Epilog

4 4 0
                                    

AKU benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi setelah Aqila terjaga dari rumah sakit. “Ayah, kok Ayah aneh sih?” tanya Aqila.

Malam itu, aku masih ingat betul bahwa Aryani Sekar Wangi ada di dalam dekapanku. Sungguh, itu adalah hal yang masih bisa kurasakan hingga detik ini.

Farida pun tampak kebingungan dengan apa yang terjadi. “Ini beneran Aqila?” tanyanya kemudian.

“Bunda kok jadi aneh juga,” ucap Aqila.

Aku masih benar-benar harus mencerna dengan baik semua proses yang sudah terjadi belakangan ini. Karena, aku masih ingat betul bahwa Aqila memiliki ingatan tentang seorang Aryani. Namun, setelah ditanyai beberapa pertanyaan, Aqila justru malah menganggap diriku dan Farida bersikap aneh.

“Aku Aqila, Yah...” katanya. “Kenapa aku bisa berada di rumah sakit?”

Malam itu, aku datang ke kamar Aqila, dan masih mengingat dengan jelas, bahwa aku dan Aryani tengah menceritakan novel Lupus yang kupinjam darinya, dan belum sempat aku kembalikan. Hingga aku melihat Aqila kejang-kejang dan tidak sadarkan diri. Aku dan Farida segera membawanya ke rumah sakit, dan kemudian mendapati dirinya sudah kembali, tanpa mengingat apa pun yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang.

“Anak kita sudah kembali, Mas...rupanya Aqila sudah kembali!” ucap Farida.

Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sedih mendengar bahwa ingatan Aqila Damayanti, putriku itu sudah kembali sepenuhnya. Namun, di lain keadaan, aku merasakan bahwa aku belum sepenuhnya bisa melepaskan Aryani pergi begitu saja. Itu adalah sebuah hal yang paling berat dalam hidupku. Satu hal yang benar-benar sulit untuk kuterima.

Hingga di hari-hari berikutnya, aku memang harus mulai mengikhlaskan kepergian Aryani. Tampaknya, Aryani Sekar Wangi memang sudah tidak mungkin akan kembali lagi. Aku harus menerima dengan lapang dada tentang kepergiannya. Hidupku masih terus berjalan, dan kini aku memiliki Farida dan Aqila sebagai bagian dari kehidupanku selanjutnya.

HARI Kamis, tanggal 27 Juni 2024, aku ada janji dengan rekan bisnis dari Korea Selatan. Hari itu, ia mengabarkan bahwa akan datang ke Indonesia untuk membicarakan sesuatu yang sifatnya pribadi bersamaku.

Kami bertemu di salah satu Restoran di Jakarta Selatan. Saat itu, aku bisa melihat seorang laki-laki yang usianya kuperkirakan berusia 50 tahunan.

“Senang bisa bertemu denganmu, Gagah!” katanya, seraya menjabat tanganku. Sebenarnya, aku masih kurang begitu paham dengan bahasa Korea, jadi aku membutuhkan seorang penerjemah, dan dia ada di sampingku pada hari itu.

“Sebenarnya, apa yang hendak Tuan Wi Ha-joon bicarakan kepada saya?” tanyaku kemudian.

Ia tersenyum. Seorang mantan atlet sepak bola yang kini menjadi pengusaha itu, kemudian mengeluarkan secarik kertas dari saku jas miliknya. “Ada surat yang harus kamu baca,” katanya, lalu kemudian memberikan surat itu kepadaku. “Surat ini ditulis beberapa tahun yang lalu. Tampaknya, mendiang sahabatku menjatuhkan surat ini di kamar apartemennya. Aku selalu mencarimu dalam beberapa tahun terakhir. Syukurlah, hari ini aku bisa bertemu denganmu, dan bisa memberikan surat itu padamu,” sambungnya.

“Surat apa ini?” tanyaku bingung.

“Itu surat yang ditulis mendiang Aryani sebelum kematiannya. Surat itu untukmu, Gagah. Itu adalah surat balasan dari Aryani...”

Perlahan, aku membuka surat tersebut, dan mulai untuk membacanya.

SELESAI

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang