8

4 4 0
                                    

Surat Terakhir Untukmu
Seoul, Januari 2005

KEPADAMU wahai kekasihku...

Aku tidak tahu harus mulai dari mana, dan tidak tahu harus berkata apa lewat surat ini. Yang sudah pasti dan jelas kau tahu, aku akan selalu mencintaimu, di mana pun kini kamu berada, dan jalan apa yang kamu tempuh, aku akan selalu mendukungnya.

Aryani Sekar Wangi...akan selalu kuingat dalam ingatan sampai kapan pun, dan aku akan selalu percaya bahwa kita akan bertemu lagi di hari yang lebih baik. Atau di kehidupan lain yang tentunya kuberharap juga yang terbaik, untuk kita berdua.

Aku bukanlah penyair yang pandai merangkai kata-kata, jadi biar kuperjelas saja isi dan maksud dari surat ini: Aku mencintaimu, dan itu akan selalu.

Darimu, aku belajar banyak hal untuk menjadi diriku yang sekarang. Aku melakukan banyak hal baru ketika melangkahkan kaki bersamamu, dan kamu selalu memberikan warna di dalam hidupku yang isinya penuh dengan kegelapan ini. Bagiku, kamu adalah secercah cahaya yang menerangi kehidupanku. Semoga, aku berharap itu berlangsung untuk selamanya.

Aryani Sekar Wangi...setiap pagi yang hadir adalah anugerah, ketika aku masih melihat senyummu yang merekah; dan setiap malam adalah bahagia, ketika aku masih mendengar tawamu yang begitu indah.

Di kehidupan berikutnya, izinkan aku bertemu denganmu lagi, di tempat yang kau tahu...tempat pertama kali kau menyebut makanan terenak, yang mengalahkan Gulai Kambing Ibumu. Kamu pasti tahu kapan kita akan bertemu. Dan kuharap kamu juga membawa surat balasan, karena aku pun ingin tahu beberapa cerita hebat yang kamu lalui di sana.

Gagah Berani, Kekasihmu.

Surat itu masih kusimpan rapi di dalam amplop cokelat yang Gagah beri kepadaku sehari sebelum aku pergi meninggalkannya; meninggalkan Bandung; meninggalkan semua cerita yang pernah kita ukir berdua.

Sehari setelah aku sampai di Seoul, hanya amplop cokelat itu yang terus menjadi pusat perhatianku. Setelah aku membuka dan membacanya, aku tidak bisa menahan air mata yang tumpah membasahi pipiku. Aku pun akan selalu mencintaimu, Gagah...

SETELAH empat tahun lebih aku berada di Seoul, akhirnya aku dinyatakan lulus dari Kampus di mana aku menimba ilmu. Aku membawakan kabar gembira ini kepada Ibu dan Melati.

Beberapa hari sebelum kepulanganku menuju Indonesia, aku terus-menerus mencoba menghubungi Gagah. Namun usahaku nihil. Gagah tidak pernah ada di balik telepon. Ibu Maya bahkan mengatakan bahwa sempat menerima telepon dari Gagah, bahwa kini anaknya itu tengah berada di Padang. Gagah, apa yang sebenarnya tengah kamu lakukan? Di mana dirimu kini? Kau tahu, Gagah...aku sebentar lagi akan pulang.

Salju yang turun di malam hari ini menambah kedinginan yang merasuk ke dalam jiwaku. Sudah empat tahun lebih aku tidak mendengar sedikit pun kabar tentang Gagah. Namun, entah mengapa, meskipun dalam keadaan seperti demikian, aku masih yakin bahwa Gagah akan tetap menjadi bagian dari diriku. Aku selalu yakin bahwa dia akan tetap menjadi Gagah yang dulu, Gagah yang menjadi tempat di mana keluh dan kesahku bertumpu. Dia akan selalu memiliki tempat teristimewa di hatiku, meskipun ada atau tidak adanya kabar darinya sekalipun.

Aku mengambil buku catatanku, membuka bagian tengah yang masih kosong, lalu mulai menulis sesuatu di dalam sana. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang harus aku tulis, untuk menjadi surat balasan dari Gagah. Itu membutuhkan beberapa waktu yang lama untukku berpikir, hingga aku berhasil menemukan kalimat pertama yang tepat untuk surat yang hendak kuberikan kepadanya.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang