6

4 4 0
                                        

Kepergian
Seoul, Januari 2003

AKU menemui Wi Ha-joon di sela-sela kesibukanku bekerja paruh waktu di Restoran milik Ibu Yeona.

“Kamu sudah lama di sini?” tanyaku kepadanya yang tengah duduk di taman dekat Kampus. Seperti biasa, Ha-joon selalu datang lebih awal, saat kita berjanji untuk bertemu.

Ia menggeleng. “Hanya beberapa menit berlalu,” katanya.

“Sebelumnya, aku mau meminta maaf untuk segala hal yang membuat kita menjadi seperti ini. Sungguh, ini di luar dugaanku,” kataku, sesaat setelah aku duduk di bangku, tepat di sebelahnya.

Ha-joon tersenyum menatap kosong jalanan. “Hal seperti ini memang sering sekali terjadi. Dan kau tidak sepenuhnya salah, Aryani,” katanya kemudian.

“Aku...”

“Setiap hal yang kita lalui memang sering kali tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan,” potongnya. “Ada beberapa bagian hidup yang membuat kita kemudian menyadari, bahwa sebetulnya itulah nilai esensi kehidupan. Tidak selalu harus seperti apa yang kita mau.”

Aku menatapnya. “Kau bijak juga, ya?...”

Ia tertawa. “Kehidupan memantikku seperti demikian.”

“Ya, ya...itulah sebabnya kamu dijadikan Tim Penasihat di Tim Sepak Bola, kan?”

“Itu hanya sebuah kebetulan saja. Sebenarnya masih banyak yang lebih pantas dan berpengalaman dariku.”

“Buktinya kamu cukup berhasil dengan beberapa kali membawa kami juara di turnamen yang cukup bergengsi.”

Seketika, wajahnya berubah menjadi lesu. “Sangat disayangkan ketika kami tidak bisa mewakili Kampus di ajang Nasional...” ucapnya parau. “Itu kenyataan pahit yang harus kita terima.”

Aku bisa merasakan kekecewaan yang begitu dalam dari raut wajahnya. Itu memang sebuah hal yang tidak bisa diterima. Penampilan apik Tim Sepak Bola Wanita di Kampus kami, seharusnya sudah bisa menjadi acuan agar dapat ditampilkan di kejuaraan Nasional. Namun, nyatanya justru kenyataan tidak seperti apa yang kita inginkan. Ketika Rektor di Kampus kami mengatakan bahwa Tim Sepak Bola Wanita harus merelakan tiket kejuaraan Nasional itu dan tetap fokus menghadapi beberapa kejuaraan yang lain. “Benar kan, kenyataan kadang tak sejalan dengan apa yang kita inginkan?” tanya Wi Ha-joon kemudian.

Aku mengangguk. Bisa kurasakan bahwa itu adalah kalimat paling dalam yang keluar dari mulut Tim Penasihat kami. Tidak menggebu-gebu seperti biasanya. “Kita bisa mencoba lagi di tahun ini,” kataku, memberi sedikit harapan bagi bahunya yang tampak lelah itu.

Ha-joon bangkit dari duduknya. “Aku harus bertemu kawan hari ini,” katanya.

Aku mengangguk. “Terima kasih sudah datang...”

“Tidak masalah.”

Aku tersenyum dan juga mulai bangkit dari dudukku.

“Sampai bertemu di lapangan,” senyum itu masih melekat di bibirnya, sebelum dia berlalu dari hadapanku.

DUA jam sudah aku menunggu, namun Ibu Yeona belum juga kunjung datang.

Saat itu, kami berdua telah merencanakan untuk bertemu di Apartemenku, setelah obrolan panjang mengenai akan diadakannya menu baru di Restoran yang ia miliki tersebut. Ibu Yeona mengatakan bahwa akan ditambahkan menu baru di Restorannya, dan itu berupa masakan khas dari Indonesia. Aku sangat senang ketika mendengar hal tersebut. Namun, setelah aku menunggu selama dua jam di Apartemen, Ibu Yeona belum juga kunjung datang.

Hingga sampai pagi tiba, aku mulai terjaga dari tidurku dengan perasaan gelisah. Ibu Yeona masih belum juga memberiku kabar apa pun. Aku khawatir sesuatu telah terjadi padanya, hingga aku pun memutuskan untuk datang ke rumahnya, mencari informasi.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang