1

9 5 0
                                    

Bangkit Kembali
Jakarta, Januari 2024

AKU terjaga dari sebuah mimpi buruk yang begitu menyeramkan.

Aku bangkit dari tempat tidur dan mulai berjalan perlahan menuju kamar mandi. Namun, langkahku seketika terhenti saat aku melewati sebuah cermin yang terpasang pada sebuah lemari.

Aku tidak sadar bahwa aku berteriak begitu keras hingga membuat kegaduhan. Hingga kemudian ada seorang Ibu berusia kurang lebih 30 tahunan berdiri di hadapanku. Ia menatap mataku dalam-dalam. “Kamu kenapa, Qila?” tanyanya kemudian.

Kepalaku terasa begitu pusing seperti dihantam oleh balok kayu berukuran besar. Itu cukup untuk membuatku tersungkur menuju lantai, dan aku tidak ingat apa-apa lagi, hingga akhirnya aku terjaga di ruangan serba putih. Kuperkirakan itu adalah sebuah Rumah Sakit.

Ibu berusia 30 tahunan itu matanya berkaca-kaca menatap ke arahku. “Nak, kamu kenapa?” hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Berat dan parau.

“Aku siapa? Aku di mana?” aku benar-benar bingung, dan itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutku. Tidak. Ini bukan aku. Lantas, ini siapa?

“Qila! Hei. Kamu jangan bercanda!”

“Qila siapa? Aku di mana?”

“Kamu Qila. Aqila Damayanti putriku...”

“Aku seharusnya sedang naik pesawat,” kini, perlahan ada sebuah ingatan yang hinggap di kepalaku.

“Qila...hei...dengarkan Bunda! Kamu Aqila Damayanti. Kamu tengah di rumah, dan kamu tiba-tiba menjerit lalu pingsan,” Ibu berusia 30 tahunan itu mulai mendekatkan wajahnya kepadaku. Ia kemudian mencium keningku. Ada air yang hinggap menuju hidungku. Tidak. Ibu ini menangis sejadi-jadinya. “Qila...”

“Aku...” seketika kerongkonganku dilanda kemarau. “Haus,” kataku kemudian.

Ibu itu langsung dengan sigap menyodorkan satu gelas susu cokelat ke hadapanku. Aku meneguknya hingga habis tak tersisa. “Ibu ini siapa ya?” tanyaku tanpa dosa dengan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Aku Ibumu...Bundamu...kamu Aqila anak semata wayangku!” Ibu itu berbicara dengan penuh keyakinan, dengan terus mengelus-elus kepalaku.

Aku semakin bingung. Ini benar-benar sungguh membuatku berada pada posisi yang tidak bisa dipercaya oleh nalar. Seperti mimpi. Tapi ini terlampau nyata untuk kuanggap sebagai bunga tidur. Hingga saat aku kembali memejamkan mata, kepalaku kembali dihampiri oleh rasa pusing yang begitu luar biasa.

SETELAH satu minggu aku keluar dari Rumah Sakit, aku mulai menjalani kehidupanku sebagai...entah, ini siapa. Ini sungguhan. Benar-benar bukan mimpi. Aku terbangun di dalam sebuah raga anak berusia 5 tahun bernama Aqila Damayanti, yang tinggal di Cikini, Jakarta Pusat dengan seorang Ibu bernama Farida.

Cara kerja otakku masih belum bisa diajak untuk memahami bagaimana caranya aku bisa bangkit pada tubuh gadis mungil ini. Hingga kemudian aku mulai banyak bercerita kepada Farida yang kerap menyebut dirinya sebagai ‘Bunda’ di hadapan gadis mungil yang kini menjadi ragaku ini.

“Bunda tidak mengerti maksudmu, Qila. Apa yang kamu bilang tentang kecelakaan pesawat itu. Bunda benar-benar tidak tahu,” balasnya.

“2005...” sekilas, tampak sebuah bayangan yang kembali membawaku kepada kejadian itu.

“Kenapa? Ada apa di tahun itu?” tanyanya dengan terus memandangiku dengan saksama.

“Aku ada di sebuah pesawat...ya, harusnya aku sudah pulang ke Bandung,” kataku kemudian.

Farida memasang wajah penuh kebingungan. “Maksudmu?” tanyanya kemudian.

“Gelap...aku tidak ingat apa pun. Semuanya gelap. Dingin. Aku tidak bisa bernafas. Ledakan. Semuanya berteriak. Aku tidak ingat lagi. Gelap. Sesak...”

Farida dengan sigap menyodorkan satu gelas air putih ke hadapanku.

“Namaku...” seketika pusing itu kembali menyerangku, hingga membuatku tersungkur di atas kasur dan tak sadarkan diri.

Aku kembali terjaga setelah merasakan dadaku ditekan oleh alat yang dingin bernama stetoskop. Kemudian terdengar sebuah suara laki-laki yang tengah menyimpulkan keadaanku setelah ia mendengar ritme jantungku yang berjalan cukup normal. “Tidak ada masalah yang begitu mengkhawatirkan. Mungkin anak Ibu hanya sedikit kelelahan,” kata laki-laki yang kutebak berprofesi sebagai Dokter tersebut.

Aku baru bisa membuka mataku setelah beberapa menit sang Dokter berlalu. Masih ada sisa pening di kepalaku. Aku masih benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada diriku ini. Sementara, Farida mulai menghampiriku dan dengan sigap menanyakan apakah aku haus atau lapar. Aku hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepala.

“Kamu tadi membahas kecelakaan pesawat. Apa maksudmu itu, Qila?” tanyanya kemudian sembari mengelus-elus kepalaku, lagi, seperti itu adalah ritual kasih sayang yang setiap Ibu lakukan kepada anaknya.

“Aku terbang dari Seoul menuju Jakarta pada tanggal 25 Januari 2005...” aku mulai mengingat-ingat semua peristiwa yang terjadi pada hari itu.

Farida masih setia menyimak ceritaku tanpa berkomentar sedikit pun, untuk menunggu aku melanjutkan cerita.

“Pesawat yang aku naiki meledak. Setelahnya, aku hanya melihat gelap. Semuanya hanya gelap, dan sesak,” lanjutku.

“Kamu sebenarnya siapa?” tiba-tiba Farida mulai mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya. Ia mungkin mulai merasa kebingungan dengan keanehan yang hinggap di dalam diri anaknya tersebut.

AKU mulai melangkahkan kakiku ke dalam sebuah bangunan yang kini kukenal sebagai Taman Kanak-kanak. Saat itu, Farida masih dengan setia menemaniku meskipun ia tahu ada yang aneh dalam diri anaknya—aku bukan lagi Aqila yang ia kenal. “Ini kelasmu. Dan mereka adalah teman-temanmu,” katanya kemudian. “Bunda akan pergi dulu sebentar. Nanti Bunda menjemputmu lagi ke sini.”

Saat itu, aku hanya bisa mengangguk dan mulai berbaur dengan anak-anak yang tampaknya memang sebaya dengan Aqila. Aku mulai berjalan, dan kemudian memilih untuk duduk di bangku paling pojok, di paling belakang. Meskipun aku tidak tahu itu adalah bangku Aqila atau bukan.

Ini terasa sungguh aneh. Aku bisa merasakan bahwa semua anak-anak di sini pun memandang aneh diriku yang sedari tadi hanya duduk dan diam, tanpa bersuara sedikit pun. Hingga kemudian ada seorang anak laki-laki menghampiriku. “Itu tempat dudukku, Qila,” katanya dengan menunjuk kursi yang kududuki tersebut.

“Aku harus duduk di mana?” tanyaku tanpa dosa dengan memandang laki-laki berkulit putih yang kini berdiri di hadapanku tersebut.

“Gawat teman-teman...Qila hilang ingatan!!” sontak laki-laki itu pun berteriak. Membuat gaduh seisi kelas. Aku langsung buru-buru berdiri ketika tiba-tiba semuanya mengerubungiku seperti lalat yang mengerubungi makanan di Warung Tegal. Aku terduduk dan menunduk; menutup kedua mata dan telingaku dari berbagai pertanyaan yang kemudian hinggap dari semua anak-anak yang ada di dalam kelas tersebut.

Lalu, tak lama setelah itu aku mendengar suara derap langkah mendekati pintu. Hingga kemudian pintu dibuka, aku melihat seorang wanita berusia kurang lebih 30 tahunan berdiri dengan perasaan heran karena melihat gadis mungil tengah dikerubungi bagaikan sebuah mayat tanpa identitas yang ditemukan terdampar di dalam kelas.

“Ada apa ini?” tanya wanita tersebut dan kemudian menghampiriku yang tengah dikerubungi itu.

Aku melihat ke arah wanita tersebut dan terkejut. “Titiw?!!”

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang