9

4 4 1
                                    

Berpisah
Jakarta, April 2024

WAKTU yang terus bergerak, membuatku memiliki kedekatan emosional yang baik dengan Bunda. Bagiku, Bunda adalah sosok yang dapat menjadi Ibu dan rekan yang baik untuk tempat diskusi. Paket lengkap dianugerahkan kepadanya, dan itu adalah sebuah hal yang patut menjadi suatu kebanggaan. Bunda yang merupakan Sarjana Ekonomi di UNS itu mengatakan kepadaku, bahwa akan ada banyak hal yang dapat menjadi tolak ukur dari setiap perjalanan yang kita lewati, dan perjalanan yang kita lewati itu tidak selalu tentang suka. Sebab, duka juga merupakan bagian dari kehidupan.

“Bagaimana jika ingatan Aqila benar-benar hilang, dan digantikan sepenuhnya oleh ingatan Aryani? Apa Bunda rela?” tanyaku.

Bunda tersenyum, matanya yang teduh itu menatapku. “Sekarang sudah tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Baik Aqila maupun Aryani. Yang mana pun itu, Bunda akan tetap menjadi Bunda yang seperti dulu.”

Dan kini, sudah masuk di bulan keempat di mana aku menjadi gadis mungil nan menggemaskan bernama Aqila Damayanti. Aku kini mulai hafal wangi rumah tempat tinggalnya; pelajaran favoritnya; sahabat terdekatnya; juga makanan favoritnya. “Sebenarnya Aqila bisa dibilang pemakan segala. Tapi, dia sangat suka sekali dengan Durian,” jelas Bunda. “Jangan kecewa ya...tapi kalau kamu mau gulai kambing kesukaanmu itu, Bunda pasti akan berikan. Ya, walaupun tidak seenak buatan...”

“Sudah...tidak usah terlalu berlebihan, Bunda,” potongku.

“Dan ini tentang Mas Gagah...aku tahu kamu punya kedekatan masa lalu dengan dia. Bahkan sangat begitu dekat. Ini memang sulit diterima oleh akal sehat. Bahkan menurutku, seorang ilmuwan pun pasti akan terkejut mendengar cerita ini,” mata Bunda berbinar. “Apa kau rela...kau sungguh rela kalau Mas Gagah sudah menjadi istri seseorang?” pertanyaan dari mulutnya itu sontak membuat bibirku gemetar. Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan itu tak hanya menusuk, tapi juga membuatku seperti diterpa gelombang yang sangat dahsyat.

“Apa kau...”

Aku mengangguk dengan segera. “Iya...” potongku. “Kalau memang ini suratan takdir yang tertulis untukku. Apa yang bisa kuperbuat?”

Bunda meraih tanganku. Ia mengelusnya dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang. “Aku tidak pernah menyangka bisa mengenalmu. Ini seperti sebuah perjalanan masa lalu yang membuatku sampai di pelabuhan tempat Mas Gagah pernah singgah dulu,” ucapnya getir. Tangannya yang dingin itu kemudian aku genggam dengan erat.

“Aku ingin tahu bagaimana kabar Kinan. Apa dia baik-baik saja?” tanyaku kemudian.

Bunda tersenyum. “Kamu dulu pasti begitu dekat dengan adiknya Mas Gagah, kan?”

Aku mengangguk. “Kinan juga sudah kuanggap sebagai adikku...”

“Kinan menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Padang, dua tahun silam. Dia diboyong ke sana oleh suaminya. Aku memastikan bahwa kabar baik akan selalu menyertai dirinya...”

Aku mengucap lega atas apa yang Bunda katakan. Ternyata, kehidupan terus berjalan. Kinan dan Melati yang dulu sama-sama sering menanyakan tugas sekolah, yang menurut mereka sulit, kini sudah menjadi perempuan mandiri yang hidup dengan tujuan mereka masing-masing. Itu adalah sebuah kabar gembira yang hinggap di telingaku. Aku pun rasanya harus bersyukur, dan terus mendoakan semoga kehidupan yang baik akan hinggap bagi mereka, yang merupakan orang-orang baik. “Kalau Ibu Maya?...” tanyaku lagi.

Bunda menunduk. Wajahnya tampak begitu lesu. “Ibu...dia mengalami kecelakaan. Dua bulan setelah kami berdua menikah.”

Sontak, aku pun terkejut dengan jawaban yang keluar dari mulut Bunda. Ibu Maya yang dulu sangat begitu dekat denganku, harus mengalami satu kejadian yang mengenaskan. Bunda mengatakan bahwa Ibu Maya tertabrak oleh mobil ketika baru saja keluar dari pasar. “Kepadatan Jakarta mungkin jadi faktor penentu dari kecelakaan yang Ibu alami...” jelas Bunda.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang