7

6 4 0
                                        

Cerita
Jakarta, Penghujung Februari 2024

KITA harus berpisah kembali. Gagah akan terbang menuju Kalimantan untuk kembali mengurus pekerjaannya di sana.

Ternyata Gagah Berani sudah cukup jauh berkembang. Dulu, Gagah adalah seorang laki-laki kutu buku, berkacamata, dan cerewet yang selalu mengingatkanku untuk jangan sampai lupa mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), meskipun pada kenyataannya dia tak pernah sama sekali mengerjakan PR, dan lalu menyontek hasil pekerjaanku untuk disalin ke bukunya pada keesokan harinya di sekolah.

Ini terasa seperti déjà vu, ketika aku kembali menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aku masih mengingat betul aromanya; ramai orang yang berlalu-lalang; tangis haru keluarga menjelang perpisahan, itu merupakan memori yang masih terkenang di kepalaku hingga sekarang. Bedanya, kini aku datang ke Bandara sebagai Aqila Damayanti untuk mengantarkan sang Ayah pergi selama beberapa bulan ke Kalimantan.

Saat itu, Farida seolah tahu apa yang mesti ia perbuat, dengan menggenggam tanganku erat, lalu mengusap air mataku, dengan menghiraukan air mata yang jatuh membasahi pipinya. Bunda...dia adalah sosok Bunda yang terbaik bagi Aqila, yang juga menurutku pantas untuk bersanding dengan Gagah sebagai seorang Istri yang kuat dan penuh kesabaran. Aku mulai lega karena Gagah akhirnya bisa mendapatkan kesenangan yang berjuta-juta kali lipat, yang tak pernah aku berikan sebelumnya. Dengan aku yang justru malah pergi ke Seoul, meninggalkannya di sini, lalu hilang selama beberapa tahun, dan menjadi misteri ketika jasadku masih belum kunjung ditemukan hingga sekarang. Kini, justru aku datang sebagai seorang anaknya, bak seperti dilahirkan kembali dalam bentuk reinkarnasi yang super luar bisa aneh dalam catatan sejarah reinkarnasi di dunia.

Aku direinkarnasi ke dalam tubuh gadis mungil yang merupakan anak mantan kekasihku dulu. Ini sebuah tragedi aneh yang tidak masuk di akal. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah aku harus senang atau bersedih ketika ada di dalam posisi ini. Yang jelas, aku kini sudah tahu bahwa Gagah akan baik-baik saja di kehidupannya selanjutnya. Itu bagiku sudah cukup, dan membuatku sedikit mengucap lega.

Kami pulang kembali ke rumah pada pukul tiga sore. Farida membawakanku semangkuk gulai kambing yang entah dari mana ia dapatkan. “Katamu, kau suka sekali gulai kambing, kan?” tanyanya, dengan senyum yang merekah di bibir manisnya itu. “Makanlah!”

Aku tersenyum. Betapa beruntungnya Gagah mendapatkan Istri seperti Farida. Selain kecantikan parasnya, Farida adalah Istri yang sangat perhatian dan penuh dengan kasih sayang. “Terima kasih...” aku mendekapnya erat, seperti mendekap Ibu yang pertama kali memperkenalkanku kepada masakan super lezat ini.

“Oh iya, aku sampai lupa. Selamat ulang tahun Aqila...oh, tidak. Selamat ulang tahun Aryani...”

Aku menggeleng. “Mulai sekarang panggil aku Aqila Damayanti. Putrimu. Putri Bunda...”

Bunda menatap mataku dengan begitu dalam. Kulihat ia mulai berkaca-kaca. Lalu mendekap ragaku dengan erat. “Terima kasih...terima kasih!...” lirihnya.

Aku membalas hangat dekapannya. “Bunda...”

PADA senja yang perlahan menapakkan keindahannya di langit Jakarta, aku jadi teringat pada suatu kejadian di mana terakhir kali aku melihat senja bersama Gagah. Tidak. Maksudku...Ayah. Dari penampakan senja tersebut, aku jadi mengerti satu hal, bahwa yang indah tak selamanya akan dihadirkan dalam kehidupan kita, laksana senja yang indah di langit sana, ia digantikan gelap oleh sang malam yang perlahan merampas keindahannya. Tak jauh berbeda dengan kehidupan. Akan selalu ada hal indah, juga hal yang berselimut duka; akan selalu ada bahagia, juga ada hal yang menyedihkan.

Aku menghampiri Bunda yang tengah duduk di depan televisi. Saat itu, aku mulai mencoba mendekatkan diriku bersamanya, karena memang itulah yang seharusnya aku lakukan. “Bagaimana Bunda bisa kenal dengan Ayah? Dan bagaimana kalian bisa saling jatuh cinta?” tanyaku.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang