lulus, Bu. Kuliah bukan lagi prioritas A Gagah! Dia mah mentingin organisasi mulu. Sampai-sampai tugasnya di Kampus nggak pernah ada yang selesai!” Kinan ikut menyambar.

“Sok tahu kamu, Dek! Aa dikit lagi lulus kok. Ini juga mau ajuin skripsi!” balasku.

“Kalau sudah ada ijazah, baru kami percaya!”

“Iya-iya...tunggu saja nanti.”

Ada beberapa hal yang kemudian tumpah di meja makan kami pagi itu. Aku senang karena mereka berdua baik-baik saja, juga senang karena akhirnya Kinan diterima di Unpad. Bagiku, itu adalah sebuah kabar baik yang harus kita rayakan bersama.

“Aryani pulang tanggal 25 besok. Kamu coba samperin Ibu Sari. Kamu tuh, susah banget dihubungin...Aryani beberapa kali loh nelepon ke rumah!” ucap Ibu.

“Iya, Bu...rencananya aku mau ke rumah Aryani hari ini,” balasku.

“Iya nih sibuk mulu ya Aa. Apa sudah ada pacar baru di sana?!” lagi-lagi, Kinan menyambar dengan kalimat pedas yang keluar dari mulutnya itu.

“Apaan sih kamu, Dek. Jangan berkomentar kalau belum tahu kebenarannya!” timpalku. “Lagi pula siapa yang mau sama Aa. Cewek-cewek di sana pada gaul dan modis. Sudah jelas nggak akan mau!” sambungku.

“Sudah ah, kenapa jadi pada ribut sih...” Ibu melerai kami berdua.

SUDAH empat tahun aku tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Ibu Sari dan Melati menyambut kedatanganku dengan hangat sore hari itu. “Eh, Gagah...ayo masuk!” ucap Ibu Sari.

Aku duduk di ruang tamu. Melihat ke sekitar. Rumah ini tidak berubah sama sekali, setelah empat tahun lamanya aku tidak berkunjung.

“A Gagah mau minum apa?” tanya Melati.

“Bebas, Tiw...” balasku kepada adiknya Aryani yang akrab disapa Titiw tersebut. Tampaknya, dia pun sudah bertambah dewasa. Itu tandanya kehidupan terus bergerak.

“Tunggu ya, A...”

Aku mengangguk.

“Bagaimana kabarmu, Nak?” tanya Ibu Sari, memulai perbincangan.

“Baik, Bu,” jawabku. “Ibu bagaimana kabarnya?” aku berbalik tanya.

“Syukurlah...Ibu juga baik.”

“Aku dengar Aryani akan segera pulang. Apakah benar, Bu?”

Ibu Sari mendekatkan dirinya kepadaku. “Kamu ke mana saja selama ini, Gagah? Kenapa kamu tidak pernah ada kabar?” tanyanya kemudian.

“Anu...Bu...”

“Ibu dengar kamu ikut turun ke jalan. Berdemo dengan Mahasiswa lain. Apakah itu benar?”

“Anu...”

“Kamu sudah menyelesaikan kuliahmu? Bagaimana kabar Ibu Maya dan Kinan? Mereka baik-baik juga?” Ibu Sari terus menyerangku dengan beberapa pertanyaan.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang