11

6 4 0
                                    

Buku
Bandung, September 1997

MANG Toha menitipkan kepadaku sebuah buku yang pada saat itu tengah dilarang untuk beredar oleh pemerintah Orde Baru. Sebenarnya, aku sudah banyak mendengar tentang penggeledahan toko-toko buku yang menjual buku-buku kiri. Hingga sebuah pembakaran buku-buku tersebut, yang kemudian menuai banyak sekali kontroversi.

"Mamang titip buku ini. Karena Mamang yakin ini pasti aman kalau ada di A Gagah!..." ucap Mang Toha ketika memberikanku sebuah buku berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

"Ini yakin, Mang? Nanti kalau aku ditangkep gimana?" tanyaku kemudian.

"Mamang yakin A Gagah pasti bakalan aman! Percaya sama Mamang!"

Aku pun kemudian menerima buku dari Mang Toha tersebut, dan memasukkannya ke dalam tas ranselku.

Aku pulang ke rumah dengan buru-buru menaiki angkot. Membawa buku karya Pram di tahun itu, bagaikan membawa sebuah narkoba. Jika kita bertemu dengan aparat, dan mendapati kita membawa barang terlarang tersebut, kita pasti akan ditangkap dan dituduh sebagai seseorang yang menentang terhadap pemerintah. Bahkan, lebih parah lagi, kita dianggap sebagai penganut paham komunisme yang dianggap membahayakan keamanan negara.

Namun, sialnya. Di hari Senin, di sekolah. Tiba-tiba ada 2 orang aparat yang datang untuk menggeledah seluruh siswa. Hingga kemudian, di dalam tas ranselku ditemukan sebuah buku yang dititipkan oleh Mang Toha tersebut. Ibuku pada saat itu dipanggil ke sekolah untuk dimintai keterangan. "Sudah kubilang buku ini hanya dititipkan oleh seseorang!" ucapku.

Kedua aparat berbadan besar itu mulai melemparkan banyak sekali pertanyaan kepadaku. Pertanyaan yang pada intinya, adalah siapa orang yang menitipkan buku tersebut.

"Aku tidak kenal! Dia tiba-tiba memberikan buku itu," timpalku.

Satu orang dari kedua aparat tersebut itu tampaknya tidak puas dengan jawabanku. Hingga kemudian ia menggebrak meja. "Kamu masih SMA saja sudah membangkang! Cepat katakan dengan jujur!"

"Kami bertemu di Pasar Buku Palasari. Tampaknya dia anak kuliah. Tapi, aku sungguh tidak tahu dia siapa!" aku memulai pembelaanku dengan karangan cerita yang kubuat sendiri.

"Bangsat!!" ia semakin naik pitam.

"Dia bergegas pergi setelah memberikan buku itu kepadaku," lanjutku.

Hingga, singkat cerita aku pun dibebaskan. Namun, pada saat itu aku merasa sangat bersalah kepada Mang Toha, karena tidak bisa mempertahankan buku yang ia titipkan tersebut. Buku Bumi Manusia karya Pram itu dirazia oleh kedua aparat tersebut. "AKAN KAMI BAKAR!" katanya.

Bagiku, itu merupakan sebuah memori kelam dalam hidupku. Buku yang kuanggap sebagai sumber ilmu pengetahuan itu, dirampas dan dibakar oleh pemerintah, atas dasar tuduhan yang mereka buat sendiri.

"Kamu mau jawab jujur nggak?" tanya Aryani.

"Jawab jujur apa?" aku berbalik tanya.

"Siapa yang memberi buku itu ke kamu?"

Aku diam.

"Apa buku itu memang ada di tangan kamu sedari dulu? Apa kamu memang berpikir untuk menentang pemerintah, dan menjadi seorang aktivis?" Aryani terus melayangkan pertanyaan yang memojokkanku.

Aku masih diam, dan memilih untuk tak bersuara.

Pada saat itu, aku bagaikan memikul beban yang begitu berat. Mang Toha sudah memercayakan keamanannya kepadaku. Aku hanya perlu untuk menjaganya dari beberapa ancaman yang hadir. Ini juga aku lakukan sebagai balas budi kepadanya, karena ia sudah banyak memberikan buku-buku dengan harga miring, bahkan memberikannya secara gratis kepadaku.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang